- cukup panjang dan ada 1170 kata
- tentang fenomena berbahasa
- maaf kalau judulnya bombastis π
- analisa kritis tanpa tendensi menghina atau melecehkan
Ada yang ironis kalau kita mengamati fenomena berbahasa lisan di negeri ini.
- Di satu sisi, ketika penetrasi bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) mulai merambah setiap kehidupan orang Indonesia, maka kehadiran bahasa asing menjadi sesuatu hal yang dianggap wajar. Bukan hanya sekedar dianggap wajar, tapi menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing, dalam suatu penuturan kalimat berbahasa Indonesia, bahkan dianggap sebagai suatu hal yang canggih dan “berkelas”.
- Di sisi lain, ketika seseorang berbicara bahasa Indonesia dengan aksen yang “keinggris-inggrisan” bisa dianggap sebagai sebuah fenomena berbahasa yang lucu dan memancing tawa. Berbicara dengan bahasa yang dicampur-campur pada beberapa selebritis di negeri ini kemudian dianggap bukan sesuatu yang canggih dan berkelas, seperti diatas, tetapi justru memancing tawa dan ledekan.
- Lain lagi ketika ada orang asing yang mencoba berbahasa Indonesia dengan seadanya, terpatah-patah, dan dengan struktur kalimat yang rancu. Kita justru bisa salut dan mengangkat topi karena setidaknya dia menunjukkan suatu usaha untuk berbahasa Indonesia walaupun mengalami kesulitan.
Fenomena pertama diatas sangat banyak kita lihat. Lihat saja ketika pewarta berita di TV mengucapkan kata “China” bukan dengan pengucapan “ci-na” tapi “chai-na“. Seakan-akan dengan mengucapkan “chai-na” maka pengucapan itu adalah yang canggih dan berkelas. Padahal itu sudah jelas-jelas melanggar kaidah berbahasa.
Atau kalau kita lihat dan dengar pidato-pidato seorang pejabat atau pengusaha yang selalu menyertakan istilah berbahasa asing, seakan-akan setiap istilah asing itu tidak mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia. Atau bisa dilihat pada bahasa tulis di koran atau majalah yang masih banyak menggunakan istilah asing padahal istilah tersebut sudah mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia, kalau mau sedikit capek membuka kamus.
Fenomena kedua yang sering menimbulkan tawa dan ledekan bisa kita lihat pada beberapa artis (selebritis) di Indonesia, misalnya saja Cinta Laura Kiehl. Cara bertuturnya yang kebarat-baratan, disertai penekanan dan aksen yang “dalam” serta terkesan dibuat-buat justru bagi kebanyakan orang tidak dianggap canggih dan “berkelas”, tapi justru memancing tawa dan ledekan.
Misalnya saja salah satu quote dari Cinta Laura seperti ini :
“kata mama aku, perfume itu wanginya gak longlasting. ..jadi mendingan kasi bracelet from platina“.
Untuk fenomena ketiga, saya rasa banyak diantara kita yang pernah bergaul dengan orang asing. Mereka mencoba menggunakan bahasa Indonesia (yang baku) yang didapatkan dari hasil interaksi mereka dengan lingkungannya. Dan saya sendiri tidak pernah menertawakan apabila ada kesalahan dalam pengucapannya. Saya justru salut dengan usaha dan kerja keras mereka.
**************
Gamang ver. 1.0
Ada apa ini ? π
Berbahasa bukan sekedar persoalan identitas. Karena identitas itu adalah sesuatu yang cair (fluid), mengambil bentuk dimana dia berada, dan tidak kaku.
Tapi identitas yang bersifat cair seperti itulah yang bisa menimbulkan semacam kegamangan ketika kita mencoba menghubungkannya dengan bahasa sebagai identitas. Ada yang gamang dalam pembentukan identitas sebagai orang Indonesia dan kemudian identitas itu dihubungkan dengan bahasa Indonesia sebagai salah satu ciri “orang Indonesia”.
Apa kegamangan itu ? Salah satunya adalah suatu mekanisme otomatis, yang mungkin saja dialami secara tidak sadar, ketika kita menganggap bahasa Indonesia itu bukanlah salah satu penanda modernitas. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam benak banyak orang Indonesia, adalah suatu fenomena lokal dan tidak menjangkau sisi dunia yang lebih luas.
Bahasa Indonesia itu lokal dan tidak global.
Bahasa Indonesia itu tradisional dan tidak modern.
Bahasa Indonesia itu kuno dan tidak canggih.
Bahasa Indonesia itu jadul dan tidak mengikuti jaman.
Itulah yang terjadi ketika kita justru merasa comfort π menggunakan istilah-istilah bahasa asing dalam setiap ucapan kita yang jelas-jelas berbahasa Indonesia. Secara tidak sadar, kita ikut menegaskan hipotesis akan tidak canggihnya bahasa Indonesia itu sendiri.
Dan saya sedikit heran ketika kita justru nyaman berbahasa Indonesia tapi masih saja mencampurbaurkan berbagai istilah-istilah asing yang sudah punya padanan dalam bahasa Indonesia. Fenomena ketidakbanggaan mungkin saja berlebihan, tetapi itu bisa saja ada dalam setiap benak orang Indonesia, apalagi didukung oleh pemakaian bahasa Indonesia yang serampangan oleh pejabat publik.
Jikalau berbahasa Indonesia adalah suatu simbol akan ketidakcanggihan identitas bahasa, maka sewajarnya kita juga mempertanyakan akan kecanggihan dan keglobalan identitas kita sebagai orang Indonesia.
Ya, saya bangga jadi orang Indonesia
Apakah anda bangga berbahasa Indonesia ?
Mmmmh…. Ntar dulu. Maksudnya apa ya ? π
Kontradiktif ? Bisa jadi.
Gamang ver. 2.0
Kegamangan yang lain yang saya lihat justru terjadi ketika kita mengamati bagaimana orang lain (khususnya selebritis) menggunakan bahasa Indonesia. Contoh nyatanya adalah fenomena berbahasa ala Cinta Laura yang “jungkir balik”.
Bahasa memang soal kenyamanan. Bagi beberapa orang yang lahir dan besar dalam tradisi bahasa daerah, memang lebih nyaman menggunakan bahasa daerah ketika ngobrol ngalor-ngidul dengan orang-orang sedaerah.
Bahasa juga memang soal kebiasaan. Jadi kebiasaan menggunakan suatu aksen dalam bahasa tertentu biasanya akan terbawa-bawa ketika kita memakai bahasa yang lain.
Misalnya saja saya sendiri yang walaupun jarang berbahasa Batak tapi aksen Batak masih cukup kentara ketika saya berbicara. Begitu juga dengan Cinta Laura yang terbiasa berbahasa Inggris, sehingga ketika menggunakan bahasa Indonesia, aksen dan istilah-istilah berbahasa Inggris langsung berhamburan dengan lancar.
Coba tanyakan pada Bangaip atau Deking yang cukup lama hidup di Belanda. Saya rasa dalam berbahasa ada juga sedikit “campur baur” antara kebiasaan berbahasa Indonesia (aksen Cilincing dan aksen Banjarnegara) ketika mereka memakai bahasa Belanda. Begitu juga sebaliknya.
Saya tidak pernah menertawakan fenomena berbahasa model Cinta Laura. Saya justru menganggap bahwa Cinta Laura sama dengan fenomena “orang-orang asing” yang terbiasa memakai bahasa asing dan kemudian harus terpatah-patah dan jungkir balik ketika menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
Bagi saya, Cinta Laura atau banyak orang-orang Indonesia lain yang lahir dan besar di luar negeri dan terbiasa berbahasa asing adalah SAMA DENGAN orang-orang asing ASLI yang memang mempunyai bahasa ibu bukan bahasa Indonesia tetapi mencoba untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan usaha yang lebih berat daripada kita.
Bagi mereka, persoalan identitas bukanlah masalah utama ketika berbahasa. Seperti kata saya diatas, identitas adalah sesuatu yang cair. Cinta Laura bisa saja beridentitas orang Indonesia, tapi identitas bahasanya bukanlah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, identitas “suku bangsa” dan identitas “bahasa” bukanlah satu paket.
Mereka berbeda dengan kita yang identitas bangsa dan bahasanya dikemas dalam satu paket.
Dimana perbedaannya ? π
***************
Bahasa Indonesia bukan sekedar “Bahasa Indonesia saya buruk sekali, jadi Cinta will be going to Australia to improve Bahasa Indonesia Cinta“. Belajar bahasa itu bisa kemana saja. Anda tidak perlu ke Belanda untuk belajar bahasa Belanda. Anda juga bisa ke Australia untuk belajar bahasa Perancis. Anda juga bisa ke Brunei untuk belajar bahasa Urdu.
Tapi, yang sulit adalah menjadikan bahasa sebagai suatu identitas. Bukan sekedar identitas dimana kita mendapatkan nilai A+ dalam pelajaran bahasa. Tapi identitas yang disertai dengan kebanggaan.
Apakah anda bangga berbahasa Indonesia ?
π
catatan :
- Mohon maaf pada Bangaip dan Deking yang namanya dicatut tanpa ijin dan digunakan sebagai judul
sinetrontulisan ini.Royalti penggunaan nama akan dikirimkan langsung ke alamat anda.π - Maaf juga pada Pak Sawali kalau saya sudah mengambil jatah beliau untuk menuliskan fenomena berbahasa dengan cara “serampangan” seperti ini.
- Saya juga sering tidak taat dalam berbahasa. Tulisan ini juga adalah semacam autokritik.
Tulisan terkait :
Menarik. π
Tapi BTW, bukankah pronunsiasi /chai-na/ itu merupakan usaha untuk memberantas terminologi peyoratif “cina”? Kalau nggak salah pernah dibahas oleh Gun…
entah kenapa, kadang-kadang suka gak sadar kalau dalam berbicara saya suka menyelipkan bahasa enggris (yang agak kacau sih) tapi itu gak disengaja lo… suer….
soal si cincha lawra itu, kenapa dia jadi bahan tertawaan karena kalo pas di sinetron bahasa indonesianya itu lancar sekali (walaupun mungkin harus mengulang berkali-kali).
yang jelas, saya bangga kok jadi orang indonesia.
Ah mempertanyakan identitas ternyata…
Barangkali selain bahasa masih banyak cerminan yang lain yang Bang, misal budaya.
Dapatkah, analogi yang sama digunakan untuk menjelaskan budaya ini Bang?
-terima kasih-
saya amat sangat bangga berbahasa Indonesia
walopun belom bisa sepenuhnya memenuhi kaidah EDY eh EYD
ditambah masih terbatasnya berbagai informasi yg tidak berbahasa Indonesia, yg bisa jadi kendala saat saya ingin belajar sesuatu
tapi hal itu tidak menjadikan saya menjadi bangga berlebihan
berusaha belajar bahasa lain yg baliknya ke bahasa lagi
ah pagi-pagi dah ngoceh ngawur neh gw π
wew… mengapa bung fertob bilang seperti itu, hehehehehe π memangnya saya orang pusat bahasa, bung, hehehehe π saya sama seperti bloger lain, *halah* salah satu warga bangsa yang selalu berusaha untuk cinta pada tanah air, bangsa, dan bahasa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam ikrar sumpah pemuda. *walah, sok patrirotik, yak* saya malah salut sama bung fertob yang memosting persoalan fenomena kebahasaan ketika bangsa kita sudah bertekad untuk menjadikan bahasa indonesia sebagai salah satu bahasa global.
bung fertob, disadari atau tidak, selama ini memang ada gejala inferior yang menghinggapi *wew… saya jadi ikutan pakek istilah asing* bangsa kita. bahasa indonesia masih dianggap sbg bahasa yang “katrok” dan kampungan ketika seseorang tampil di depan publik. ada gejala rendah diri, kurang pede, dan merasa kurang bermartabat ketika menggunakan bahasa indonesia dalam bertutur. agaknya, kegamangan yang bung fertob ungkap itu juga disebabkan oleh atmosfer perubahan di negeri ini yang masih dalam masa transisi perubahan, dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat global dan mondial. serba ambigulah. durkheim menyebutnya dg istilah anomie. tradisionalnya sdh mulai ditinggalkan, tapi modernitas belum menjadi ikon kepribadian. tak heran jika dalam bertutur pun kita masih sering merasa terpelajar dan bermartabat jika menggunakan setumpuk istilah asing dalam bertutur. padahal, jelas2 sdh ada padanannya dalam bhs indonesia.Namun, pada sisi yang lain, kita juga tdk menutup mata, ada banyak padanan kata dlm bhs indonesia (diambil dr bhs daerah) yang justru terasa asing daripada bhs asing itu sendiri, misalnya selampai=tissue, kudapan=snack, dll. kalo memang bhs indonesia ingin “go publik”, saya kira akan lebih bagus apabila lentur dan fleksibel thdp perubahan. bahasa kan juga bersifat arbitrer. sangat ditentukan oleh pemakainya. daripada menyusun kaidah yang njlimet tapi hampir tak ada yang menggunakannya kecuali hanya sebatas sebagai materi ajar di sekolah? wah, repot, kan? pedoman pembentukan istilah pun mesti akomodatif dan tdk perlu memaksakan diri menggunakan bahasa indonesia kalau memang tidak nyaman digunakan dalam bertutur. tapi, juga jangan sampai terjadi, kita latah dg menggunakan setumpuk istilah asing hanya sekadar utk menunjukkan sikap terpelajar dan bermartabat. *halah, kok jadi ngelantur* ok, makasih bung fertob yang telah ikut mengingatkan pembaca untuk kembali pede menggunakan bahasa indonesia.
iya sih kenapa kita nggak bangga dengan bahasa indonesia, dan kursus an bahasa indonesia, yang diajar kebanyakan adalah orang2 asing π
Basa Indonesa saya medhok sekali, apalagi basa inggris, pasti sama juga diketawain kayak cinta lora, tapi basa indonesa berdialek jawa, yes to?
Bagaimana mewujudkan identitas yg disertai kebanggaan?
Pertanyaan ini mirip pengertian iman dan amal dalam Islam. Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota tubuh.
*maksa hihihi*
Ah *on second thought π * lebih mirip soal ulangan PPKN anak saya di SD, tunjukkan kamu bangga sebagai warganegara Indonesia?
*perasaan bangga itu penting rupanya π Kenapa harus bangga? setelah bangga terus gimana?*.
Saya cenderung menggunakan bahasa Inggris sebagai ajang latihan, melatih diri di dunia kerja dan melatih anak mengenal dunia luasss *bahasa Indonesia memang tidak global* π
Yang pasti setiap kali berbahasa baik Indonesia atau Inggris harus tepat struktur dan kaidahnya termasuk cara penulisannya (terkecuali bahasa gaul).
Walau begitu saya justru menikmati perbedaan jungkir-balik bahasa yang bertebaran di wordpress, unik π
Hmm… saya malah lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia ke staf2 saya daripada bahasa daerah, hal itu utk menghindari kesalah-pahaman instruksi. Kalo udah gitu masih meleset pelaksanaannya, baru ta` “gorok” yg buat salah itu hehehe…
Dilema percampuran bahasa sepertinya sudah pernah dibahas sebagai kripik pedas dalam blogku yang lama. π
*Sebetulnya, pernah sekali waktu aku merasa nyaman dengan percampuran bahasa macam itu.*
Tapi, ealah…Itu ‘kan sudah mode… π
menarik. tapi…
…bangga berbahasa Indonesia itu, contohnya seperti apa? apakah dengan selalu mengatakan…
…’aku’ atau ‘saya’ alih-alih ‘gue’?
…’tolong ambilkan saya sapu’ alih-alih ‘ambilin sapu, dong!’
…’saya punya diska sebesar 80 gigabita’ daripada ‘ada harddisk 80 gigabyte’?
masih mending sih. tapi bagaimana dengan istilah yang kadang padanannya gak pas? misalnya…
…’gila, hectic banget minggu ini’ daripada ‘ya ampun, sibuk sekali saya minggu ini’?
…’itu gak make sense!’ dengan… (duh, gak kepikiran pengganti yang tepat, maaf π )
saya sendiri kadang menemukan bahasa Indonesia, pada beberapa tempat, tidak benar-benar fleksibel. bukankah ini juga yang memicu timbulnya bahasa percakapan dari bahasa Indonesia yang lebih formal?
kalau dibandingkan,
‘kita pada mau keluar nanti jam 9, mau ikut nggak?’
‘kita akan pergi jam 9 nanti, apakah kamu mau ikut’?
tiba-tiba saya merasakan ‘ketidakfleksibelan’ bahasa Indonesia kalau dilihat dari sisi ini. tapi memang sih, bahasa tidak bermain di meja konferensi, kan?
Fenomena pengikisan bahasa Indonesia sudah lama terjadi. Anton Muliono, seorang pakar bahasa pernah menggerutu bahwa masyarakat kita tidak percaya diri dalam berbahasa Indonesia. Penggunaan istilah yang campur aduk, pengucapan yang tidak tepat seperti di atas serta invasi istilah asing adalah faktor-faktor yang menyebabkan bahasa kita kian ketinggalan. Hal ini diperparah oleh para pendidik, akademisi serta pejabat yang tak pandai menjaga kaidah bahasa Indonesia yang baik.
Di tengah terjadinya pelapukan bahasa Indonesia itu, datanglah gempuran istilah asing yang dibawa antara lain oleh para selebritis yang menggunakan istilah asing secara serampangan. Syukurlah kalau istilah2 itu bisa memperkaya khasanah bahasa kita. Tapi kebanyakan terjadi pemiskinan makna bahasa kita. Penyebutan yang salah kaprah misalnya PR untuk public relations diucapkan Pi-ar, Cina diucapkan Cha-ina. Ada pula sebuah spanduk yang berbunyi : Berhematlah Dengan Air Minum. Padahal dokter menyarankan agar kita supaya banyak minum air putih. Mungkin maksud spanduk itu : Berhematlah dengan air bersih.
Saya turut prihatin atas gejala pelapukan bahasa kita ini. Salam π
saya suka bagian cinta laura ,, hahaha..
” Udah ujyan, beycek, gak ada ouyjek”.
walau bagaimanapun, kita harus tetap menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar..
tapi kata dosen bahasa saya, “Masa mau make bahasa baku setiap saat? Kadang2 bisa merepotkan.”
segala sesuatu tuh ada tempatnya, jadi saya tidak mempermasalahkan penggunaan bahasa ‘gaul’. Tetapi, kalau acara formal, kita harus menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar.
apakah keterkikisan penggunaan bahasa indonesia yg baik dan benar ada hubungannya sama mulai pudarnya kecintaan akan budaya bangsa sendiri?
lg cek2 kamus dan KBBI daring, ternyata Bahasa Indonesia yg biasa saya pake masi banyak salah π
dapat pencerahan, salam kenal saja untuk semua nya dari pendatang baru di blogosphere (apakah bahasa yang telah saya tulis menyalahi kaidah berbahasa indonesia dengan baik dan benar?)
Kalau saya pribadi berpendapat, mungkin dilihat dengan siapa kita berbicara.
Saya sudah tinggal di Malang sekitar 4 tahun, tp asli saya dr Kalimantan. Saya sebenarnya ingin sekali bisa bahasa jawa dengan lancar baik yg ngoko maupun yg kromo, tp masalahnya saya gak PD dengan pelafalan saya…
Jadinya ya…, gitu deeeh. π
So, kalau ada yg berusaha pake bahasa kita, yaa… rasanya senang aja dooong…
Bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga dengan bahasa bangsanya. Bangsa Indonesia, berbahasa Indonesia, oke !
menurut saya saat ini sudah banyak pergeseran dalam berbahasa. entah kenapa banyak yang lebih suka mencampurkan bahasa-bahasa asing ke dalam percakapan sehari-hari. mungkin biar kelihatan lebih keren
kayak si chicha ituh, atau memang bisa jadi hanya kata-kata itu yang bisa mewakili percakapan… πralat, harusnya chincha, bukan chicha*sengaja dicoret*
Memang sih,sebagai orang Indonesia kita harusnya bangga punya bahasa sendiri,apalagi memakainya dengan baik dan benar,tapi ada benarnya juga kata teman kita yang di atas,kalau kita terus memakai bahasa indonesia yang baik dan baku kayaknya ribet,jadi pemakaiannya ada tempat,kondisi dan suasananya dong,itu aja komentar dari saya.
@ Semua :
Mungkin ada yang kurang jelas saya paparkan diatas.
Ada mungkin yang kurang paham pengertian berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Berbahasa Indonesia yang benar adalah penggunaan bahasa yang memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa. Misalnya kosa kata, lafal atau pengucapan, tata bahasa, dan lainnya.
Berbahasa Indonesia yang baik itu adalah pemakaian bahasa yang cocok dengan SITUASI pemakaiannya. Situasinya ada 2 yaitu (1) Resmi, dan (2) Tidak Resmi.
Situasi resmi misalnya pada situasi keilmiahan, kenegaraan, berbicara di depan publik (pidato resmi), surat menyurat kedinasan, membuat laporan ilmiah, dan lain sebagainya.
Situasi Tidak Resmi adalah situasi pergaulan keseharian dengan masalah sehari-hari yang dibicarakan. Misalnya pada obrolan di warung atau tawar menawar barang di pasar, dan lain sebagainya.
Yang terpenting dari berbahasa bukan sekedar benar saja ,tetapi juga memperhatikan situasi pemakaian bahasa itu. Yang terpenting dari bahasa yang baik adalah maksud dari suatu pengucapan dimengerti dalam situasi tersebut. Tidak mungkin kita menggunakan bahasa yang baku dalam situasi obrolan sehari-hari dengan teman.
Situasi juga menentukan pemakaian berbahasa. Jadi contoh-contoh pengucapan bahasa Indonesia tanpa memperhatikan situasi bisa saja dikategorikan berbahasa secara benar, tapi apakah bisa dikategorikan baik ? π
Pencampuran dengan bahasa asing adalah hal yang lumrah. Karena sebagian kosa kata bahasa Indonesia juga berasal dari bahasa asing. Tapi, lebih baik dan dianjurkan untuk menggunakan kosa kata bahasa asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang lebih sulit karena sudah terbiasa dengan kosa kata bahasa asing, juga bisa saja terkesan tidak cool atau stylish. π Tapi kalau tidak mau dicoba, minimal menggunakan bahasa Indonesia disertai dengan bahasa asingnya, kapan lagi bahasa Indonesia bisa berkembang ?
Atau memang sudah terlanjur tertanam di alam bawah sadar bahwa bahasa Indonesia itu “katro” ? π
Terimakasih, posting yang mengingatkan.
Ya, sebaiknya memang kita harus mulai sedikit demi sedikit lebih percaya- diri dengan bahasa sendiri.
hoHOho,,
kembali ingat sumpah pemuda ajjah..
π
Salam kenal..
Saya ndak setuju ma bang Fertob.
Kadangkala, bhs inggris kalo diindonesiakan artinya berubah.
Misalnya, traverse terjemahannya menjelajah.
explore juga menjelajah.
Nah, bingung khan?
Nah, bang Fertob emang menyebut mouse dengan tetikus? ato motherboard dengan papan induk?
kalo ada kata-kata object oriented design patterns masak kemudian diterjemahkan dengan pola rancangan berorientasi objek? Pola rancangan itu maksudnya apa? Kalo design patterns, yang tahu jelas jauh lebih banyak. Orang langsung kepikiran Gang of Four dan Martin Fowler
Coba, apa bahasa indonesianya blog?
Catatan jaring?
Kalo bahasa indonesianya web service?
Masak layanan web? Padahal maksudnya bukan itu.
Banyak buku komputer mencoba sebanyak mungkin memakai istilah Indonesia. Tapi, pembacanya malah jadi ndak paham.
Middleware application terjemahannya apa?
website terjemahannya apa?
situs web? Bukannya itu bukan kata indonesia?
coba, terjemahannya exception apa?
Kalo jadi perkecualian saya malah jadi susah nangkepnya.
Bisa nerjemahin socket gak?
Kalo slot?
Gimana dengan cache?
Wah kalo gugel pakeknya tembolok ya. Wah, kreatif tuh.
Lagi, ada istilah voiceprint analyser,
jadinya apa? Penganalisa cetakan suara manusia?
Bagaimanapun juga, kita harus tetap mengadopsi bahasa englis. Diakui atau tidak, perkembangan ilmu pengetahuan kita jauh tertinggal. Semakin seringnya kita menggunakan istilah-asing, maka semakin dekat pada kemajuan? saya orang Indonesia, cinta bahasa Indonesia. Tapi tidak menolak masuknya istilah-istilah asing, . Saatnya membuka diri dan siap untuk maju.
Komentarnya jadi ga nyambung gini yah… KABUUURRR
@ fauzan.sa
IMHO, pemilihan katanya salah. Kalau itu termasuk bahasa dunia Komputer, bukan bahasa inggris.
Kalau exception harusnya jadi pengecualian, jadi bisa ditangkap. π
Apapun itu…
ngomong asal bisa saling mengerti itu pun sudah cukup.
menyoal bahasa, toh itu hanya semacam konvensi.
jika kita setuju menyebut “kursi” sebagai “meja”, tak ada soal lagi kan?
tapi saya mendukung gerakan untuk berbahasa indonesia dengan baik… hargai bahasa kita sendiri…
Kosakata asing kadang2 lebih baik diucapkan aslinya daripada dicari padanan tapi malah ngga bisa dipahami ..
soal cincha.. selain gaya bahasa nya itu.. bentuk mulutnya saat ngucapin itu bener2 nyebelin π udah kaya mau jatuh aja itu bibirnya.
saatu nusa saatu bangsa saatuu bahasa kitaaa
orang ngomong ajah disusahin… yang penting saling ngerti plus gak lupain tata krama ajah tow π
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar berarti menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan bukannya bahasa asing walaupun itu tidak baku. Gitu kan?
Pergeseran gaya bahasa ini mungkin karena adanya penetrasi budaya asing yang juga diagung-agungkan. Dalam artian, apapun yang berasal dari Barat adalah maju, sehingga bahasa pun termasuk di dalamnya.
Salah satu wujud kebanggaan kita akan identitas memang bahasa, Bang. Ada yang bilang bahwa kita kalah dengan orang Jepang karena mereka tetap ngotot menggunakan bahasa Jepang walaupun berada di negri orang. Tetapi saya sempat bingung juga, apakah itu adalah aplikasi rasa bangga? bukannya malah merepotkan. π
Terkadang masih ada bahasa asing yang terselip dalam bahasa lisan dan tulisan saya. Tapi apakah dengan begitu saya tak bangga menjadi orang Indonesia? Padahal saya selalu yakin bahwa saya nasionalis sejati.
kalau bukan bangsa sendiri yang memakai bahasa Indonesia, siapa lagi yang akan membudayakan harta warisan yang sangat kita cintai ini?
Pertama-tama saya ga mudeng dengan postingan ini. Siapa itu Cinta Laura .. kalo Bang Aip dan deKing mah saya hapal luar dalam eh ga ding luar-nya aja postingan mereka. Eh sorry eh maaf .. tulisan maksud ane eh saya hehehe …
Barusan, really life ngasih tahu kalo Cinta Laura itu sinetron dengan dialek aneh .. syukurlah saya ga pernah nonton sinetron jadi ga tahu hal-hal kaya’ gini hehehe …
Saya suka bahasanya Bang Aip .. kalo deKing .. bahasanya banyak yang ilmiah .. trus kalo mas Fertob .. apa ya??? eh .. mas, kirain sekarang sudah bulan bahasa. Kan masih lama ya??
pembahasan unik, salut bang fertob. semoga kita tidak terjebak dengan situasi yang membuat kita mengingkari sumpah pemuda (lah, kok nyambung??)
salamhangat.
Quote “Bagi saya, Cinta Laura atau banyak orang-orang Indonesia lain yang lahir dan besar di luar negeri dan terbiasa berbahasa asing adalah SAMA DENGAN orang-orang asing ASLI yang memang mempunyai bahasa ibu bukan bahasa Indonesia tetapi mencoba untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan usaha yang lebih berat daripada kita.”
Yang menjadikannya berbeda adalah: Cinta Laura bermain dalam sinetron Indonesia, menggunakan dialog yang sepenuhnya berbahasa Indonesia, dan tercatat sebagai bintang Indonesia. Posisi ini dengan serta merta mengurangi (jika tidak dapat dikatakan menghilangkan) alasan bahwa ia boleh bicara dengan bahasa Indonesia yang berantakan.
Akan berbeda kasusnya jika pada suatu hari Zang Zi Yi atau Julia Roberts datang ke Indonesia dan berbicara seperti Cinta Laura π
Atau.. akan berbeda kasusnya jika Cinta Laura hanya seorang anak hasil perkawinan campuran biasa, bukan bintang film Indonesia.
*saya rasa.. Ida Iasha mengambil langkah yang lebih bijak dengan tidak terlalu banyak umbar bicara di depan publik dengan alasan [seperti disebutkannya di Kompas beberapa minggu lalu], “Entah kenapa kalau bicara dengan orang asing, logat Belanda saya menjadi lebih kental”*
Wah pertanyaan yang sulit …
Menurut saya (super subyektif) walau bahasa Indonesia menjadi bagian penting dari Sumpah Pemuda, tetapi kebanggaan berbahasa Indonesia bukanlah suatu keharusan dari wujud nasionalisme. Nasionalisme tidak sesempit bibir kan?
Selain itu yg jadi masalah adalah bagaimana mengukur kebanggaan berbahasa Indonesia itu? Contoh kasus pengucapan kata seperti yang dilakukan Cinta Laura … apakah orang2 yang berbicara bahasa Indonesia seperti itu berarti tidak bangga? Bisa juga karena mereka benar2 tidak bisa. Tapi kalau Cinta Laura sich saya tidak tahu hehehe
BTW saya ga bisa bahasa londo kok Bang …. kalau omong londo sih lancar π
Kalau Bang Aip tuch yang lancar bahasa londo
Ouw…deKing ama bangAip cuma disentil dalam satu kalimat ya? Padahal udah nunggu deKing dicacimaki;))
Salam kenal;)
@ Geddoe :
Gun kalau nggak salah malah menganjurkan pemakaian kata Tionghoa dan bukan China atau Cina [/chai-na/ atau /ci-na/].
@ Ira :
Saya juga suka begitu kok mbak. Tapi lebih banyak pada istilah-istilah teknis psikologi yang memang belum ada atau sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kalau Cinta Laura, saya tidak terlalu tahu.
@ Goop :
Mungkin nanti bisa saya tuliskan tentang budaya, paman Goop. Saya memang tertarik pada masalah identitas dan budaya, khususnya budaya asli Indonesia [termasuk bahasa Indonesia].
@ Caplang :
Saya juga bangga berbahasa Indonesia, mas. Soal memenuhi kriteria EYD atau tidak, saya tidak terlalu mengerti. Asalkan pemakaiannya dimengerti oleh orang lain dan sesuai dengan situasi, itu sudah cukup bagi saya.
ah, sbg orang jawa dg keluarga yg agak feodal, bg saya, bhs indonesia itu demokratis dan feksibel sekali….. ^^
Setuju dengan restlessangel, menurut saya sih bahasa Indonesia itu menawan. Hanya saja menurut sebagian orang fenomena ini dapat mengarah pada matinya bahasa-bahasa daerah. Saya sendiri juga hanya bisa menggunakan bahasa Jawa Ngoko.
saya pikir ini akibat serap menyerap yg merajalela dan mungkin karena bahasa sendiri mulai kehilangan indentitasnya yah
*tanya kenapa*
ngomong bahasa inggris ya ga papa..tp ya kalo ngmong bhs inggris y bhs inggris aja,jgn dicampur dg bhs indo, keliatan bgt maksanya..contohnya..”i had a bad dream last night”,jgn ngmg kya gni”smalem gw bad dream” ..????what the hell was that, sound weird right?..intinya,gunakanlah bhs indonesia dan bhs inggris(kalo udah fasih)yg baik dan benar..
btw,ada yg bilang si cinta laura itu logatnya british…ckck..kupingnya ga peka kali ya..cinta mah american banget logatnya..british people definetely dont speak english like she does !!