Sebenarnya bukan tulisan ini yang ingin saya publikasikan karena ada tulisan lain menyangkut jenis kelamin Tuhan yang lebih “penting”. Tapi berhubung saya sedang iseng dan sedang mood untuk menulis yang berat-berat, maka tulisan ini yang nongol.
Tapi sebelum saya menuliskan postingan kali ini, saya sempat bermain-main dulu ke blog NewsAnchorAdmirer dan melihat-lihat gambar-gambar “segar” seputar pewarta berita (anchor) televisi. Ada berita tentang anchor MetroTV yang baru yaitu Githa Nafeeza, juga ada berita Anchor of the Year 2007 yaitu Gadiza Fauzi, serta Rahma Sarita, Anchor of the Month bulan February 2008.
Menarik. Selama ini saya kalau menonton berita sangat jarang memperhatikan SIAPA yang menjadi pewartanya (anchor). Karena lebih fokus pada berita yang disampaikan, saya jadi tidak begitu mengetahui siapa-siapa saja anchor berita di televisi. Padahal semuanya cantik-cantik, ganteng-ganteng, dan berpenampilan menarik, setidaknya begitu kata orang. π
Lalu menurut blog itu, Gadiza Fauzi dinobatkan sebagai Anchor of the Year 2007. Saya sebenarnya juga suka sama Gadiza Fauzi karena senyumnya yang manis dan imut-imut itu. π Tapi cara menyampaikan beritanya seperti hendak “terpeleset” dan salah ucap. Lain lagi kalau Zelda Savitri yang menyampaikan berita di Metro This Morning atau program berbahasa Inggris di Metro TV lainnya, dia berbicara seperti meluncur dengan ski es diatas salju dengan kecepatan tinggi : lancar dan sangat fasih. Saya yang listening ability dibawah rata-rata bisa jadi bingung sendiri. Beda kalau Kania Sutisnawinata yang menyampaikan berita.
Tapi anchor berita favorit saya, selain Gadiza Fauzi dan Kania Sutisnawinata, adalah Amelia Ardan. Suaranya enak didengar, empuk, menyejukkan, dan senyumnya itu lho…. keibuan banget. π Nah, kalau saya yang menjadi juri tunggal siapa Anchor of the Year 2008, maka saya akan memilih Amelia Ardan dari MetroTV. Pokoknya™ Amelia Ardan itu favorit saya. Ada yang protes ?
***************
Tapi lupakan dulu soal anchor berita di TV. Lupakan tentang siapa yang paling cakep. Lupakan tentang siapa anchor favorit. Dan lupakan tentang senyum keibuan dari Amelia Ardan yang memabokkan itu. π Saya tidak ingin berbicara tentang itu.
Tulisan yang membuat saya tertarik untuk menulis postingan ini adalah tulisannya Farid Mr.FortyNine yang berjudul Iman dan Logika. Juga tulisan Wak AbdulSomad yang berjudul Iman Tidak Selalu Dengan Logika.
Apa yang menjadi masalahnya ?
Bagi saya sepertinya ada kekurangtepatan persepsi ketika kita berusaha mengartikan Logika dan Keimanan (Kepercayaan).
Selama ini ketika kita berusaha memasukkan logika, akal, nalar, dan segala proses berpikir lainnya ke dalam pemahaman keagamaan dan kepercayaan, selalu ada semacam “clash of civilization“, meminjam istilah dari Samuel Huntington. Begitu juga ketika berusaha memasukkan suatu keimanan (faith) dan kepercayaan (belief) ke dalam pengertian logika, nalar, dan akal. Selalu saja ada pertentangan, seakan-akan keduanya berbeda jenis kelamin dan hidup di kutub yang berbeda serta memang “ditakdirkan dari sono” untuk berlawanan.
Benarkah ?
Lalu ada juga semacam kesimpulan awal bahwa keduanya memang terletak di dua titik yang berada pada ujung yang berbeda. Sama seperti Kapitalisme dan Komunisme bertentangan sebagai sebuah sistem ekonomi. Takdir telah menentukan bahwa Iman dan Logika seperti Tom dan Jerry, setidaknya begitu dalam pemahaman sebagian orang.
Benarkah ?
Iya, benarkah ?
.
.
*pletak* πΏ
Problem #001 : Logika
Apa itu logika (logic) ?
Saya tidak memberikan definisi di sini. Anda bisa mencarinya di seantero jagat internet dan akan menemukan artinya yang kurang lebih mirip satu dengan yang lain. Definisi dan istilah memang bisa menjelaskan masalah, tapi bisa juga membuat kita bermasturbasi istilah dan bolak-balik menanyakan kesahihan sebuah definisi. Yang terakhir inilah yang ingin saya hindari.
Jadi kalau ada yang menanyakan : logika artinya apa ? Maka saya menganjurkan anda untuk gugling dengan keyword “logic” atau “logika”. Dan anda akan menemukan berjuta-juta halaman situs yang membahasnya. π
Tapi, intinya logika selalu berhubungan dengan BERPIKIR. Manusia yang berpikir. Manusia yang menjadikan berpikir sebagai aktivitasnya sehari-hari, detik demi detik, menit demi menit. Tak ada manusia hidup yang tidak berpikir.
Lebih tepatnya lagi, dalam logika ada input, process, dan output. Ada masukan informasi, ada pengambilan premis, ada pengolahan informasi, dan ada kesimpulan (inference) yang dikeluarkan. Kalau ada yang mau membaca Organon karya Aristoteles, saya punya ebook-nya. Silakan dipesan. π
Jadi sederhananya, logika itu berhubungan dengan proses berpikir yang dilakukan oleh manusia. Kalau anda keluar dari rumah untuk membeli pisang goreng di pinggir jalan, maka selama perjalanan dari rumah sampai ke penjual gorengan anda telah melakukan beberapa, bahkan ratusan, proses berlogika. Sama dengan kalau anda menyetir mobil dari rumah sampai ke kantor.
Logika juga bukan hanya masalah premise-inference saja. Proses yang terjadi di tengah-tengah juga adalah proses berlogika. Proses-proses yang ada dalam berlogika itu bermacam-macam. Mulai dari identifikasi, filterisasi, klasifikasi, kategorisasi, sampai pada pengambilan kesimpulan. Itu semua adalah logika. Dan makanya ada kesalahan logika yang bermacam-macam, mulai dari pengambilan premis awal, proses di tengah-tengah, pengambilan kesimpulan, bahkan informal fallacy yang “tidak berhubungan” dengan inti dari logika itu sendiri.
Sesederhana itukah ?
Jangan selalu menghubungkan logika dengan logika matematika ala Pak Deking. Itu sudah logika tingkat tinggi. Atau dengan teori relativitas Mbah Einstein yang rumit dan memusingkan. Logika itu sederhana, karena setiap hari kita melakukannya walaupun tanpa disadari. Bayangkan contoh anda membeli pisang goreng diatas, dan bayangkan berapa proses berlogika secara sederhana yang sudah anda buat disitu.
Atau mau contoh ? Ini salah satu contohnya yang ada di beberapa tes psikologi.
Ayam : Anjing = Menggonggong : (…………)
Nah, dari contoh itu bisa banyak proses yang anda lakukan untuk mengisi titik-titik yang tersedia. Pertama adalah identifikasi, ayam dan anjing itu adalah jenis binatang dan bukan makanan. Kedua adalah identifikasi juga, menggonggong adalah karakteristik tertentu. Ketiga adalah kategorisasi, di sebelah kiri adalah hewan dan di sebelah kanan adalah sifat dan karakteristik dari hewan. Keempat adalah asosiasi, anjing dihubungkan dengan menggonggong dan ayam diasosiasikan dengan titik-titik. Begitu seterusnya.
Tapi kalau dituliskan dalam proses tidak sadar yang terjadi dalam otak kita seperti diatas, tampaknya jadi makin rumit. π Intinya, dalam suatu proses berlogika yang sederhana anda sudah melakukan banyak proses berpikir yang berhubungan dengan masalah. Tapi semua itu terjadi secara otomatis dan tidak disadari.
Jadi logika itu sudah melekat dalam diri manusia yang berpikir. Dan karena manusia hidup tak ada yang tidak berpikir, maka manusia itu adalah makhluk berlogika.
Manusia adalah Makhluk Berlogika
Problem #002 : Iman – Percaya
Nah, ini yang lumayan njelimet. π
Keimanan adalah kepercayaan terhadap sesuatu. Karena sering dihubungkan dengan Tuhan dan Agama, maka keimanan akhirnya identik dengan Tuhan dan Agama. Kalau orang bicara Iman maka yang dimaksud adalah I Believe in One Supreme God (sila pertama Pancasila). π
Tapi keimanan adalah nama lain dari kepercayaan itu sendiri. Oleh karena itu, yang menjadi inti dari keimanan adalah : Manusia (individu) yang Percaya (belief) terhadap suatu eksistensi lain diluar dirinya sendiri (other existence outside myself). Seperti apa sesuatu diluar dirinya itu bisa bermacam-macam.
Iman selalu berhubungan dengan Tuhan. Iman adalah nama lain dari Kepercayaan (belief). Sementara belief itu bisa mengarahkan dirinya kemana saja. Anda mau percaya dan menyembah batu, percaya pada pohon beringin di samping rumah, percaya pada fertob, π atau percaya pada jin iprit, tetap saja semua itu bernama Kepercayaan.
Kepercayaan tidaklah sesederhana itu. Kalau sudah percaya maka biasanya mengarah pada suatu sistem tertentu. Ada sistem yang terlibat dalam sebuah keimanan/kepercayaan. Misalnya saja, sistem penyembahan, sistem ritual, sistem hukum, sistem dogma dan doktrin, dan sistem-sistem yang lain yang membuat kepercayaan tidak sekedar kepercayaan. Itulah awal mula sistem kepercayaan (belief system).
Nah, karena telah tersistem, maka biasanya juga terinstitusi dan terorganisasi. Itulah awal mula Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang lebih kompleks dan tersistematisasi dari sekedar kepercayaan sederhana, apalagi kepercayaan terhadap fertob.
Intinya, keimanan dan kepercayaan itu satu paket kombo hemat. Satu pengertian lain “pengertian”. Kepercayaan kepada Tuhan dalam bungkus Agama dinamakan “Keimanan”. Tapi tetap intinya kepercayaan.
Jadi kita punya 2 pengertian disini :
- Keimanan dalam konteks Kepercayaan Kepada Tuhan dalam bungkus Agama.
- “Keimanan” dalam konteks Kepercayaan terhadap apa saja [lihat paragraf atas].
Pengertian pertama hanya berhubungan dengan Tuhan dan Agama.
Pengertian kedua lebih luas dari itu. Disini segala bentuk kepercayaan [apa saja] bisa dikatakan keimanan. Dan pengertian inilah yang akan saya pakai seterusnya dalam konsep keimanan/kepercayaan.
Keimanan/Kepercayaan dalam arti yang luas seperti diatas (pengertian kedua) adalah mekanisme psikologis internal yang SELALU ADA dalam diri manusia. Manusia selalu melekatkan dirinya dengan sesuatu diluar dirinya, dengan berbagai tujuan psikologis. Salah satu tujuannya adalah “memperoleh kenyamanan psikologis” dalam kehidupan di dunia. Fungsi ini selalu hadir dalam diri manusia.
Banyak yang mengatakan bahwa inilah sisi spiritualitas manusia. Apapun namanya (spiritualitas, God-Spot, dlsb), mekanisme internal ini selalu ada. Tidak ada manusia hidup yang tidak berkepercayaan.
Manusia adalah Makhluk Berkepercayaan
Problem #003 : Iman dan Logika
Sebelum berangkat ke titik ini kita punya 2 premis utama yang telah saya tulis diatas.
Manusia adalah Makhluk Berlogika
dan
Manusia adalah Makhluk Berkepercayaan
Apakah Iman memerlukan Logika ?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sederhana sebenarnya. Tapi kecurigaan bahwa pihak yang satu bisa meruntuhkan pihak lain yang membuatnya sering disalahmengerti.
Iman selalu memerlukan logika. Pengertian iman dalam konteks Ketuhanan dan Keagamaan juga selalu memerlukan logika. Tidak ada bentuk keimanan tanpa memerlukan logika. Kenapa ? Karena manusia adalah makhluk berlogika dan semua mekanisme psikologi manusia menggunakan logika, sesederhana apapun proses logika itu.
Contoh nyatanya bisa seperti ini. Misalnya ketika anda berusaha mengartikan sebuah teks kitab suci keimanan kita. Apa yang kita lakukan dengan “proses mengartikan” disitu ? Mengartikan berarti memberikan suatu makna, suatu penjelasan yang masuk akal, menghubungkannya dengan teks-teks kitab suci lainnya, dan bila perlu mengkaitkannya dengan ilmu pengetahuan, dan yang terakhir adalah mengambil kesimpulan atau tafsiran dari “proses mengartikan teks kitab suci’ itu.
Apakah dalam proses itu tidak butuh logika ?
Jangan bayangkan logika seperti sesuatu yang mengawang-awang di angkasa. Sulit diraih dan membuat rumit. Sederhananya saja, keimanan kita memerlukan logika. Dan keimanan/ kepercayaan tanpa logika adalah sesuatu hal yang tak mungkin. Segala sesuatu yang memerlukan proses berpikir PASTI akan memerlukan logika, sesederhana apapun logika itu.
Apakah Logika memerlukan Iman ?
Ini dia yang juga sering disalahartikan. Proses berlogika adalah proses berpikir. Proses berpikir itu menjadi ciri khas manusia. Dan tak ada manusia yang hidup tanpa proses berpikir.
Logika tidak memerlukan Iman. Alasannya karena keduanya adalah mekanisme yang berdiri terpisah pada diri manusia. Yang dibutuhkan oleh logika adalah input, proses, dan output dari suatu proses berlogika/berpikir. Tidak ada keimanan disitu.
Yang memerlukan dan membutuhkan keimanan bukanlah logika. Yang memerlukannya adalah MANUSIA. Lihat premis kedua diatas. Manusia adalah Makhluk yang Berkepercayaan. Letak kepercayaan/keimanan dan logika dalam diri manusia itu berada pada sisi yang berbeda, tetapi menjadi identifikasi ke-manusia-annya.
Logika tidak memerlukan iman, karena yang membutuhkan keimanan dan kepercayaan adalah manusia.
Problem #007 : So What ?
Jadi akan seperti apa kesimpulannya ? π
Tidak ada. Semua kesimpulan dalam konteks Iman dan Logika sebenarnya sudah termuat dalam tulisan diatas. Terkecuali soal Gadiza Fauzi.
Salah satu hal yang membuat mengapa logika sering dipertentangkan dengan keimanan adalah pandangan bahwa dengan berlogika maka keimanan seseorang akan runtuh. Itu adalah opini yang kebablasan, tidak berdasar, dan tidak memahami seperti apa itu logika dan iman.
Segala usaha bisa dilakukan manusia untuk membuat keimanannya “masuk akal”. Dan cara-cara demikian pada dasarnya sudah menggunakan proses berlogika, apapun itu. Logika hanya suatu cara bagi kita untuk “menjadi manusia” (being human).
Tapi saya memahami mengapa ketakutan itu ada. Pandangan yang salah sering juga mempunyai sumber yang dipersepsikan secara salah.
Ada beberapa opini yang sering dipersepsikan salah sehingga pandangan itu muncul.
- Dalam kalangan agama, logika sering dipandang sebagai bagian dari filsafat. Tidak semua orang beragama bisa melihat filsafat dengan jelas dan jernih. Yang dilihat dari filsafat seringkali hanya tokoh-tokoh filsafat yang kebanyakan tidak beragama (atheis) atau mempunyai pandangan yang mendukung ketiadaan Tuhan.
Padahal filsafat adalah suatu proses berikhtiar dan berpikir secara logis, sistematis, dan radikal. Inti dari filsafat adalah menata otak kita agar bisa berpikir dengan cara demikian. Dan juga banyak tokoh filsafat yang terbukti menggunakan pemikirannya untuk mendukung keimanannya. Misalnya Thomas Aquino, Baruch Spinoza, Immanuel Kant, Soren Kierkegaard, Nicolas Berdyaev, Ibn Sina, Ibn Hazm, Ibn Rush, dan masih banyak lagi.
- Logika sering dipandang negatif karena adanya pandangan awal bahwa keimanan adalah keimanan dan tidak membutuhkan hal lain untuk mendukungnya. Immanuel Kant pernah menuliskannya dengan kredo “agama dalam batas iman“. Segala penetrasi “logika” kedalam konsep keagamaan langsung dianggap sebagai cara untuk merusak keimanan.
Padahal Kant menggambarkan “agama dalam batas iman” dengan penjelasan panjang lebar tentang “phenomena” dan “noumena“. Phenomena adalah apa yang bisa dipersepsikan dan bisa dinalarkan oleh kita. Sementara Noumena adalah segala sesuatu yang tak tersentuh akal. Keimanan kepada Tuhan terletak pada noumena, karena disitulah batas logika, akal, dan nalar manusia untuk mengetahui Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tak terjangkau akal, tapi itu bukan berarti akal kita secara otomatis tidak mencari Tuhan. Mencari dan menjangkau Tuhan adalah sepanjang batas akal dan nalar manusia.
- Seringkali logika dianggap sebagai suatu usaha untuk menjatuhkan agama dan Ketuhanan. Pegangan yang dipakai adalah tafsir dari tokoh agama jaman dulu yang menelusuri kitab suci dan berargumen demikian. Lalu kemudian pegangan itu diikuti tanpa ada pemikiran lebih lanjut, tanpa ada kritikan, dan tanpa ada penafsiran ulang.
Padahal ketika seorang tokoh agama MENELUSURI kitab suci, maka dia sedang melakukan suatu proses berpikir dan berlogika. Bisa jadi dia juga berfilsafat. Jadi sungguh kontradiktif kalau umat hanya disuruh manut tanpa berpikir dan berlogika sementara mereka dulu boleh berpikir dan berlogika. Itu namanya “blind faith” atau yang lebih kasar lagi “brainless faith“. Jadi jangan marah kalau ada penelitian yang mengatakan bahwa tingkat religiusitas berbanding terbalik dengan IQ. Lha, kita diminta nggak berpikir ? π
Ada yang lain ?
Saya kira sampai disini dulu omong-omong yang memusingkan ini. Saya tahu ini cukup berat, dan saya sendiri cukup berat menuliskannya. Tapi tulisan ini hanya hasil dari perasaan tersentil membaca tulisan Farid dan Wak Abdul Somad.
Terima kasih dan MERDEKA…!!!
π
Logika manusia memang sering dianggap bertentangan dengan konsep keimanan terhadap Tuhan. Sebagai contoh mengenai teori evolusi yang kalau mau diperdebatkan justru memperlebar gap antara iman dan logika.
Ah, mungkin ilustrasi ini bisa menjelaskan pandangan saya mengenai topik ini. π
Ada seseorang yang terbilang memiliki tingkat keimanan yang lumayan. Dia sedang tidak mempunyai uang sepeser pun. Tapi dia percaya bahwa Tuhannya sanggup menolongnya dalam segala hal termasuk pada keadaan yang sedang dialaminya saat itu. Dia meminta pertolongan pada Tuhan dan masalahnya teratasi.
Di antara orang-orang yang melihat kejadian itu, mungkin sebagian akan berpikir bahwa dia cukup menggunakan iman saja untuk menyelesaikan problemnya itu. Sebagian lagi bisa berpendapat bahwa untuk bisa bertindak dengan iman seperti itu tentu logika juga berperan. Mana yang benar? Kalau kita ajak dua pihak yang saling beroposisi untuk mendiskusikan hal itu, mungkin yang timbul hanya perdebatan panjang yang belum tentu mendatangkan penyelesaian. π
Jadi, menurut saya, perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pertanyaan seputar iman dan logika tersebut. Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dan ekstrim mungkin saja menimbulkan sedikit kekuatiran bahwa suatu saat nanti orang akan jadi lebih mengandalkan logika ketimbang iman dan mungkin saja bisa jadi atheis.
Saat ini, saya sedang tidak berniat mendukung siapapun atau menjatuhkan argumen siapapun, cuma sedikit tambahan opini pribadi saja, itu tadi yang sudah saya paparkan barusan.
Masih ingin mengamati jalannya diskusi dulu.
iman tidak sama dengan logika atau logika sama dengan iman…. ?
kalau bagi saya sendiri iman itu harus selaras dengan logika. Karena bagi saya logika itu sederhana ndak jelimet. Logika itu kan ada untuk mnyederhanakan suatu masalah yang rumit bin njlimet. Dalam logika hanya ada dua kondisi yang pasti (jernih dan tegas ).
namun itu dia logikapun berjenjang dari mulai tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi.
memang aneh juga sih kalau melihat phenomena yang ada dalam komunitas manusia yang katanya beragama (orang yang tidak kacau). Justru saya melihat kekacauwan pola pikir mereka yang kalau dengan logika sederhana saja keimanan mereka layak dipertanyakan.
Bagi saya sendiri nalar dan logika dijadikan fondasi suatu keyakinan. karena ndak mau bila keyakinan/keiman saling berbenturan apalagi saling menegasikan. wah bisa repot kan… , otak saya bisa kacau balau deh..
dulu sempet kepikiran gini : ‘kalau memang keimanan dan logika saling menegasikan lebih baik saya atheis aja deh, itu lebih adem lho.. ‘
*ngikutin komeng diatas biar sama panjang*
iman bisa mengarahkan logika.
bukan begitu?
klo postingan panjang yah di kasih komen pendek
jadi, gini loh. saya setuju sebagian yang ditulis diatas, sebenernya keimanan itu logis dan agama pun sebenernya logis, namun
ini kunci dari beberapa pandangan miring tentang logika.
iman dan agama itu kadang menemui sesuatu yang tidak logis (menurut ukuran manusia yang memiliki otak yang terbatas dan cara berpikir yang sempit, dibanding TUHAN), nah
untuk beberapa hal yang tidak bisa di sesuaikan dengan pemikiran manusia, seperti
kok bisa Nabi Muhammad Isra dan Mi’raj hanya dalam waktu semalam
dan ini tentu tidak logis
terus, misalnya ketika kita batal wudhu karena kentut, kok bisa harus wudhu lagi yang dengannya harus membasuh muka dan tangan, apa hubungannya kentut dan muka atau tangan
lebih nggak logis lagi.
nah, banyak lagi kasus-kasus yang nggak logis di ranah iman dan agama itu, tapi tetep harus di yakini sebagai keimanan, tanpa harus memaksakan diri mengikuti alur berpikir, yang ternyata emang manusia tak mampu untuk memikirkannya
yang artinya, kenapa komentar saya kok jadi panjang gini?
yah logis lah, kan postingannya panjang, nah loh? …
Wallahu a’lam, CMIIW
Wadoooh………
Slalu soal Logika dalam agama.
Setau sayah, ya sukak ndak nyambung boss….
Soale Agama kan doktrin. Kita dipaksa untuk manut ngikutin apa nyang ada dalam agama kita.
Kalopun mencoba berlogika, biasanya memang nyang muncul adalah penetangan atas ajaran agama….
Dalam Islam, “Khamer adalah haram, karena memabukkan”.
Apakah lalu berarti kalok sayah minum bir dan ndak mabok, ndak haram ???
Walah…..
π
***mencoba menikmati Amelia Ardan…***
(suwaranya, mangsud sayah….) π
assalaamualaykum
semoga menjadi jawaban yg memuaskan
bung fertob, masih banyak juga yang berpandangan bahwa logika itulah yang sering digunakan oleh kaum orientalis barat dalam memahami teks2 kitab suci sehingga orang yang menggunakan logika dalam memaknai soal2 keimanan identik dengan kaum orientalis. itulah sebabnya, banyak yang “alergi” menggunakan logika dalam memahami soal keimanan. iman sebatas diamini sebagai sebuah dogma yang mesti diterima tanpa proses penalaran. konsep2 agama telah menjadi “domain” abstrak dan tidak riil. Padahal, sebenarnya, Tuhan sendiri justru memerintahkan umat-Nya untuk berpikir. logika vis a vis keimanan yang dibedah dari sudut pandang yang berbeda itulah yang bisa jadi akan terus terjadi “perang peradaban” seperti yang disitir oleh samuel p huntington itu.
hmm…ky’nya bang fer udah pernah posting ttg ini kan ?? *lupa judule apa* tp waktu itu kl ga salah inget, curhatannya bang fer sendiri, ga ada acara analisa *weh…*
hummm…..lbh asyik ngobrolin hal ini smb menikmati kopi beraroma jahe dan ditaburi serbuk coklat dengan musik jazz di teras kafe…
*ndak fokus, pikiran kabur*
wah… iman dan logika itu…eh… gadiza fauzi itu imut ya….
Hmm…
Komentarnya panjang-panjang. π
Kalau saya sendiri mungkin membatasi logika untuk mencapai Tuhan seperti yang tertulis Kant di atas (kalau saya tidak salah tangkap). π
Jadi mungkin saya mengambil inti bahwa segala tindak-tanduk yang dihasilkan oleh manusia (interaksi sosial dsb) itu bisa dipikir dengan logika penuh, sementara hal-hal yang terkait dengan spiritualitas (seperti Tuhan), walaupun bisa dipikir, tetap ada mentoknya.
…err, atau mungkin maksud saya disini lebih ke dalam artian logika sebagai sesuatu yang rasional — karena hal yang bersifat spiritual kan sering disebut irasional. π
Tapi kalau merujuk ke artian di atas, maka iman memang perlu logika ya.
*
*btw ini pengertian logika secara literal kah?
Fertob, jadi ingat pas ngobrol dengan ihedge dua hari yang lalau…blog siapa aja yang termasuk wajib dibaca? Saya bilang, dari berbagai blog, antara lain Fertob…walau membahas yang berat, tapi bahasanya enak dan ringan…tak terasa yang dibahas berat.
Bagi saya logika dan iman adalah satu kesatuan, seperti mata uang…keduanya diperlukan.
Entahlah, mungkin karena saya jarang merenung yang berat-berat…jadi selalu berpikir logika dulu…terus percaya …dan muncul iman. Iman, karena banyak kejadian yang membuatku semakin percaya, ada yang Di atas sana, yang benar-benar tempat kita mengadu, dan memohon.
Nice post Fertob…..
[…] memang selalu tertarik dengan bahasan yang berhubungan dengan Iman, dengan […]
betul sekali, keimanan membutuhkan logika, keimanan hanya karena percaya saja (atau ikut2an) adalah keimanan yg kosong dan kering.
saya beriman bahwa tiada tuhan selain alam π
*liat komeng joyo..*
masih tetep kapir π
-serius-
bang fertob,
ulasan ente gile bener T.O.P.B.G.T. untung bacanya pas lagi normal, jadi masuk semua ke otak.
Gadiza Fauziiman dan logika selau menjadi perdebatan mendasar kaum agama dan pluralis. Padahal dua2nya adalah “simbiosis mutualisme” kalau manusia bisa memanfaatkannya. Sayangnya iman pun kadang bisa membutakan manusia dari logika..Wah kalau saya lebih suka nonton brita kalo yang baca berita Chantal della Conceta…
Logika dan Iman? Memang berhubungan mas menurut saya, untuk menafsirkan Al Quran juga perlu logika khan?
Tapi kalau sudah menyangkut masalah kekuasaan Tuhan logika sering tidak terpakai lagi.
hummmm…
*udah mulai fokus*
bang, berlogika itu trmasuk proses kognitif bukan ??
jika ya, berarti logika itu masih dipengaruhi panca indera manusia yg masih terbatas dong.
misal, dulu mungkin kita ga ‘beriman’ alias percaya kl dikatakan bhw tubuh kita terdiri dr sel-sel. lha wong bl dibuktikan. stlh dibuktikan, eh barulah kita beriman.
dulu, juga, kita percaya dan beriman seali kl bumi itu datar dan pusat alam semesta. lha wong, sepanjang mata memandang, hamparan bumi itu datar.
tp ketika colombus membuktikan, apalagi stlh ditemukan teleskop, oh ternyata iman kita yg dulu salah.
jubah gaib potter, bisa jadi dianggap sesat. tapi hingga dibuktikan ada (berhasil diwjudkan) mk yg dianggap sihir dan perbuatan setan, tyt bukan.
jd, proses berlogika yg masih mengandalkan indera, masih lemah dong, om. kl om bilang, iman itu adl proses psikologis, dan kl ga salah, dl bilangnya, beriman krn mrs nyaman. jd udah main hati (wah ky lagunya andra and the backbone).
jd gimana ??
*menyeruput ginger coffee with whipped crea and chocolate granules*
@ Streetpunk :
Kalau logika diartikan sebagai ilmu pengetahuan, maka bisa saja terjadi.
Dalam pengertian saya diatas, logika adalah bagian dari berpikir. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses pencarian manusia menjelajahi alam semesta ini. Dia berjalan pada rel-nya sendiri, begitu juga agama berjalan pada relnya sendiri. Tapi bukan berarti tidak saling mengkonfirmasi, masalahnya untuk mengkonfirmasi keimanan dan logika itu butuh “kerja lebih”.
Dalam pengertian minimal, setiap orang SELALU mengandalkan logika. Artinya, setiap orang SELALU berpikir. Mengandalkan logika itu adalah hal yang tiap hari kita lakukan dan tidak ada yang aneh disitu, karena manusia adalah makhluk yang berlogika. Saya tidak mencampuradukkan antara Logika dan Ilmu Pengetahuan. Logika dalam pandangan saya adalah proses berpikir, itu saja.
Apakah keimanan selalu berarti “hal-hal mujizat dari Tuhan ?” Kalau dia hanya beriman saja tanpa mau berpikir bagaimana keluar dari masalah yang dihadapi, maka apakah iman seperti itu bukan “blind faith” atau “brainless faith” ? Dia punya iman, tapi dia harus berpikir untuk memecahkan masalahnya, karena dengan berpikir bahwa masih banyak alternatif solusi yang bisa menjawab masalah itu, selain hanya beriman buta, maka setidaknya keimanannya tidak sekedar keimanan tapi diiringi pemikiran dan tindakan.
@ Arwa :
Ada satu pertanyaan yang cukup menantang untuk dijawab, mas :
Dalam pertanyaan itu memang ada pilihan : keimanan atau pemikiran. Tapi banyak orang-orang yang mampu mendamaikan antara apa yang dia percayai dan apa yang dia pikirkan. Keduanya saling mengkonfirmasi.
@ -tikabanget :
Bisa saja, Tik. Tapi tetap saja logika itu diperlukan dalam beriman, kan ? π
@ abahoryza :
Aha, memang begitu mas. Itulah yang dimaksud Kant dengan phenomena dan noumena. Keimanan kita membutuhkan logika, dalam batas-batas tertentu kita berlogika. Tapi Tuhan, sebagai sumber keimanan, adalah sesuatu yang berada di luar nalar dan logika manusia. Tapi itu tidak serta merta menjadikan kita tidak berpikir tentang Tuhan. Tuhan bisa dipikirkan, Tuhan bisa dilogikakan, tetapi dalam batasan akal dan logika kita sebagai manusia. Disitulah phenomena. Sementara noumena adalah apa yang tidak bisa dijangkau oleh manusia dengan akalnya.
@ Mbelgedez :
Nah, contoh ini bisa dipikirkan kan, mas ? π Dari suatu doktrin keimanan, kita bisa menafsirkannya lebih lanjut. Menafsirkan berarti kita memikirkannya, melogikakannya, mengklasifikasikannya, menganalisis. Tentunya dalam batas-batas keimanan itu. Karena intinya adalah keimanan sementara logika dan proses berpikir dipakai untuk mendukung keimanan itu.
Pertanyaan selanjutnya bisa saja seperti ini : Apakah yang termasuk khamer itu ? Apa jenis-jenisnya ? Apa arti “memabokkan” disitu ? Apakah harus terjadi “mabuk” atau mempunyai “potensi memabukkan” sudah bisa dikategorikan khamer sehingga harus dilarang ?
Dalam logika seperti itu, kita bukan men-deny sebuah doktrin keimanan, tapi logika kita dipakai untuk menjelaskan sebuah doktrin. Tujuan dan kerangkanya tetap dalam keimanan itu, tetapi logika sebagai alat (tool) untuk membedahnya sepanjang tujuan dan kerangka itu.
@ AbdulSomad :
Makasih Wak…. π
@ Pak Sawali :
Yang saya tebalkan itu yang ingin saya soroti, pak. Tidak ada yang salah dalam berpikir dan berlogika, karena itulah hakekat manusia.
Yang menjadi intinya adalah : Dalam kerangka dan tujuan apa proses berpikir [dalam keimanan] itu dilakukan ?
Tujuan dan kerangkanya haruslah keimanan itu sendiri. Berpikir digunakan untuk menegaskan keimanan. Tidak mau berpikir/berlogika terhadap keimanan sama saja dengan membiarkan keimanan kita itu sebuah kebodohan.
@ restlessangel :
saya sendiri sudah lupa pernah nulis atau nggak… π
@ sayasaja :
memang imut dan manis. tapi sudah nikah lho… π
wakakakakak….. π
@ Deathlock :
Yup, begitulah seperti yang dikatakan Kant. π
Yup, agama dan keimanan punya 2 kaki. Yang satu di domain rasional sementara yang lain di irasional. Dalam batas apa kita merasionalkan dan melogikakannya, sudah jelas dibatas rasional. Atau dalam pengertian lain dalam batas-batas akal manusia.
Saya mengartikannya lebih banyak kepada proses berpikir. Jadi sedikit berbeda dengan apa yang ada di Mbah Wikipedia. π
@ edratna :
Hehehehe… makasih Bu. Ihedge itu pintar juga bu, khususnya di bidang keuangan. Kami sama-sama satu almamater, tapi saya tuaan dikit. π
Betul bu. Bahkan ada semacam jargon di kalangan keagamaan : Karena saya beriman maka saya berpikir. π
Sepertinya memang melebih-lebihkan, seakan-akan kita hanya berpikir kalau kita beriman, sementara tidak berpikir kalau kita tidak beriman. π Tapi itu jadi semacam pelecut bahwa beriman tidak sekedar beriman. Menegaskan keimanan dalam sebuah logika dan proses berpikir, apapun itu, adalah tanda bahwa kita beriman “dengan cerdas”.
@ joyo :
Nah, mas Joyo ini memakai arti keimanan yang ke-2. π
@ brainstorming :
Itu karena beberapa kesalahan persepsi tentang logika, mas. Ada 3 hipotesis yang saya tulis paling akhir.
@ maxbreaker :
Hehehehe…. saya kurang suka Chantal. Masih lebih suka Amelia Ardan. π
Yup, tapi bukan berarti tidak berlogika sama sekali, kan ? π
@ restlessangel :
Hehehehe… ini bisa lari ke filsafat empiris dan rasional lho… π
Nah, yang saya maksud proses kognitif itu adalah Berpikir sebagai Berpikir. π Bingun ?
Pertama, Keimanan itu mekansime psikologis internal yang pasti selalu ada dalam diri manusia.
Kedua, Berlogika dan berpikir itu adalah proses yang terjadi di dalam otak kita setiap saat. Berpikir itu otomatis, sumbernya bisa dari apa saja. Salah satu sumber terpenting adalah panca indera. Apa yang kita inderai menjadi input dalam proses berpikir itu.
Ketiga, Segala macam penemuan ilmu pengetahuan (evolusi, bumi itu bulat, sel-sel tubuh, dll) itu pertama kali mengkonfirmasi input berlogika kita. Itu jadi semacam bahan bakar untuk kita proses lebih lanjut.
Keempat, ketika kita berpikir maka otomatis segala hal yang kita ketahui (dari ilmu pengetahuan dan pengalaman empiris) mempengaruhi proses berpikir kita. Tidak sekedar asumsi, spekulasi, dan metafisik, tetapi sudah ada buktinya. Sudah ada yang mengkonfirmasi kebenaran berpikir itu.
Kelima, Ketika kita berpikir dalam konteks keimanan maka otomatis “bahan bakar” (input) itu juga masuk didalamnya. Misalnya seperti contoh Mas Mbel diatas, dulu definisi “khamer” hanya dalam batas tertentu, karena “bahan bakarnya” (ilmu pengetahuan dan pengalaman empiris) terbatas. Tetapi sekarang bahan bakarnya bertambah banyak, bahkan tape-pun bisa dikategorikan khamer.
Keenam, Ketika “bahan bakar” itu sudah masuk dalam proses berpikir dalam konteks keimanan, maka pertanyaan selanjutnya adalah : apakah keduanya saling mengkonfirmasi ? Apa yang perlu kita klasifikasikan dan kategorisasikan dalam proses berpikir tentang keimanan itu. Apa yang perlu dijelaskan lebih lanjut tentang keimanan itu.
Ketujuh, Jika tidak terkonfirmasi maka yang dilihat adalah kerangka dan tujuan dari proses berpikir itu. Apakah kerangkanya keimanan atau yang lain. Apa tujuan dari berlogika seperti itu ?
Kedelapan, Jika ternyata logika itu tidak mampu menjangkau sisi keimanan, maka pilihan ada ditangan anda. Apakah itu berarti keimanan itu berada diluar jangkauan pemikiran dan logika kita (noumena) ATAU kita menggugurkan salah satunya.
Kesembilan, selesai… π
Nah, komen mas Fertob yang terakhir itu yang bikin saya paham. Kalo postingan aslinya sendiri malah bikin bingung. Coba tebak saya pake aliran filsafat apa?
Bagi saya, logika itu melestarikan kebenaran. Kalo masukannya benar, maka keluarannya juga benar. Kalo masukannya salah, maka keluarannya juga salah. Benar atau salahnya fakta-fakta dasar bukan urusannya logika.
Nah, fakta dasar itu diperoleh salah satunya dengan indera. Kemudian, kita mempersepsikan makna dari sesuatu yang kita indera. Pada proses ini, persepsi juga bisa salah. Yang kita lihat dan kita dengar adalah kebenaran. Tapi, makna yang kita lihat bukanlah kebenaran. Di sinilah, orang sering tertipu dan sering merasa ada kontradiksi di alam semesta. Misalnya, ilusi optik. Atau kasus lain, berbagai kisah nyata tentang suatu anomali dari hukum alam (bahasa kerennya, keajaiban). Haruskah yang seperti itu diterima ataukah memang sudah semestinya ditolak? Kalo saya sih, mempersepsikan segala sesuatu itu harus disederhanakan. Karena itu, cara paling mudah dan satu-satunya cara bagi saya adalah belatinya si Okem.
Fakta dasar yang lain juga bisa diperoleh dengan mempercayai segala sesuatu secara ab initio atau dari yang tidak ada (pada dasarnya, persepsi atas indera juga memiliki unsur kepercayaan). Inilah awal munculnya legenda dan mitos. Ini juga yang menjadi poin penting pada keimanan terhadap agama-agama tertentu. Bahwa pada awalnya, Tuhan harus dipercayai secara ab initio. Lihat saja pelemnya Polar Express.
Yang jadi masalah adalah ketika fakta dasar itu bertentangan dengan satu atau beberapa fakta lain hasil kesimpulan. Di sinilah terjadi kontradiksi dalam alam pikir manusia. Karena itu, menurut saya satu-satunya cara salah satunya harus dibuang karena mempertahankan dua-duanya berarti inkonsisten. Masalahnya, “membuang” itu terlalu menyederhanakan masalah. Fakta-fakta dasar semuanya diperoleh dengan kepastian di bawah 100% (apalagi jika kita mengabaikan belatinya si Okem sama sekali). Sehingga, kontradiksi pun kadangkala tidak hitam putih. Sementara logika itu hitam putih. BTW, belatinya si Okem itu termasuk perangkat alamiah natural manusia bukan sih mas?
Well, sekarang tinggal terserah kita mau jadi apa. Mau tidak peduli terhadap adanya dunia, terserah kita. Mau menganggap semua orang hanya ilusi dan hanya ada di otak kita, itu juga terserah. Mau hidup inkonsisten dengan memaksakan fakta-fakta ab-initio bersebelahan dengan fakta-fakta empiris, itu juga terserah. Mau memperumit masalah dengan mengabaikan belatinya si Okem, juga terserah.
Pilihan saya, belatinya si Okem dan logika sudah cukup menjadi alasan saya untuk beriman ataupun atheis ataupun deis ataupun segala aliran ketuhanan yang lain. Saya tidak pernah percaya segala sesuatu secara ab initio.
Kalo memang Tuhan itu ada, kenapa dia tidak menunjukkan dirinya kepada kita? Kenapa dia tidak membuat manusia itu mengenal-Nya dan bisa membedakannya dengan tuhan-tuhan palsu yang lain?
Weh, sorry nyampah mas. ternyata tulisan saya dan komen anda terakhir itu intinya sama tho? Kok iso ki piye? Sampeyan menghipnotis saya agar setuju dengan anda ya? Wah, jangan-jangan pengikut Dody Corbuzier nih.
Terima kasih atas post ini.
Yang saya maksud dalam ost saya adalah: Ketika manusia sudah bisa menciptakan sesuatu, kadang kadang mereka lupa dengan adanya kekuatan diluar batas kemamuan manusia yang lazim disebut tuhan.
Sementara unuk post diatas. Terindikasi bahwasanya logika kadang tidak membutuhkan tambahan berupa iman. Betul?
Koreksi: Ketika manusia sudah bisa menciptakan sesuatu, dengan bantuan logikanya (ilmu pengetahuan) kadang kadang mereka lupa dengan adanya kekuatan diluar batas kemampuan manusia yang lazim disebut tuhan.
Manusia melupakannya karena merasa sudah menjadi makhluk serba bisa terpandai di alam semesta. Begitu….
Sorry kalau komennya ngaco Bang Fertob… π
rumit dan njlimet.saya punya pendapat,ya semoga tidak membuat tambah njlimet.saya kira logika itu ibarat goole atau yahoo tempat orang mencari sesuatu termasuk iman,kalau belum ketemu bukan berarti iman itu g ada mungkin keywordnya salah atau kata iman belum terdaftar jadi rajin rajinlah memperbaiki keyword,atau pakai mesin pencari lain,instink misalnya,lha pertanyaannya kalau kita tetap tidak menemukan gimana,tetaplah beriman sambil berpikir mungkin mesin pencarinya belum sempurna,atau gak usah beriman tapi siap siap diangga orang tak beriman dengan segala konsekuensinya.
Misal: Nabi Muhammad SAW Isra Miraj dalam semalam.
Wah gak logis!
tapi kalo ditelusuri, dalam ilmu fisika itu ternyata masuk akal aja. Kan dibilang Nabi SAW naik bouroq yang berupa Cahaya, jadi Dengan persepsi kecepatan cahaya,adalah:
Kecepatan cahaya dalam sebuah vakum (ruang angkasa anggap aja) adalah 299.792.458 meter per detik (m/s) atau 1.079.252.848,8 kilometer per jam (km/h) atau 186.282.4 mil per detik (mil/s) atau 670.616.629,38 mil per jam (mil/h). Jadi masuk akal aja kan?
Intinya semua itu logis. Hanya saja manusia adalah makhluk yang suka menciptakan jawaban ketika pertanyaannya udah mentok. Dan jawaban-jawaban untuk misteri ketuhanan bukanlah jawaban singkat yang mudah dicari.
Bang, apa ngga pernah merhatiin Najwa Shihab ?
Oh iya Bang Fertob, kalau pembaca berita IDola saya: Chantal Della Conceta dan Frida Lidwina
setuju mas bro! klo mnrtku logika
iman
iman dan logika..
Iman dan menyakini.