Maaf seribu maaf jika tulisan ini sangat panjang dan tidak populer. Jika tulisan ini menyita waktu anda, tolong jangan membacanya π
Sebenarnya postingan ini sudah ingin saya tulis dari dulu, terutama menyambut Hari Kemerdekaan RI bulan agustus kemarin, tetapi sering terhalang kasus yang lain. Analisis ini juga menurut saya masih dangkal karena saya memang tidak khusus mendalaminya.
Saya tidak sedang mencoba menganalisis masalah ini dari sudut pandang politik luar negeri, karena bukan disitu bidang saya. Saya melihat bahwa hubungan antara negara kita (Indonesia) dengan tetangga di Asia Tenggara (khususnya yang berumpun Melayu) sering naik turun antara benci dan rindu. π Hubungan itu naik-turun dan diselingi kasus-kasus yang cukup fenomenal.
I was born in the land of the sun
And the tall green grass
And I don’t understand
How all this has come to pass
How we’ve come to surround ourselves
In a sea of thieves
In a land without learning
Only the fools believe(Toto : I Will Remember)
Kasus yang paling baru adalah kasus pemakaian lagu Rasa Sayange dalam promosi pariwisata Malaysia. Banyak orang Indonesia mengklaim bahwa lagu itu adalah lagu daerah Maluku. Sementara pihak Malaysia mengatakan bahwa lagu itu adalah lagu yang berkembang di kawasan Nusantara dan tidak diketahui siapa pengarangnya.
Banyak juga kasus-kasus lain yang sering membuat hubungan Indonesia dengan negara tetangga naik-turun. Dengan Malaysia, selain kasus lagu Rasa Sayange, juga ada kasus Batik dan alat musik Angklung yang diklaim milik Malaysia. Di bidang politik, ada kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya diserahkan pada Malaysia dan juga kasus Ambalat. Dengan Singapura, ada juga kasus ekspor pasir, batas teritorial dan masalah ruang udara.
Jadi, mau dibawa kemana tulisan ini ? Mudah-mudahan nggak ngelantur kemana-mana. π
::: Awal :::
Dari beberapa buku sejarah yang kita pelajari sejak jaman SD dulu, kita mengetahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan atau Hindia Belakang. Bangsa Indonesia sebagian besar (khususnya di belahan barat) adalah bangsa Austronesia. Mereka serumpun dengan suku bangsa yang ada di Laos, Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Kamboja.
Yunan/Hindia Belakang
Rumpun bangsa ini berasal dari Provinsi Yunan di China bagian Selatan dan terdesak oleh rumpun bangsa Mongol akibat perang. Dan mereka akhirnya “mengungsi” ke dataran Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Dengan kata lain, bangsa Indonesia pada dasarnya memang serumpun dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara lainnya, termasuk dengan Malaysia. Rumpun itu sering disebut juga rumpun Melayu.
Berbeda dengan itu, suku-suku yang tinggal di bagian Timur Indonesia tidak berasal dari Yunan/Hindia Belakang. Mereka adalah pecahan dari ras Melanesia berkulit hitam yang juga disebut ras Pasifik. Suku-suku di Papua, Timor, dan Alor, sebagai contoh, mempunyai kemiripan dengan subrumpun Melanesia yang lain seperti Aborigin (Australia) dan Maori (Selandia Baru) dan juga dengan suku bangsa di Pasifik seperti Fiji, Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru.
Melanesia
Pendapat yang tertulis dalam buku-buku sejarah Indonesia itu kemudian dibantah oleh Prof. Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Teori Yunan/Hindia Belakang hanya mendasari pada kemiripan fisik belaka, dan tidak melihat kemiripan linguistik dan juga genetik (DNA).
Teori lain yang menjelaskan asal-usul bangsa-bangsa di Asia Tenggara adalah Teori Out-of-Taiwan[1]. Menurut teori ini, asal-usul ras Austronesia berasal dari daerah Hemudu, Provinsi Zhejiang di China Daratan dan kemudian berekspansi ke Kepulauan Taiwan. Dari situ ras ini kemudian menyebar ke Filipina dan akhirnya ke daratan Asia Tenggara. Teori Out-of-Taiwan ini adalah salah satu pendekatan terbaru tentang asal-usul ras Austronesia-Melayu berdasarkan pendekatan linguistik dan folklore.
Berbeda dengan pendekatan linguistik, fisik, dan geografik seperti teori-teori diatas, Prof. Sangkot mengatakan bahwa sebenarnya ras Austronesia berasal dari dataran Sunda, karena ada pohon evolusi yang putus pada manusia Phitecanthropus erectus yang punah dan digantikan spesies baru. Walaupun demikian, penelitian DNA pada suku-suku di Indonesia masih terus dilakukan dan itu bisa menjadi jawaban sebenarnya pada asal-usul bangsa Indonesia.
::: Tengah :::
Lalu apa yang bisa diambil dari asal-usul diatas ? Jawabannya : tidak ada. π
[I]
Kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa dari asal-usul nenek moyang kita, bangsa Indonesia sebenarnya satu rumpun/satu ras dengan tetangganya di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Filipina. Pendekatan terhadap asal-usul itulah yang sampai sekarang masih belum menemukan titik temu, seperti kata Prof. Sangkot Marzuki.
Lalu kalau ternyata “kita memang bersaudara”, berarti ada bagian-bagian tertentu dari sifat dan karakter bangsa Indonesia yang juga dimiliki oleh bangsa lain di Asia Tenggara yang serumpun. Hal itu sangat logis karena sifat, karakter, budaya, dan bahkan penyakit-penyakit tertentu [dan juga gangguan-gangguan psikologis tertentu] bisa saja terikat pada budaya/ras.
Ambil contoh saja pengklasifikasian Collectivism/Individualism yang salah satunya pernah dikemukakan oleh H.C. Triandis.[2] Pada pendekatan dikotomikal di penelitian cross-cultural ini, bangsa Asia (termasuk Asia Tenggara) dikatakan lebih menonjolkan sifat collectivism sementara bangsa barat lebih sering individualism.
Hal lain yang bersifat culture-bound dan hanya ditemukan dalam masyarakat Asia Tenggara khususnya rumpun Melayu adalah Latah. Sama seperti sindrom-sindrom psikologis lain yang bersifat culture-specific (seperti penis panic, paris syndrom, susto, dll), latah juga hanya ditemukan di Asia Tenggara, khususnya pada rumpun bangsa Melayu.
[II]
Apa lagi yang bisa kita dapat dari situ ? Sekali lagi, tidak ada. π
Lalu kenapa kita merasa seperti seorang yang kebakaran jenggot (meskipun tidak punya jenggot) jika ada sesuatu hal yang menyinggung rasa “nasionalisme” (baca = kepemilikan) kita yang khususnya dilakukan oleh negeri tetangga ?
Oopps, sepertinya saya terlalu cepat melangkah. Kita mundur dulu sejenak dengan masalah yang lain. Biar kelihatan panjang dan muter-muter. π Saya ingin mempersoalkan sesuatu hal yang abstrak yang dianggap ada dan tersimpan di hati tetapi sering diperdebatkan ketika setiap tahun diperdengarkan dalam wujud Hari Kemerdekaan. Apa itu ? Ya, NASIONALISME.
Apa itu nasionalisme ? Saya tidak ingin memperdebatkan definisi. Bung Gunawan Muhammad dalam Catatan Pinggir-nya pernah menulis tentang Nasionalisme dalam berbagai wajah. Di satu sisi dengan globalisme, kita menciptakan dunia yang borderless, tanpa batas. Tapi disisi yang lain, nasionalisme (dan juga kecenderungan lokalisme) bisa dibangun tinggi dengan mengedepankan identitas lokal yang rentan terhadap perubahan. Tembok-tembok nasionalisme dibangun tinggi, dengan tujuan melindungi “kami” dan mengidentifikasikan “Liyan”[3]. Liyan, kata yang sering bermakna rendah dalam pandangan nasionalisme ke-kami-an yang sempit.
Nazi Jerman tumbuh dalam Nasionalisme. Militerisme Jepang selama Perang Dunia II tumbuh dalam ranah Nasionalisme. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 juga lahir dari rahim Nasionalisme. Dan konflik Indonesia dan negara-negara tetangga juga lahir dari benih Nasionalisme. Lalu mana wajah nasionalisme yang yang asli ? π Wajah nasionalisme, selain wajah indah suatu identitas, juga adalah wajah garang suatu penghapusan yang mengorbankan darah.
Wajah garang nasionalisme itu adalah wajah yang memandang “Liyan” sebagai mereka yang lain, yang berbeda dengan kita, yang rendah, yang berkasta hina, dan bahkan yang harus dimusnahkan dari bumi ini. Itu jugalah wajah tetangga-tetangga kita yang sering diukur dengan pandangan kita terhadap diri sendiri.
Nasionalisme juga sering menghilangkan aspek-aspek lain yang lebih universal seperti humanisme dan hak-hak asasi manusia. Ketika nasionalisme dan humanisme berbenturan, kita terjebak di dalam putaran kebingungan keberpihakan : membela nilai-nilai lokal dan mengakui nilai-nilai universal.
Contohnya sangat sederhana.
Saya ambil kasus majalah Time vs Soeharto. Mahkamah Agung akhirnya memenangkan gugatan Soeharto, mantan Presiden RI terhadap kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Majalah TIME dalam artikelnya Soeharto Inc. Masalah nasionalisme ada disitu, yaitu Soeharto sebagai seorang Indonesia. Sementara masalah universal-nya adalah keadilan didepan hukum.
Soeharto Inc.
Kecenderungan yang ada, kita ingin kasus kejahatan Soeharto dimasa lalu dapat dibongkar seadil-adilnya. Tetapi ketika ada “orang luar” (TIME) yang memasuki ruang hukum kita, resistensi yang ada sering bernama nasionalisme. Untuk apa orang luar mengurusi urusan lokal kita ? Sementara melupakan bahwa keadilan hukum adalah persoalan universal yang berlaku bagi semua umat manusia. Dan pertentangan itu berbentuk dalam dilema nasionalisme lokal melawan nilai-nilai universal.
Satu kasus lagi adalah Kasus Timor-Timur (Timor Leste). Ketika Timor Leste merdeka pada tahun 2002, kita menyaksikan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana, khususnya kerusuhan yang terjadi setelah referendum nasional mereka pada tahun 1999.
Dan ketika peristiwa itu diselidiki dan mengarah pada keterlibatan sejumlah tokoh Indonesia dalam peristiwa itu, sekali lagi konflik yang timbul adalah pertentangan antara nasionalisme lokal yang disentil dengan pengakuan akan nilai-nilai universal dalam wujud penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
[III]
Menjawab pertanyaan [II] diatas, jawaban yang bisa muncul adalah Nasionalisme. Apa yang disentil oleh tetangga-tetangga kita adalah apa yang kita namakan Nasionalisme, walaupun kita punya sejuta definisi dan aplikasi tentang apa itu nasionalisme. Walaupun menurut sejarah, kita (Indonesia) dan mereka (negara tetangga di Asia Tenggara) adalah serumpun, sentilan itu memutus batas identitas yang lebih luas (rumpun yang sama) dan mengerucut menjadi identitas lokal yang lebih bernuansa nasionalisme.
Apa yang disentil adalah apa yang menjadi identitas dan kebanggaan kita sebagai manusia-manusia yang merasa senasib dibawah payung sebuah negara bernama Indonesia. Identitas kedaerahan melebur kedalam identitas yang lebih luas bernama Nasionalisme Indonesia dan akhirnya dilawankan dengan “Mereka” yang bisa dipersepsikan sebagai pengganggu. Kita seakan melupakan pertentangan internal di dalam sisi kelokalan ketika diperhadapkan dengan “musuh” yang sama dari luar. Teori In Group-Out Group akhirnya memperoleh pembenaran : apa yang dianggap musuh bersama yang berasal dari luar akhirnya menyatukan pertentangan dalam diri sendiri.
Sama seperti Kuomintang (Partai Nasionalis China) dan Partai Komunis China bersatu melawan Jepang ketika PD II. Intinya sama, ada musuh dari luar yang menyentil semangat nasionalisme lokal dan akhirnya menyatukan suara-suara internal yang sebelumnya bertentangan.
Lagu Rasa Sayange, Batik, Angklung, Sipadan-Ligitan, Ambalat, Batas Teritorial, Ruang Udara, bahkan Ekspor Pasir adalah wujud sebuah sentilan yang diidentikkan dengan Nasionalisme. Itulah salah satu identitas kita sebagai bangsa. Dan ketika sentimen itu diganggu, maka Sang Naga (Indonesia) akhirnya bangun dan menyemburkan apinya kemana-mana.
[IV]
Tetapi, sayangnya, sentilan itu sering disikapi dengan suatu pola yang selalu sama dari waktu ke waktu. Kita seakan-akan mempunyai sebuah “metode kerja” dalam menyikapi berbagai sentilan. Dan metode kerja itu berbentuk pola yang hampir selalu sama dari waktu ke waktu.
Saya mengidentifikasikan pola-pola itu dalam paparan dibawah ini :
Pola Pertama, REAKTIF
Aslinya adalah Selalu Reaktif. Menurut hukum Newton, ada aksi maka ada reaksi. Reaksi timbul dari sebuah aksi. Tapi sayangnya, pola reaktif itu selalu berakhir dengan reaksi saja tanpa ada kelanjutan dari kita yang bereaksi.
Maksudnya begini. Seringkali sebuah aksi yang diberikan oleh negara-negara tetangga berupa sentilan-sentilan, disikapi dengan sebuah reaksi yang membalas sentilan itu. Reaksi adalah sebuah hal yang wajar, tapi what next ? Apa yang didapat dari sebuah reaksi yang hanya sekedar reaksi, sementara sebuah reaksi bisa dipakai untuk memicu (triggering) aksi lain yang lebih bermanfaat dan berguna ?
Ketika Lagu Rasa Sayange diklaim sebagai milik Malaysia, hampir semua orang Indonesia bereaksi terhadap klaim kepemilikan itu. Tapi sekali lagi, can we get something between the lines from this case ? Apakah kita mendapatkan hikmah dari kasus itu ? Apakah reaksi yang kita lakukan ikut juga menyadarkan kita bahwa kita harus melindungi aset-aset berharga milik bangsa ini ? Banyak sekali warisan kekayaan budaya bangsa ini yang justru dimiliki dan disimpan oleh negara lain.
Reaksi itu bisa jadi adalah wujud sebuah Nasionalisme. Tapi nasionalisme bukan hanya berbentuk teriak-teriakan protes atas klaim kepemilikan orang lain. Nasionalisme juga bukan hanya sekedar reaksi belaka. Nasionalisme juga adalah perlindungan [hukum] terhadap apapun yang menjadi kekayaan warisan budaya bangsa ini. Tidak perlu memaki-maki tetangga jika kita tahu ada yang tidak beres dengan nasionalisme kita. Nasionalisme bukan sekedar ajakan perang terhadap tetangga yang semena-mena. Nasionalisme juga adalah perlindungan [hukum] terhadap diri sendiri, dan menggunakan perlindungan itu untuk melawan siapapun yang menyentil kita.
Pola Kedua, BERLEBIHAN & EMOSIONAL
Pola kedua ini adalah pola yang sering mengikuti pola pertama. Reaksi yang dilakukan seringkali berwujud reaksi yang berlebihan dan emosional. Sepertinya teriakan dan makian belumlah cukup untuk menjadi wakil sebuah reaksi. Terkadang reaksi itu diwakilkan dalam suara-suara berbentuk perang. Walaupun reaksi berlebihan itu kebanyakan hanya berbentuk sebuah ide.
Saya yakin kalau kita pernah mendengar bahwa dulu Indonesia dikatakan bangsa yang peramah. Salah satu yang dibanggakan dari pariwisata Indonesia sehingga terkenal di luar negeri adalah : bangsa yang terkenal karena keramah-tamahannya. Tapi saya menjadi heran karena salah satu kosa kata bahasa Indonesia yang dijadikan kosa kata bahasa Inggris adalah AMOK [4]. Sementara amok justru berbanding terbalik dengan keramahan. π Amok (amuk) adalah kosa kata yang ditemui di Malaysia dan Indonesia.
Reaksi yang sering ditampilkan atas sentilan negara-negara tetangga sering dilakukan dengan kecenderungan emosional yang tampak. Sikap emosional justru mengabaikan bahwa kita juga dikaruniai akal budi untuk bersikap etis. Emosi adalah sesuatu yang hadir pada setiap manusia, tetapi menyikapi sesuatu dengan selalu mengedepankan emosi justru tidak memperlihatkan kecerdasan emosi.
Apakah pernyataan marah, memaki-maki, menghujat, dan bahkan pernyataan perang dapat mengubah keadaan ? Tidak. Itu hanyalah cara agar kita bisa menenangkan diri kita sejenak. Yang dituju dari reaksi emosional adalah sisi emosi itu sendiri dan bukan masalah yang justru ingin dipecahkan. Masalahnya sendiri masih ada dan masih menanti kita.
Ceriyati
Kasus Ceriyati bisa menjadi contoh, dan juga kasus ribuan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Setelah reaksi yang menghujat dan memaki, adakah langkah lanjutan agar peristiwa serupa tidak terulang lagi ? Kita justru akan berhadapan dengan pola ketiga yang tidak kalah suramnya.
Pola Ketiga, LUPA
Pola ketiga inilah yang membuat segala sesuatu dalam lingkaran reaktif dan emosional menjadi lengkap dan komplit. Pola itu menjadi sempurna ketika kita akhirnya lupa akan apa yang telah menyentil kita. Setelah bersikap reaktif dan cenderung berlebihan, kita juga cenderung melupakan masalah itu seiring dengan berlalunya waktu.
Negara-negara tetangga sangat tahu akan pola terakhir ini. Jika ada suatu kasus antara Indonesia dengan mereka, maka mereka cenderung untuk membiarkannya. Memprotes tapi kemudian membiarkannya. Mengapa mereka membiarkannya ? Karena mereka tahu bahwa ingatan orang Indonesia akan suatu kasus sangat pendek. Pejabat-pejabat Indonesia cepat lupa dengan kasus yang terdahulu. Setelah kasus itu mengendap dan terlupakan, mereka akan mencoba lagi membukanya dan kali ini dengan persiapan yang cukup.
Kasus yang cukup terkenal adalah kasus ekspor pasir ke Singapura. Beberapa kali keputusan pemerintah (Kepres dan Kepmendag) untuk membuka-menutup ekspor pasir ke Singapura. Beberapa kali ganti pejabat dan kasus itu akhirnya dilupakan. Akhirnya kasusnya dibuka kembali, tetapi sayangnya disertai dengan adanya konsesi-konsesi lain yang menyakitkan seperti perjanjian ekstradisi dan lain-lain. Singapura sangat pintar dalam mengulur-ulur waktu pembahasan suatu kasus (ekspor pasir) dan membukanya ketika Indonesia punya kebutuhan lain yang perlu diselesaikan (ekstradisi).
Kasus Sipadan-Ligitan juga bisa menjadi contoh. Kasus ini muncul sudah sangat lama yaitu sejak masa pemerintahan Soeharto atau sekitar tahun 1969. Tapi justru pada tahun 1997, kasus ini sepakat dibawa ke Mahkamah Internasional dan proses yang berjalan selama 5 tahun akhirnya membuahkan hasil yang menyakitkan pada tanggal 17 Desember 2002 : Sipadan dan Ligitan harus diserahkan pada Malaysia. Indonesia punya bukti, Malaysia juga punya bukti. Tapi saya yakin (setelah membaca kasus ini dari beberapa artikel), Indonesia hanya mengandalkan bukti yang sama [dan juga keyakinan yang sama] selama puluhan tahun sampai tahun 1997. Malaysia awalnya berada pada pihak yang lemah dalam soal klaim itu. Tetapi beberapa perubahan hukum internasional justru membawa keuntungan bagi mereka, sementara Indonesia sendiri masih tetap dengan keyakinan dan bukti yang sama seperti puluhan tahun lalu.
Lupa adalah manusiawi. Tapi lupa juga bisa berujung pada melupakan sejarah. Akibat yang kita dapatkan dari pelupaan sejarah adalah kenyataan yang menyakitkan yang harus kita hadapi.
[V]
Ketiga pola diatas adalah pola yang selalu saya temui dalam beberapa kasus antara kita (Indonesia) dengan negara-negara tetangga. Pola itu bisa saja dimodifikasi dan ditambah disana sini dengan beberapa pola yang lain seperti diplomasi.
Banyak orang luar yang mengatakan bahwa Indonesia seperti seekor naga yang sedang tidur. Tapi ketika naga (Indonesia) itu disentil, yang terjadi adalah naga tersebut bangun, reaktif, marah-marah, reda, dan akhirnya tidur (lupa) lagi. Dan saya tidak heran kalau suatu saat Kerajinan Patung Asmat, Lagu Suwe Ora Jamu, Tari Serampang Duabelas, bahkan Museum Nasional diklaim sebagai milik negeri tetangga, jika pola yang sama terus terjadi. Sad but…. π
Saya justru sangat salut dengan pola penyelesaian kasus Aceh yang menurut saya sangat elegan. Tapi itu juga terwujud karena kita melibatkan orang luar (Finlandia) dalam penyelesaian kasus internal kita. Apakah kita harus memakai “orang luar” untuk selalu menyelesaikan semua kasus kita [dengan negara tetangga] ?
Ah, saya masih punya nasionalisme lokal. Ngapain orang luar ngurusin masalah kita ? π
::: Akhir :::
Sungguh, saya tidak sedang mengekspos kelemahan negeri ini kemana-mana. Tapi saya lebih senang menampar diri sendiri daripada menampar orang lain atas kesalahan yang justru saya perbuat.
Intinya begini. Ada yang salah dalam diri negeri ini (baca : pemerintah, karena saya lagi gondok sama pemerintah π ) dalam melindungi harta karun dan kekayaan bangsanya. Ketika kelalaian itu ditangkap oleh tetangga seberang rumah, mereka memanfaatkan kelalaian itu untuk turut menikmati harta karun dan kekayaan bangsa ini. Sikap bangsa ini sangat terpola dan mengikuti metode yang hampir selalu sama dalam menyikapi negara tetangga itu : reaktif, emosional, dan pelupa.
Lalu siapa yang perlu dimaki-maki ? Sangat wajar kalau kita memaki-maki negeri seberang sebagai negeri tak tahu diuntung, saudara muda yang belagak jadi jagoan, orang kaya baru yang ngelunjak, saudara serumpun yang lupa asal-usul, bangsa tidak punya kekayaan budaya, dan sederet makian lain bahkan ajakan perang.
Tapi lihatlah lebih dekat (seperti lagu Sherina), π sebenarnya siapa yang salah ? Ketika ribuan harta kekayaan negeri ini tersimpan di luar negeri dan diklaim sebagai milik bangsa lain, apakah kita merasa ada sesuatu yang salah disini ? Apakah yang kita perbuat kalau kita berkata kita mencintai negeri ini ? Cukupkah hanya sebatas lagu Tanah Airku karya Ibu Sud ?
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargaiWalaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan(Tanah Airku, Ibu Sud)
Bagaimana cara menghargai negeri ini ? Salah satu caranya adalah menampar [supaya sadar] penghuni negeri ini akan arti sebuah kata : penghargaan. Menghargai adalah melindungi. Melindungi secara hukum dari tangan-tangan jahat dan iseng yang mengakui kekayaan negeri ini sebagai miliknya. Jika seseorang membiarkan pintu rumahnya yang terbuka sehingga pencuri masuk dan mengambil barangnya, yang patut disalahkan adalah pemilik rumah itu. Dia tidak menghargai miliknya sendiri.
Intinya adalah, lindungilah kekayaan negeri ini. Bukan melindungi dengan reaksi, bukan dengan tindakan emosional, bukan juga dengan pelupaan. Lindungi dengan jiwa dan raga. Dan yang tak kalah penting, lindungi dengan hukum.
Atau saya perlu membuat petisi berhubungan dengan hal ini ?
Salam Kemerdekaan (masih belum telat kan ?) π
***************
catatan :
[1] Stephen Oppenheimer, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia, 1998.
[2] Harry C. Triandis, Individualism and Collectivism : New Directions in Social Psychology, 1995.
[3] Liyan adalah “yang lain” atau the others.
[4] Amok adalah kemarahan [sering terjadi pada massa] yang tidak terkontrol. Sering disebut sebagai sindrom sosiopat spesifik yang hanya ditemukan pada ras tertentu di Asia Tenggara. Kemarahan tak terkontrol ini sering berujung pada pembunuhan dengan kekejaman yang mengerikan seperti membakar hidup-hidup, mutilasi anggota tubuh, penyiksaan beramai-ramai, dan lain-lain.
salutttt sangat lengkappp sekaliiii
mantap sekali bang fertob
sayah sangat menyukai pola Reaktif, Emosional dan Pelupa ini, betul2 menggambarkan indonesia jaman skarang
ataukah kita emang ga bisa berdiri sendiri pak? kita hanya membutuhkan orang2 luar yg terus mendorong kita seperti anak kecil untuk menyelesaikan persoalan kita sendiri.
masihkan indonesia mempunyai ketegasan bagi kita sendiri
sangat stuju dgn tulisan ini
reaktif bagus asal ga cuma 1 bulan trus lupa
baiknya memang kita berbenah diri kita sendiri dulu
sebelum mengumpat,menyumpah, mencaci orang lain.Β Toh semua juga sebab n akibat.
Memang yang penting itu adalah bagaimana kita menghargai apa yang kita punya…….
Kalau barang kita itu sudah tidak kita hargai, kemudian ada orang lain yang mengambil dan lebih menghargainya…….
yah, mencuri tetap mencuri, itu tetap salah (kalau misalnya lagu itu memang SAH milik Indonesia), tapi kita sebagai pemilik tentunya juga harus bisa menunjukkan dong kalau kita memang berhak memilikinya π
btw, salam kenal ya bang π
Waks, orang Indo emosional, reaktif, dan pelupa? Hue, reality bites *nangis* T_T
Dulu saya pernah ngobrol2 soal kenapa orang Indo ga maju2 bareng temen saya. Faktor yang kami bahas adalah faktor geografi dan kesuburan lahan. Dari situ kami berasumsi kalo penyebab susahnya orang Indo dalam berusaha (dalam artian memajukan diri) adalah karena mereka sudah terbiasa dengan gaya hidup ‘langsung ngambil dari alam’ alias instan aja. Kalau memang lahan di Indo sesubur itu, bercocok tanam pun bukan masalah besar. Barangkali ‘kemudahan’ inilah yang kemudian melekat di mental orang Indo, bahwa apa saja bisa langsung didapatkan, dan untuk melepaskan gaya hidup ini memang susah sekali sebab mental orang Indo jaman dulu tidak begitu terlatih untuk menghadapi tekanan baik dari alam maupun dari manusia lain (negara tetangga misalnya)
Anyway, ini cuma asumsi sementara saya dengan teman saya. Setelah saya pulang ke Indo nanti bakal saya bahas kembali. Nice one!
“… bangsa Indonesia sebenarnya satu rumpun/satu ras dengan tetangganya di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Filipina.”
Kalo gitu, kenapa negara2 serumpun ini gak kita jadikan satu negara saja, yang lebih besar dan lebih kuat?
Sori om…. mataku lum tidur dari kemarin, diajak main monopoli ma temen ampe pagi π … jadi gak konsen bacanya…. kapan2 dilanjutkan….
Puanjang banget Om fertob, analisanya kumplit. Ntar dibaca pas break deh π
gitu ya, bang? π
@ almas :
sebenarnya Indonesia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, tetapi yang saya lihat sering menyelesaikan masalah dengan masalah π
lho, katanya Presiden kita yang sekarang kurang tegas, dan Presiden ke-2 sangat tegas (jadi otoriter) π
@ ‘K :
betul, semua hal itu ada sebab dan akibat, self-introspection itu menurutku yang lebih penting
@ mardun :
iya, penghargaan terhadap harta kekayaan bangsa disini memang sangat kurang, khususnya yang berhubungan dengan kebudayaan dan seni. berapa banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan dan sejarah yang akhirnya kalah oleh kepentingan yang lain.
salam kenal juga….
@ euclyptica :
bisa jadi karena mentalitas instan yang sudah terbentuk dari awal. bisa juga karena mentalitas gengsi dan juga bisa karena mentalitas konsumtif. π
thanks sharingnya mbak… π
@ Pak Shodiq :
dulu kan pernah mau dibikin sama Soekarno, tapi akhirnya gagal. mengikuti ide Gadjah Mada.
kesamaan rumpun memang bisa jadi membentuk suatu negara sendiri, tetapi juga bukan salah satu sebab harus jadi negara baru. Eropa saja sebenarnya serumpun (kaukasia) tapi mereka punya banyak bahasa dan banyak subrumpun, dan itu yang membuat mereka terpisah jadi beberapa negara.
kecenderungan yang ada sekarang itu adalah globalisasi dengan mempertahankan identitas lokal. penyatuan negara itu sangat sulit karena lebih merujuk pada kedekatan yang lebih intens seperti Korea atau Jerman. Jerman bisa bersatu, tapi Korea sepertinya belum karena masih ada perbedaan ideologi yang melampaui persamaan suku dan asal-usul.
ASEAN itu juga suatu globalisme regional, walaupun sering “kurang berfungsi”
@ Suluh :
mas, kalau main monopoli lagi ajak-ajak dong… π
@ anjar :
thanks mas anjar… π
@ caplang :
hahahaha… kita pasti bisa melawan kok, Belanda dan Jepang saja kita lawan.
tapi caranya ngelawan itu seperti apa, itu juga penting. melawan dengan melindungi diri dan berdiplomasi yang elegan lebih penting dan lebih berguna. asal jangan setelah itu tidur panjang…. π
@ferthob
Hohoho, sama-sama. Saya juga bingung mikirin solusi yang manjur buat memperbaiki mental orang Indo. Barangkali mereka harus didorong pelan-pelan untuk menjauh dari comfort zone (daerah nyaman yang bikin orang males ;), according 2 the 7 habits book).
Iye bang, bikin petisi perlindungan kekayaan nasional segera, sebelum lupa *ups menyinggung poin ketiga kelemahan bangsa Indo, hehehe ;)*
BTW, sudah saya add link-nya ke blogroll
welgedewelbeh
Luar biasa …. tapi sampeyan namparnya sopan dan ilmiah he he he … ayo bareng-2 nampar diri sendiri, bangsa sendiri, terutama pemerintah. thanks 4 almascatie telah ngajak mulut maen ke sini
Tak masukkan MMK nya mulut ya…
[…] Antara kita dan TetanggaΒ (tulisan yang sangat komprehensif –> recommended) […]
tulisan yg komplit plit.. mari kita sebarkan semangat ini melalui backlink / trackback π
Bagus *gaya pak tino sidin*
andai ya semua orang berpikiran luas seperti ini… gak pake pola kedua (berlebihan dan emosional) pasti gak bakal panjang masalahnya huhuhuhu
Artikel yang bagus. tapi ada beberapa hal yang ingin saya kritisi.
pertama, pandangan saudara fertob bahwa nilai-nilai universal itu secara realis ada dan lebih utama daripada nasionalisme (dalam artian sosio-historis). pandangan ini terdapat pada bagian:
“Nasionalisme juga sering menghilangkan aspek-aspek lain yang lebih universal seperti humanisme dan hak-hak asasi manusia. Ketika nasionalisme dan humanisme berbenturan, kita terjebak di dalam putaran kebingungan keberpihakan : membela nilai-nilai lokal dan mengakui nilai-nilai universal.”
Kedua, pandangan saudara fertob bahwa permasalahan nasional ini secara signifikan (baca:intinya) terletak pada pemerintah saja. Pandangan ini terdapat pada bagian:
“Intinya begini. Ada yang salah dalam diri negeri ini (baca : pemerintah, karena saya lagi gondok sama pemerintah ) dalam melindungi harta karun dan kekayaan bangsanya.”
Menurut hemat saya, kedua pandangan ini memiliki beberapa kesalahan asumsi dasar dalam memandang eksistensi indonesia di dalam internasionalisme ini.
Menurut hemat saya juga, kedua kesalahan asumsi ini sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa indonesia yang besar ini.
kenapa? karena..tapi sebaiknya baca dulu penjelasan saya mengenai dua kesalahan asumsi ini (sekali lagi “menurut hemat” saya).
kesalahan pertama adalah asumsi human nature-voluntarisme yang digunakan oleh saudara fertob.
Kenapa saya katakan bahwa asumsi ini salah?
karena cukup jelas bahwa saat ini, seluruh aktivitas internal bangsa ini (eko-sos-pol-bud-han-kam) tidaklah terlepas dari aktivitas bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Karena bangsa kita berada di tengah-tengah “eko sistem” kehidupan bangsa-bangsa di dunia.
karena setiap bangsa di muka bumi ini, sejuh kemampuan mereka, akan mendahulukan kepentingan mereka di atas bangsa-bangsa lainnya.
Oleh karena itu, dengan asumsi yang salah ini, saudara fertob telah lalai dalam melihat bahwa setiap bangsa yang superior akan melakukan segala cara (hegemoni politik, ekonomi, budaya, militer, dll) untuk mempertahankan superioritasnya. Setiap bangsa yang inferior akan berjuang dengan segala cara untuk menjadi bangsa yang paling superior.
Oleh karena itu, dengan asumsi ini, saudara fertob lalai dalam melihat bahwa dunia ini adalah ajang pertarungan bangsa-bangsa baik secara fisik (militer) ataupun non fisik (eko-sos-pol-bud) antara bangsa baik antara superior vs superior, superior vs inferior, maupun inferior vs inferior.
Oleh karena itu, dengan asumsi ini, saudara fertob lalai dalam melihat bahwa, nilai-nilai universal (kesetaraan, kebebasan, dll) adalah “nilai-nilai” yang secara teoritis ada, tapi secara realita, tidak akan pernah ada alias (secara praktis, demi kesadaran bangsa ini): omong kosong belaka.
Oleh karena itu, dengan asumsi yang salah ini, saudara fertob lalai dalam melihat bahwa, nasionalisme seharusnya lebih diutamakan daripada “nilai-nilai universal” tersebut, seandainya kepentingan-kepentingan nasional direduksi di segala sisinya untuk kepentingan-kepentingan “universal”.
Oleh karena itu, pandangan yang pertama di atas adalah salah.
Kesalahan kedua adalah asumsi sosiologis-“keteraturan”.
Kenapa saya katakan bahwa asumsi ini salah?
karena cukup jelas bahwa aktivitas bangsa ini telah ter-internasionalisasikan dalam segala bidangnya (ekonomi, pengetahuan dll). Dengan begitu, kepentingan-kepentingan bangsa ini- sadar tidak sadar- telah dan akan selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menjadi bangsa superior. Dengan begitu, bangsa-bangsa superior ini akan secara sadar atau tidak sadar akan menyengsarakan, menghancurleburkan, bangsa kita. Dengan begitu, Mereka akan selalu butuh untuk memonitor, mempelajari, memahami, dan kemudian kalau perlu, mengendalikan aktivitas-aktivitas bangsa kita. Dengan begitu, mereka akan selalu mencoba mengatur segala aktivitas kita baik kita suka ataupun tidak.
Oleh karena itu, dengan asumsi ini, saudara fertob telah lalai dalam melihat bahwa kesalahan puncak bukanlah pada pemerintah di negeri ini. Bahwa bukanlah pemerintah yang secara sadar “berbuat” buruk di negeri ini. Tapi, kesalahan puncak adalah selalu ada pada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu superior.
Oleh karena itu, dengan asumsi yang salah ini, saudara fertob telah lalai dalam melihat bahwa, kebencian kita seharusnya diperuntukkan bagi bangsa-bangsa yang superior, atau minimal, kita tidak memandang mereka lebih berharga daripada bangsa kita sendiri baik dalam hal eksistensi nasional ataupun kemanusiaan.
Oleh karena itu, pandangan yang kedua saudara fertob adalah salah.
Demikian kritik saya terhadap artikel yang ditulis saudara fertob ini. Mohon maaf jika ada banyak kesalahan, dan semoga kritik saya untuk mengkritik pandangan-pandangan nasionalisme saya dalam kritik ini.
Adapun mengenai asumsi “voluntarism” dan “keteraturan” dapat dibaca ulang di sini:
Klik untuk mengakses 62_06_Heinemann-1979-Burell_Morgan.pdf
Wassalaamu’alaikum
Aku seneng banget baca artikel bang fer, apa udah kepikiran buat jadiin buku biar kita bisa baca offline… biar ga usah ke WARNET aja…. π
wah bagus sekali isinya.membuat saya kagum dengan rakyat indonesia.sudah lama kami ingin menjadi vokal seperti anda,namun tangan kami ,kaki kami,dan lidah kami telah diikat dengan isa,(aaku) akta universiti -tidak boleh bersuara
menyampaikan ketidakpuasan hati ke pemerintah sehingga kami jadi ,pekak,tuli dan bisu menjadi pak turut yang lemah.university kami hanyalah pabrik pengeluaran kertas ijazah yang menjadi tiket untuk mengisi perut kami sehingga
otak kami sudah tidak boleh lagi berfikir melainkan hanya bagaimana untuk menghasilkan lebih banyak wang kertas untuk perut kami.jangan salahkan kami kami hanya berdiam diri walaupun anda mencaci kami kerna acuan pemerintah kami”jangan masuk campur urusan negara”tugas kamu bagaimana untuk menghasilkan kelulusan cemerlang dan bersaing dengan bangsa asing untuk memajukan ekonomi negara untuk kelangsungan hidup negara ini.kamu mesti bersaing,china ,india , singapura akan menjadi maju ,kamu akan ketinggalan jika ekonomi kamu tidak kukuh.kamu mesti cemerlang,menjadi engineer terbaik,menjadi doktor terhebat,menjadi bisnesman terkaya,dan berbagai -bagai ter.tapi jangan fikirkan yang lain selain ekonomi,eknomi,dan ekonomi sampai kami telah hilang kreativity dan inovasi untuk menjadi rakyat yang berinspirasi.
Artikel Anda patut dipuji, amat komprehensif. Berbeda dengan sejumlah besar orang (perkiraan saya, lebih dari 90%) yang hanya sekedar koar-koar dan menghina Malaysia.
Hanya saja, satu isu yang menurut saya masih perlu dibicarakan adalah apakah definisi ‘klaim’ itu.
Orang mengatakan si ini mematenkan ini dan si itu mematenkan itu. Padahal, berdasarkan yang saya baca, suatu bentuk kesenian atau budaya tidak dapat dipatenkan. Yang ada, adalah pendaftarannya sebagai hak kekayaan intelektual, yang membuat pihak yang mendaftarkannya untuk memiliki hak cipta untuknya (bukan hak paten).
Saya menemukan sejumlah website yang menampilkan daftar item-item yang konon telah di’klaim’ oleh berbagai pihak. Sumber mereka? Hampir semua adalah link ke website dari berbagai media ternama di Indonesia, baik itu koran maupun televisi. Jadi siapakah sebenarnya yang menyatakan ‘klaim’ itu? Sebab dicari-cari pun takkan ditemukan nomor hak patennya, atau surat legal yang menunjukkan hak cipta, dan semacamnya. Tidakkah Anda merasa bahwa rakyat Indonesia sangat banyak menunjuk dan menuduh berdasarkan pengaruh media, daripada membawa bukti kuat dan nyata?
Saya tertarik membaca pendapat Anda, dan akan sangat menghargai jika Anda menanggapi. Terima kasih.
(Maaf, hanya untuk ‘menyalakan’ notification untuk balasan, tadi terlupakan)
Sipadan is really great for diving. Hope peaceful remains.
bvlgari iwc γΉγγγγγ‘γ€γ’ http://www.cftal.com/