- masih membingungkan
- bahasa yang rumit
- masih berlanjut
Salah satu kesulitan utama ketika berbicara tentang manusia adalah : dengan cara apa manusia itu dipahami. Yang dimaksud dengan “cara” adalah pendekatan yang diambil ketika seseorang membicarakan manusia. Adalah sesuatu yang kurang tepat jika ketika membicarakan manusia, seseorang menggunakan pendekatan keseluruhan (wholeness).
Masalahnya bukanlah pada pendekatannya, tetapi pada hal yang berusaha dipahami. Ketika berusaha membahas manusia, pada dasarnya seseorang sedang membedah, mengurai, menganalisis (bukan sintesis) seperti apa itu manusia. Dan dengan demikian yang dilakukan adalah berusaha melihat dari suatu dimensi yang ada pada manusia.
Misalnya kalau kita bicara tentang konsep manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Pemikiran yang ada selama berabad-abad biasanya selalu menempatkan konteks ini dalam sebuah perdebatan seru. Dalam beberapa isme yang membahas hal ini, hampir semuanya berujung pada pemahaman bahwa Tuhan itu susah untuk dipahami dalam konteks manusia.
Contohnya seperti ini.
Idealisme berbicara tentang manusia. Menempatkan ide, konsep, dan pikiran manusia sebagai keseluruhan manusia. Semua berawal dan berakhir dalam tataran ide, dan manusia juga begitu. Jika ini diamini maka Tuhan tak lain adalah sebentuk ide dan konsep yang “diciptakan” oleh manusia.
Materialisme berbicara tentang manusia. Manusia tak lain dan tak lebih adalah materi, dan itulah keseluruhan manusia. Ketika materi yang nyata secara fisik menjadi ukuran, maka hal-hal lain yang tidak hadir secara materi ditolak. Itulah yang membuat Tuhan tidak hadir dalam keseluruhan manusia karena ketidakhadirannya sebagai materi yang nyata.
Eksistensialisme juga membicarakan manusia. Eksistensialisme menolak idealisme dan materialisme menjadi “alat ukur” utama manusia. Manusia keseluruhan bukanlah sekedar ide yang abstrak atau materi yang fisikal. Manusia ditempatkan dalam ukuran eksistensi, atau Eksistenz, mengutip Jaspers dan Heidegger. Karena ukurannya adalah eksistensi manusia, maka Tuhan bukan lagi sesuatu yang relevan karena keseluruhan manusia dilihat dari eksistensinya dan Tuhan tidak mendapat tempat disitu.
***************
Kembali ke jalur lain.
Manusia adalah sebuah eksistensi, tetapi apa itu eksistensi sepertinya sangat sulit untuk dipahami dengan suatu bahasa yang mudah. Banyak pemikiran tentang apa itu eksistensi biasanya selalu mengkaitkan eksistensi dengan “sesuatu yang berada diluar manusia”. Dan biasanya selalu memakai bahasa yang rumit. 🙂
Misalnya kita mengambil istilah “being” yang sering dipromosikan oleh Heidegger dan Sartre. Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai “Ada“, walaupun istilah itu tidak terlalu tepat menurut saya. Manusia juga adalah “being“, dan kalau kita mengatakan itu, maka “being” manusia adalah “the aboutness of something“.
Sebuah eksitensi (atau “being“) tidaklah berdiri sendiri. Saya ambil contoh kata dalam bahasa Inggris : “I am“. Kata itu tidak berhenti sampai disitu saja. Kalau kita mengatakan “Saya adalah….“, maka selalu ada lanjutannya. Selalu ada “sesuatu” yang dikaitkan dengan kata Saya dan itu bisa apa saja.
Begitu pula kalau kita menghubungkan “being” manusia dengan situasi dan waktu. Manusia adalah “being-here” atau dengan kata lain “ada-disini-dan-sekarang“. Tetapi manusia juga adalah “being-there” atau dengan istilah lain “ada-disana-dan-nanti“. Dari kedua hal itu, kita tidak bisa melepaskan suatu kenyataan bahwa manusia adalah “being-in-the-world“.
“Being-in-the-world” menjadi sebuah penanda bahwa manusia itu tidak terlepas dari dunianya. Suatu hal yang kurang tepat kalau membicarakan manusia sebagai institusi yang terlepas dari segala “atribut” keduniaannya. Dunia adalah kenyataan manusia, dan sebagai makhluk yang tak terlepas dari dunianya, maka dunianya memberikan banyak makna pada eksistensi manusia.
Itulah sebabnya, tidak pernah manusia dibahas dalam konteks manusia an sich. Manusia yang dibahas demikian hanya berusaha memberikan makna pada kata “manusia” sebagai sebuah hal yang abstrak. Rumit dan njelimet, dan bukan hanya itu : tak berujung.
Lha, memangnya ada ujung dari manusia ? *dilarang ngeres*
Itulah mungkin yang membuat saya terkesan dengan salah satu kalimat dari Heidegger yang berbunyi :
Das “Wesen” des Dasein liegt in seiner Eksistenz
Kalau saya terjemahkan dengan bahasa Jerman saya yang pas-pasan, 🙂 maka artinya kurang lebih adalah :
The essence of being [there] lies in its exsistence
Saya tidak akan membahas seperti apa itu eksistensialisme dan pernak-perniknya yang membingungkan itu. Sambil berharap Qzink666 membahasnya lebih lanjut dalam kolom Nietzsche-nya. 🙂 Apa yang akan ditulis di cerita lanjutan nanti adalah apa yang saya maknai sebagai manusia (diri) dalam hubungannya dengan hasrat dan moralitas.
Manusia pada dasarnya tidaklah terbatas hanya pada hasrat dan moralitas belaka. Kedua hal itu (hasrat dan moral) sepertinya menjadi salah satu ukuran manusia ketika kita membicarakan manusia. Tetapi yang perlu diingat, keseluruhan manusia bukanlah keduanya. Manusia keseluruhan bukanlah Manusia Hasrat atau Manusia Moral. Dua hal itu memang ada dalam diri manusia, tetapi kedua hal itu bukanlah manusia keseluruhan.
Dan apa itu manusia keseluruhan ? Sepertinya ini tidak akan pernah terwujud karena jawaban atau pertanyaan ini berusaha dijawab selama berabad-abad dan tak pernah mendapatkan pegangan memuaskan atasnya.
Jadi seperti apa lanjutan tulisan ini, mungkin hanya sekedar refleksi akan kemanusiaan manusia.
..to be continued..
catatan :
Karena saya sedang baik hati dan mood lagi bagus, maka saya menyediakan 3 buah buku yang pernah dibahas oleh Mas Joyo [disini]. Ketiga buku ini membahas tentang kebangkitan atheisme di dunia. Ketiganya adalah Mbah Hitchens, Eyang Harris, dan Opa Dennett. Sementara untuk Ompung Dawkins, silakan hubungi [muridnya] secara langsung karena beliau adalah ahli warisnya. 😛
Silakan disedot sampai tuntas. Ingat !!! Harap dibaca dan jangan dijadikan sebagai koleksi e-book saja. Buku itu dibaca bukan untuk dipajang. 👿
Penawaran ini hanya berlaku 2 minggu dari sekarang, dan setelah itu link dan file akan dihapus. Supaya nggak dibilang melanggar ToS. 😆 Setelah 2 minggu, yang diperbolehkan adalah permintaan secara japri dengan merayu terlebih dahulu. 🙂
*kesumon*
eksistensi itu mendahului esensi. Artinya bahwa seorang manusia itu lebih dulu ada (exist), menemukan dirinya sendiri, petantang-petenteng di dunia, baru kemudian mendefinisikan dirinya sendiri. Tak adalah apa yg di namakan kodrat manusia itu, sebab juga tak ada Tuhan yg maha kuasa yg menetapkannya.. Seorang manusia tak lain adalah apa yang di perbuatnya terhadap dirinya sendiri; dia hanya ada sejauh yg disadarinya sendiri. Karena itu, dia tak lebih dari sekedar kumpulan tindakan-tindakannya, tak lebih daripada hidupnya sendiri.
Setuju sama Qzink.
Esensi muncul setelah adanya eksistensi. Tapi dari mana munculnya eksistensi? sesuatu yang ada pasti berawal dari ketiadaan.
wew… ko mendadak terpesona 😀
benarkah bahwa manusia adalah pecahan ide-ide, dari Sekumpulan Ide??
sesuatu pada dirinya sendiri adalah absolut, jadi yg selama ini dibahas, diperdebatkan dan dikulak kulik itu hubungan2 saja ya…
jadi tidak ada yg benar mutlak, semua itu tergantung dimana kita berpijak dan dengan apa kita menganalisa.
tapi kadang idealisme berbenturan dengan banyak hal..saya saja sekarang jadi bingung apa sebenarnya idealisme hidup saya..huhuhu..
Aku , setdknya aku yg sekarang, juga memiliki pandangan yg sama: bahwa eksistensi mendahului esensi. Dan aku kira esensi itu bukanlah ‘sesuatu’ yg terlampau penting..
Manusia dilahirkan dan manusia Ada. Manusia menemukan pasangannya dan berteman (sosialisasi) dan lingkungan (sosial) membentuk karakter manusia: Lingkungan memberi ekses-ekses tertentu dalam diri manusia dan manusia merespons baik secara langsung maupun tak langsung. Manusia menjadi ‘sesuatu’ yg dibentuk oleh lingkungan. Tetapi pada akhirnya manusia sadar bahwa mereka memiliki ‘diri’. Diri adalah keseluruhan eksistensi manusia. Maka lingkungan bukan lagi unsur penting. Manusia mencari ‘diri’, menemukan ‘diri’, mengekspresikannya, lalu hidup dengannya. Manusia mulai bereksistensi.. manusia menemukan esensi diri
Tapi sekali lagi, menurut aku esensi itu tdk lah terlalu penting.. katakanlah esensi itu sebuah teori. Esensi tak pernah benar-benar bersentuhan dgn realita. Spt sesuatu yg mengambang tak prnh menyentuh tanah.. Dan manusia begitu sering bergumul, berdebat, dan segalanya soal esensi dari berbagai hal dan manusia akhirnya lupa pada eksistensi dr hal-hal itu..
Jadi selain: eksistensi mendahului esensi.. eksistensi juga lebih penting dr esensi
Waaaaa! Akhirnya nemu bukunya Dennett!
*donlot*
*yang lainnya udah punya*
*baru mulai baca artikelnya*
@ Qzink ! Hana ! b :
Ah, kalian benar-benar pendukung Sartre, sementara saya lebih cenderung pada Jaspers dan Heidegger. 🙂
Kalau mengikuti pandangan Sartre, jelas memang eksistensi mendahului esensi. Eksistensi itu keberadaan didunia sementara esensi adalah kodrat, hakikat, dan inti dari keberadaan itu. (Beberapa filsuf lain sering mengatakan : mengada).
Tapi Kierkegaard dan Berdyaev mengatakan bahwa eksistensi manusia hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam kehadiran Tuhan. Eksistensi manusia menjadi nyata ketika Tuhan juga eksis dalam dirinya. Esensi dan eksistensi manusia ada pada Tuhan. Dan dalam kehadiran Tuhan itulah, manusia menjadi bebas, menjadikan hidupnya mendapatkan “leap of faith”.
Jaspers juga masih mengakui kehadiran Tuhan dalam eksistensi manusia, walaupun dia sering ragu-ragu. Sartre dan Heidegger pun sering mendukung sudut pandang Kierkegaard terhadap eksistensi manusia, walaupun mereka menolak pandangan religiusnya. Nggak heran karena Sartre seorang atheis, sementara Heidegger agnostic. 🙂
Benarkah esensi manusia itu datang belakangan ? Benar, kalau kita memakai pandangan Sartre bahwa manusia itu dikutuk untuk bebas. Manusia tidak lain adalah apa yang dipilihkan/diputuskan oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, kodrat atau inti dari keberadaan sebagai manusia bebas itu menjadi tidak lagi penting.
Jikalau esensi mendahului eksistensi, maka pemikiran itu bisa “dibawa lari” bahwa ada sesuatu yang menjadi “latar belakang” keberadaan manusia. Dan “latar belakang” itu adalah Kodrat/Causa. Kodrat/Causa itu akhirnya bisa dirujukkan pada Sang Pencipta. Tidak heran kalau Sartre akhirnya mengatakan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya sendiri, karena dia meletakkan manusia sebagai dasar ukuran segala sesuatu tentang manusia itu. Jika tidak, maka dia akan mengakui esensi dari manusia itu.
Dan dia sudah membantah Tuhan habis-habisan di konsep being-in-itself dan being-for-itself. 🙂
Saya malah nggak membahas ini karena takut jadi lari dari konteks “being” manusia itu sendiri. Dan bisa jadi memperdebatkan eksistensi dan esensi yang menjadi salah satu pemecah dalam filsafat eksistensialis dan filsafat agama.
Pada Hakikatnya, Manusia itu adalah HAMBA/BUDAK yang ingin memperoleh kebahagiaan yang maksimal (tanpa kesengsaraan sedikit pun). Untuk itu….
kita harus melaksanakan apa-apa yang diperintahkan ILLAH kita. Apa aja perintah”nya?sebelum itu, kita harus berpikir obyektif untuk mencarinya.
@ Dona
Apa memang manusia itu budak/hamba? Klo memang begitu, apa memang manusia mesti menjadi budak/hamba? Manusia menyadari bahwa hidup mereka hny sekali, tapi mengapa mereka rela menjadikan hidup itu sedemikian sengsara, menjadi seorang budak/hamba.. Itu agak aneh, bukan?
Tuhan adalah “cermin” yang diada2in manusia demi membiaskan/menurunkan kecemasan akibat khayalan2 yang ngawur dalam otak manusia. Tuhan Maha Tinggi..tingginya seberapa? apa maksud tinggi? dimana tinggi? gimana tinggi? dll dll dll…jelas kan, tinggi itu kan persepsi manusia, tiap orang beda2 kok dalam menafsirkan konsep tinggi atau konsep Tuhan Maha Tinggi….nah itu baru satu konsep saja, belum yang lain….Dan lagi tiap orang dalam melakukan konsep atas Tuhan juga beda2. Ada yang berpikiran Tuhan itu asap, kakek tua dengan jubah putih, awan dll dll dll, nah itu saja tiap orang sdh beda2…Jadi sebenarnya Tuhan itu adalah ciptaan manusia saja, untuk mengelak dari ketidaktahuan manusia terhadap alam semesta ini…