Saya sempat kaget melihat tulisan saya sebelumnya (Requiescat in Pace : Tuhan) kebanyakan ditanggapi dengan harafiah. Saya perlu menegaskan bahwa tulisan itu murni bermakna sangat luas. Anda boleh menangkap maknanya berbeda dengan apa yang saya maksudkan, karena saya tidak bermaksud untuk mengendalikan makna di benak orang lain. Bagi saya, motto “Death of the Blogger” dan motto teman “Why Bother Reading Something You Hate ?” bisa menjadi tuntunan untuk kebebasan berpikir.
Dan mudah-mudahan tulisan berikut ini juga bisa bermakna kiasan. π
***************
Kita sudah terbiasa dengan logika biner. Bahwa ada lawan dari sesuatu yang kelihatan. Materi dilawankan Anti-Materi. 1 dan 0 kawin dalam logika komputer. Kanan dan kiri menjadi teman ideal. Atas dan bawah berbeda. Perempuan dan Laki-laki berbeda dan membentuk harmonisasi. Baik dan buruk di alam semesta, bahkan Benar dan Salah menjadi ukuran.
Bahkan sampai kita melupakan bahwa ada yang bernama nuansa. Bahwa ada yang beralias gradasi. Yang biner hanyalah apa yang disederhanakan. Kawan dan musuh hanyalah sesuatu yang didoktrinkan oleh siapa yang mengatakan.
Kita sudah terdoktrinasi dengan logika kuantitatif. Bahwa sesuatu dikatakan ilmiah jika bisa diinderai dan bahkan diukur (measurable). Bahwa ada konstanta-konstanta tertentu yang mengatur alam semesta ini. Bahwa apa yang diciptakan Tuhan hanya bisa dimengerti lewat angka dan bilangan.
Sembari melupakan bahwa ada yang bernama kualitatif. Sesuatu yang tidak bisa diukur dan bahkan dicerap dengan akal. Sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat sebuah kesadaran yang menembus batas ruang-waktu dan segala dimensi pengukuran yang kita kenal. Sesuatu yang membutuhkan “rasa” untuk memahaminya.
Kita juga sudah terbiasa dengan logika barat model Aristoteles. Bahwa Anjing adalah Anjing. Bahwa Anjing adalah bukan Non-Anjing, dan bahwa Anjing tidak dapat menjadi Bukan-Anjing dalam satu waktu. Di luar itu adalah fallacy.
Sambil kita melupakan bahwa sebuah logika juga bisa berbentuk kontradiksi bahkan paradoks. Bahwa ada logika-logika lain yang membentuk dunia ini dan dikatakan tidak masuk akal dalam mainstream logika formal
sesuatu yang kasar juga adalah yang lembut
masuklah maka kamu akan keluar
Kita sudah terbiasa dengan apa yang kita anggap biasa
***************
Dan sesuatu yang selalu menggedor-gedor dinding pemahaman saya akan ilmu yang saya dalami. Yang sedari dulu selalu saya gugat dan tak pernah henti-hentinya saya pertanyakan. Mungkin itulah yang membuat saya menjadi pemulung ilmu di tempat lain.
Apakah itu normal ?
Apakah itu tidak normal ?
Apakah batas normal dan tidak normal ?
Entahlah, saya belum pernah menemukan jawabannya. Mungkin karena manusia begitu kompleksnya sehingga pertanyaan saya itu melampaui batas kemampuan saya untuk menjawabnya. Apalagi menjawab sesuatu yang berada jauh diatas hakikat saya sebagai manusia.
Ada yang tahu ?
saya punya pendapat bahwa dunia ini tidak hanya hitam dan putih, tentu ada juga bagian yang abu abu. Tapi ada seseorang yang menyebutkan kalo abu abu itu hanya bisa bisanya manusia saja, nah makanya “agama yang benar” adalah untuk menunjukkan hitam dan putih itu.
Ah, semua penilaian itu kan hasil kesepakatan aja. π
Jadi normal itu ya yang kita sepakati sebagai normal. Nah sekarang apakah yang kita sepakati itu benar benar normal? Entahlah. *melamun*
Nyambung nggak ya? π
Uhm.. nyambung komentar yang kemarin dan tulisan yang ini. Loe menulis (dalam respons untuk komentar gw):
“Tuhan yang being-in-him/herself tidak pernah beristirahat dan sudah beristirahat dalam damai (paradoxβ¦?) tapi Tuhan yang being-in-human interest tidak pernah beristirahat dan menjadi tawanan manusia.”
Gw setuju sama bagian pertamanya: Tuhan yang being-in-him/herself tidak pernah beristirahat sekaligus sudah beristirahat dalam damai. It might be a paradox, tapi rasanya memang begitu.. dengan tidak beristirahat Dia beristirahat (or vice versa).
Untuk kalimat kedua “Tuhan yang being-in-human interest”.. naah, itu yang gw nggak sepakat. Karena buat gw yang “being-in-human interest” itu sekedar ide manusia tentang Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
Dengan demikian, mereka berdua adalah entitas yang berbeda, bukan satu entitas yang punya banyak nuansa π
Gitu aja sih. Sorry kalau salah nangkap π
Kalau disuruh njawab pertanyaan terakhir, jelas saya ndak bisa Om Fertob. Situ aja yang deket ama tuhan ga bisa njawab, apalagi saya yang ndak pernah nongkrong bareng dengan beliau. Huehehe.
Dulu, saya dan Item, temen saya tinggal di Kukusan, Depok. Kami percaya dengan kalimat diatas. Maka itu kami berusaha menciptakan ‘iklim’ yang berbeda dengan logika formal. Awalnya simpel. Melalui bahasa.
Logikanya simpel. Bahasa itu alat komunikasi. Salah satu tiang kebudayaan yang membentuk dunia. Dan…, kami mencoba memanipulatif penggunaan mainstream terminologi.
Caranya sederhana. Dalam waktu 3 hari, kami berusaha, mengganti kalimat “makan” menjadi kalimat “ng**tot” dalam setiap percakapan.
Sehingga acapkali terdengar percakapan seperti ini:
+ “Tem, udah malem nih. Laper. Ng**tot yuk?”
– “Lah, tadi sore lo kan udah ng**tot di kampus ama Marsad?”
+ “Cerewet lo ahh. Mao ng**tot ga lo?
– “Ok deh men? tapi, enaknya ng**tot dimana yaa Rip?
+ “Cobain di Bu Yuni yuk, yang di samping kelurahan. Katanya ng**totan di warungnya enak banget.
Baru dua hari, kami di panggil Pak RT. Kami disidang. Akibat laporan warga yang mengeluh atas ‘logika lain’. Kata Pak RT, “Makan yaa makan! Ng**tot yaa ng**tot! Jangan ditukar-tukar kalo masih mau tinggal di Kukusan!” (sambil melotot dan gebrak meja segala).
Intinya, saya dan Item belajar banyak.
Pertama, apapun logikanya, pasti ada konsekuensinya.
Kedua, don’t messed up with Pak RT Kukusan. Walopun ustadz, dulunya jawara dan jago silat. Bahaya.
Ketiga, jangan lagi membayar dengan pertanyaan; “Bu Yuni, tadi saya ng**tot pake perkedel, sayur sop ama telor ceplok. Berapa semuanya?”
Ga bisa komen
*sakit perut, hampir mati ketawa gara-gara baca komen bangaip*
Sabar, komennya nanti saja.
Saya ng**tot pagi dulu, perut sudah lapar π
π ternyata Geddoe sukanya ng**tot pagi-pagi…
Eh… kenapa ya, kata NGEN**t diganti asterik? Kenapa kita tidak ganti saja, misal o = 0 dan e = 3 serta g = 9 seperti gaya abegeh™ sms-an?
Jadinya ndak perlu nulis ng**tot, tapi
n93nt0t…. errr… n93nt*t*lha… saya masi juga kepikir bubuhin asterik*aku ga normal ketika aku berbeda …
perbedaan muncul kalo dibandingkan, jadi perbedaan itu relatif ya?
saya juga gak tau π¦
Coba tanya pada orang gila, apakah ia gila atau tidak? Mungkin seperti itu jawabnya. Hehehe… π
Abnormal adalah di luar kurva normal, baik itu di atas maupun di bawah kurva. Definisinya sih gitu, Bang, hehe47x..
Selama ini aku berpikir bahwa Norma-Tidak Normal dan Benar-Salah hanyalah hasil kesepakatan manusia. Ketika banyak orang yang berprilaku A, dan sedikit yang B, maka A dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Sesuatu yang Tidak Normal sebenarnya adalah Normal. Tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan dengan apa kita mengamati.
OOT ya, om?
@ dana :
saya bahkan menganggap dunia ini lebih berwarna dari spektrum cahaya mejikuhibiniu π dan saya lebih suka warna biru
betul mas, itu kesepakatan. kadang ada juga masuk statistik, kadang ada juga medisnya….
@ Geddoe :
huahahaha… langsung keluar Zen-nya.. π
nyambung kok mas. logika timur (Hindu dan Buddha) memang “tak terinderai” oleh logika formal. di suatu buku tentang spiritualisme ada sebuah kalimat yang cukup berkesan bagi saya :
khusus bagi pencinta kisah misteri π
@ mbak maya :
hehehe langsung di jawab di postingan ini.. π
I can’t agree more, but…
Apakah Tuhan yang being-in-him/herself itu diketahui dan dikenal oleh manusia ? Apakah kursi yang BENAR-BENAR kursi itu diketahui oleh manusia ? Apakah kebenaran yang benar pada dirinya sendiri diketahui oleh manusia ?
Saya kok berani menjawab : TIDAK. Tuhan yang dikenal dan diketahui oleh manusia adalah Tuhan yang bergolak dalam benak dan batin manusia. Itulah Tuhan yang “tampak” dalam penglihatan manusia. Dan manusia tidak pernah tahu seperti apa Tuhan yang benar pada dirinya sendiri.
*sorry kalau jadi pertanyaan epistemologis* π
@ Bangaip :
huahahahahaaaa…. π π π
saya nggak bisa berkata-kata lagi *otak jadi mandek berlogika* π
@ joerig :
berbeda bukannya nggak normal, teh. saya juga berbeda, dan banyak orang disekeliling saya juga berbeda.
berarti dunia ini nggak normal dong…! π
@ macanang :
persamaan juga muncul kalau ada perbedaan, mas π yup, itu relatif.
@ joyo :
sama mas.
@ mathematicse :
mungkin itu juga jawabannya.
*tapi dari dulu saya nggak pernah sreg menyebut kata gila*
@ hana :
katanya benci statistik, tapi kok jawabannya jadi statistik banget. π betul kok jawabannya. mau nilai berapa ?
jangan lupa 68% nya ya…?
eh, berarti sudah belajar abnormal psychology ? jawabannya statistik lagi nih… π
He… Agnostisisme positif? π Keren, tuh, mas.
Buat saya, pandangan ‘tidak akan pernah tahu’ itu dasar dari semua filosofi… Saya ini cuma menduga-duga saja π
@ Geddoe :
hehehe.. banyak yg bilang saya itu Sartre banget, tapi dalam bentuk yang lain (meskipun Sartre sering dianggap seorang atheis) saya agak setuju dengan konsep Tuan Sartre tentang Tuhan yang being-in-itself-for-itself (di bukunya Being And Nothingness).
Tapi saya melangkah lebih jauh dari Sartre. Sartre hanya berhenti pada kesempurnaan dan ketidaksempurnaan konsep Tuhan yang paradoks dan oleh karena itu harus ditolak. Sebenarnya konsep Sartre itu bisa diperluas dan dibantah.
Mungkin lain kali akan saya tulis… π
betul mas. kita “mulai dari tidak tahu” dan bukan berakhir pada “menjadi tahu”. Kebenaran2 hakiki yg benar pada dirinya sendiri tidak akan pernah ditangkap dan diketahui oleh manusia.
Wah, saya belum pernah baca Sartre, Camus, dan konco-konconya π
Hehe, betul, mas. Sejak saya mengadopsi konsep ‘tidak akan pernah tahu’ itu hidup saya jadi tenang. Nggak terbebani beban supaya jadi ‘benar’ π
Kebenaran adalah jalan, bukan tujuan
~kokJadiSokFilsufBegini?~
*tersadar*
[…] 25th, 2007 by deking Seperti Bang Fertob yang mengungkapkan kekagetan beliau karena tulisan beliau ditanggapi tidak seperti apa yang beliau harapkan. Maka ijinkan saya […]
*bacain komen semuanya*
waaah,, Ma ospek 4 hari aja telat gosip nih,,
itu kayanya jadi quote fave-nya Difo ya,, dipajang kemana mana,, π
buat tulisannya, kayanya Ma ga bisa komen keren keren nih bang Fertob,, berhubung emang ga bisa diwarnain item putih sih ya,, *Ma lebih suka tipi warna*
wah kok kayak mirip logika dialektik
hmm bagi saya sih kebenaran itu jalan sekaligus tujuan
saya sih lebih suka Heidegger ketimbang Sartre
kebenaran itu lebih enak dengan gradasi dibanding dikotomi, ya kan
salam kenal Mas
karena ngomongin Tuhan, jadi orang-orang punya pandangan yang lain, sampe tulisan kiasan anda itu dianggap bukan kiasan.
Kalau bagi saya sih cuma jalan… Sebab saya tidak berharap akan sampai π
@ Geddoe :
Buku-bukunya Sartre, Camus, Nietzsche, Heidegger, dkk itu enak dibaca lho. Itu pertama kali dasar saya “menghabisi” semua keyakinan dan konstruksi kepercayaan di otak saya, dan kemudian berlanjut dengan tesis-tesis a-theis dan anti-theis.
@ hana :
akhirnya sadar…
HIDUP STATISTIK π
@ Rizma :
pasti warna kesukaannya merah ya ? *sambil nebak-nebak berhadiah…*
@ secondprince :
mirip logika dialektiknya Hegel ya ? (atau Kant..) kok saya nggak merasa tuh… π
Heidegger terlalu sulit dipahami, dan dia biasanya mutar-mutar dulu kemana-mana. Tapi pemikirannya bagus kok.
@ Arul :
hehehe… biasa kok mas. Memang yang namanya tafsiran dan interpretasi bisa bermacam-macam. π
Hehehe… kalo saya, buku2 manusia kafir™ itu cuma pelengkap saja. Keyakinan dogmatis-bombastis sudah mulai terkikis sejak konflik yang mencuat di aceh mengiris-ngiris…
*haalahh.. berima*
The best of Nietzsche itu: Also Sprach Zarathustra sama Beyond Good and Evil.
Heidegger…. kurang tertarik
Sartre… penunjang ide di kepala saya yang – katanya some people – leftist π
fuzzy logic…?