- tulisan ini hanya usul iseng
Dari dulu saya selalu membenci sesuatu yang bernama diskriminasi. Apapun itu, apapun bentuknya, dan apapun alasannya. Hampir di semua bidang kehidupan, saya membenci diskriminasi.
Ketika menjelang Pemilu 2009, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan kuota 30% bagi perempuan dari daftar caleg tetap, saya kembali mengerutkan kening. Hal itu bagi saya adalah sebuah diskriminasi dalam bentuk yang diperhalus.
Saya akhirnya mengerti bahwa kebijakan-kebijakan affirmative action masih dibutuhkan di negara ini. Salah satunya adalah masih adanya “ketimpangan gender” dalam wilayah perpolitikan yang sebagian besar masih didominasi kaum laki-laki. Solusinya adalah dengan “memaksa” perempuan untuk tampil di wilayah politik praktis, dan “memaksa” partai-partai untuk mengakomodasi keterlibatan perempuan dalam bentuk yang lebih konkrit, yaitu kuota.
Sebenarnya itu juga adalah diskriminasi tetapi sering disebut diskriminasi positif. Contoh paling nyata lainnya adalah keberpihakan pemerintah Malaysia pada “kaum bumi putera” agar mereka mampu bersaing dengan “kaum-kaum lainnya”.
Alasan utama dibalik diskriminasi positif model affirmative action adalah ketika start awal yang tidak sama dan seimbang untuk bersaing secara sehat dalam peta politik, khususnya politik di Indonesia. Sehingga perlu dibuat kebijakan agar “start”-nya menjadi sama dengan mendorong perempuan agar tampil.
*****************
Beberapa hari yang lalu ketika saya membaca koran lokal, saya menemukan sebuah artikel yang cukup membuat saya tergagap-gagap. Ini dia :
Papua Barat Pos – 11/03/2009
Saya memahami kegelisahan orang-orang asli Papua dalam hal ini. Betul-betul memahami karena saya sendiri lahir dan besar di Papua, dan sekarang mencari makan di Papua, meskipun saya tidak tertarik untuk memiliki kekuasaan di sini. 🙂 Saya lebih merasa sebagai orang Papua daripada orang Batak atau yang lain.
Tetapi tulisan itu “bermain” di wilayah yang lain. Saya melihat ada beberapa point disini :
- Dikotomi Pendatang-Penduduk Asli. Dikotomi ini, jika dibakar di kalangan akar rumput, justru makin menebalkan keterpisahan antara penduduk yang bermukim di wilayah Papua. Sepertinya ada segregasi, ada perlakuan berbeda, dan ada diskriminasi. Itulah yang saya tidak pernah setuju.
- “Ancaman” terhadap NKRI jika kursi legislatif buat orang Papua asli tidak sampai terjadi. Ada beberapa artikel lain yang melemparkan wacana yang sama, dan sama-sama berisi “ancaman” memisahkan diri dari NKRI. Suatu hal yang sangat absurd, menurut saya.
Point-point diatas [dan masih banyak lagi] tentu saja membuat kening saya berkerut.
Alasan yang sering dikemukakan oleh beberapa tokoh itu adalah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Tapi UU ini tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Kursi Legislatif di DPRD setempat HARUS semua orang Papua Asli. Tidak ada satu pasal pun yang mengatakan demikian.
Yang ada hanyalah pasal “memprioritaskan” yang ada di Pasal 28 ayat (3) yang berbunyi “Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua”. Sementara seberapa besar prioritas itu, apakah 5%, atau 90% tidak mendapatkan penegasan. Tidak ada peraturan tertulis yang bersifat “memaksa dan mengikat” agar prioritas itu dipedulikan.
Jika itu menjadi kepedulian dan keprihatinan mereka yang meragukan suksesnya Otsus yang sedang berjalan di Papua, maka pertanyaan saya yang lebih penting lagi adalah : Mengapa mereka hanya berjuang lewat wacana yang kebanyakan hanyalah usaha memanas-manaskan suasana ? Mengapa mereka tidak mengusahakannya dalam bentuk yang lebih konkrit lagi dalam bentuk kebijakan khusus untuk daerah Papua ? Mengapa harus pakai ancam-mengancam ?
Saya ambil contoh beberapa daerah yang mendapat status Khusus/Istimewa yang juga mendapat privilege dalam hal politik. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mendapat kebijakan khusus dalam hal politik praktis, misalnya dengan pembentukan Partai Politik Lokal yang bisa ikut Pemilu. Atau DI Yogyakarta yang mendapat kebijakan dalam hal memilih kepala daerah-nya.
Mengapa Papua tidak “mendapatkan” itu ?
Yang harus diperjuangkan bagi mereka yang peduli dengan Papua bukanlah sekedar berteriak-teriak agar orang Non-Papua harus tahu diri, atau membesar-besarkan dikotomi Pendatang-Papua Asli, dan lain sebagainya yang tidak perlu. Yang harus diperjuangkan adalah membuat kebijakan yang nyata agar Orang Papua Asli mendapatkan keterwakilan yang representatif di kursi legislatif, dan bukan hanya sekedar menjadi penonton di rumah sendiri.
Salah satu caranya adalah dengan memasukkan kebijakan affirmative action bagi penduduk asli Papua untuk duduk di kursi legislatif. Misalnya dengan “memaksakan” Parpol yang ada di Papua agar memasukkan minimal 60% dari Daftar Calon Tetap (DCT) harus orang Papua Asli. Kebijakan ini bisa diusulkan kepada pemerintah pusat jauh-jauh hari sebelum Pemilu itu dilakukan.
Kebijakan affirmative action biasanya diterapkan bagi kelompok-kelompok tertentu yang “marjinal” dan yang agak tertinggal dari kelompok yang lain. Kelompok etnis tertentu bisa menjadi pertimbangan untuk pengambilan kebijakan itu, dan Papua seharusnya, menurut saya, juga bisa mendapatkan hal itu.
Jadi, kebijakan affirmative action dengan memberikan kuota yang lebih besar bagi Orang Papua Asli di pentas politik praktis adalah hal yang layak diperjuangkan. Bukan sekedar berteriak-teriak di media yang hanya memanas-manaskan suasana.
Saya sendiri sangat peduli pada Papua. Dan apa yang saya tulis ini hanyalah wujud kepedulian saya pada Papua. Semoga “tokoh-tokoh” itu lebih bijak dalam bertindak.
Semoga orang papua bisa bijak menyikapinya. Biar nggak malah jadi bumerang nantinya.
Ameen.
Benar itu. Meskipun karena membenci diskriminasi efeknya jadi didiskriminasi juga
Perkara kuota 30% itu, itu juga disetujui bahwa itu diskriminasi dalam bentuk halus. Kenapa tidak dibebaskan saja?
Di Aceh, saat verifikasi partai tahun lalu, ada satu partai lokal. Namanya PARA (Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan). Kuota caleg di sana melebihi 30% dan boleh disebut harapan utama bahwa partai ini bisa menampung suara perempuan (setidaknya di Aceh) yang mungkin dari segi gender cuma menjadi kontestan kelas 2 di partai2 lain. Sayangnya… partai ini tidak lewat verifikasi. Kabar burung (entah burung siapa), karena diisi banyak perempuan maka partai ini diremehkan kesiapannya. Walhasil banyak yang lari ke partai lokal lain yang masih mau menambah jumlah kuota perempuan.
Apa Bang Fertob sebut “pemaksaan” perempuan utk terlibat ini, saya agak bingung. Metodenya seperti apa? Mungkin bisa, tapi sering tersandung dengan “maskulinnya” perpolitikan kita, sama seperti halnya dalam filsafat yang didebat filsuf postmodernisme sebagai gelanggang yang cuma Eurosentris dan didominasi pria saja. Toh keterlibatan perempuan-perempuan feminis juga boleh disebut mentok 😕
Nah, soal prioritas kursi legislatif itu… isu begini memang agak sensitif, Bang. Beberapa hari yang lalu saya membuat catatan kecil di fesbuk tentang hal senada itu. Kesannya malah seperti pro-separatisme, meski saya mencoba menyindiri paranoia Jakarta terhadap terkuasainya kursi parlemen di Aceh karena besar kemungkinan parlok akan mendominasi.
Utk Aceh, “keprihatinan” mendalam itu sudah mengundang seorang Muladi sampai “menghimbau” parnas utk meredam parlok. Sekeping pantulan Acehfobia, jika malah bukan ego feodal utk tetap “mencengkeram” daerah.
Saya memahami keinginan Papua seperti di berita itu yang mungkin sama (mungkin tidak) seperti Bang Fertob. Bahwa yang tidak “membumi” di satu negeri akan sukar memahami apa yang dibutuhkan warga negeri bersangkutan, agaknya memang bisa dipahami.
Dikotomi pendatang-penduduk asli ini ribet. Yang mana yang asli? Yang sedarah? Sesuku-bangsa? Lha… belum tentu, misalnya, orang Papua asli lebih paham jika besar dan berpikir dengan pola pusat-pusat kekuasan di tanah Jawa, misalnya. Taruhlah contoh dari tokoh-tokoh KNPI yang hilir-mudik dalam perpolitikan nasional, lalu tiba-tiba pulang ke kabupaten saya utk ikut Pilkada. Secara darah, ia orang asli. Tapi secara pemahaman, belum tentu.
Ancaman utk pisah dari NKRI itu mesti disikapi dengan kepala dingin, terutama oleh pusat. Bukan ancaman main-main, jika misalnya memang rakyat Papua ingin melihat putra daerahnya “bermain” dalam parlemen Papua, tapi tiba-tiba ada “campur-tangan” pusat dalam menentukan siapa mesti dimana. Ini penyakit lama yang mungkin membuat warga-warga di daerah, seperti Aceh dan Papua, sampai memberi gertakan pisah itu.
Point-point diatas [dan masih banyak lagi] tentu saja membuat kening saya berkerut.
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, saya belum pelajari. Lha Otsus utk Aceh saja juga membingungkan. Banyak bahasa-bahasa yang riskan dipelintir di dalamnya
UU di Republik Indonesia bukannya memang sering bermain dengan diksi-diksi yang tidak eksplisit, Bang?
Ah, ini benar-benar dejavu dengan UU tentang partai lokal di Aceh. Sebagai tindak lanjut MoU Helsinki, partai lokal menjadi jaminan demokratisasi. Tidak juga disebut berapa persen yang harus atau yang boleh dikuasai. Tapi kebalikan dari Papua, di Aceh yang gelisah itu justru Jakarta. Obok-obok macam Joshua sudah lama diterapkan, seperti Amien Rais yang pertama kentut begini dan lalu memprovokasi apa yang dikentutinya begini.
Apa pasal dari kesimpang-siuran keinginan warga di daerah? Ya itu tadi, tidak ada kata-kata yang bermakna dalam produk UU yang dikeluarkan pusat yang berkenaan dengan daerah 😀
Karena mereka merasa ada “pantauan” dari pusat yang sering tidak mampu menahan diri untuk “bermurah tangan” ke daerah? 😀
… Ini jawaban yang juga masih harus ditunggu 😕
Setuju. Saya bisa mengganti kata Papua di sana dengan Aceh utk bercermin pula 😉
1st: Untuk pemilu ini mungkin itu sudah terlambat. Pertengahan bulan ini sudah mulai kampanye terbuka, bukan?
2nd: 60% itu jumlah besar yang, jujur saja, bisa membuat partai-partai besar yang sudah memiliki metode kaderisasi sendiri akan kegerahan. Tentu itu usul yang bagus, cuma jalannya akan tidak mudah 😕
Ada catatan lain utk keterlibatan ini, Bang.
Salah satu teman saya di partai lokal sini pernah bilang, “Kesulitan berpolitik di Indonesia, adalah karena politik belum dianggap sebuah kebutuhan mendasar”.
Tentu ini penilaian subjektifnya dia. Tapi saya setuju. Bukan hanya secara nasional, secara daerah pun demikian faktanya. Mengajak masyarakat utk peduli pada politik, jauh lebih sulit daripada mengajak masyarakat demo perihal naiknya harga telor bebek 😐
Mudah-mudahan suara Bang Fertob dari Papua ini dibacalah oleh siapa saja yang berkompeten. Sayang sekali kalo daerah-daerah masih harus dibiarkan hijau royo-royo dalam berpolitik 😉
PS: Ini juga boleh dianggap tanggapan iseng.
Maklum… suntuk sikon Aceh dengan operasi-operasian lagi saat ini 😦
Pertanyaan bodoh nih, apakah dengan diberi affirmative action minimal 60% caleg di Papua adalah penduduk asli Papua maka orang Papua akan hepi dan tidak lagi meneriakkan pemisahan diri dari NKRI?
Yang kedua yang perlu dicermati, Irian Jaya lebih dulu memiliki Gubernur yang putra daerah dibandingkan dengan Riau. Pada saat Gubernur Irian Jaya sudah putra daerah, Gubernur Riau masih orang dari Pulau Jawa. Silakan dicari deh dalam daftar Gubernur Irian Jaya dan Gubernur Riau.
Saya kira landasan filosofis yang membuat semua orang di Nusantara mau bergabung sebagai sebuah bangsa bernama Indonesia harus didekonstruksi. Persamaan sejarah atau perasaan senasib sepenanggungan karena dulu dijajah Belanda sepertinya banyak mendapat tantangan.
Aduh, males komentar kalo temanya ini… 😐
*ntahlah besok*
Saya sudah eneg lihat/dengar/alami segala hal tentang prioritas lokal ini selama bertahun2… 👿
Singkat kata: begitulah kalo Pendeta bicara politik… 🙄
salah dasar…salah didik..di ktp juga ada bibit diskriminasi..
saya juga tidak suka diskriminasi.
@ dana :
Masalahnya, Dan, banyak sekali elit politik lokal yang senang “bermain api” dengan imbalan memperoleh suara pada Pemilu nanti. Masih payah cara berpolitik disini. 😐
@ Alex
Busyeeet dah, komentarnya… 🙂
Affirmative action, Lex. Konsep ini memang, menurut saya, masih layak diterapkan di Indonesia, khususnya soal gender. Dalam suatu situasi dimana keterwakilan suatu kelompok masih sangat kecil, maka bisa dibuat kebijakan “pemihakan” oleh pemerintah.
Ini banyak contohnya di luar negeri. Di Australia dengan etnis “minoritas” Aborigin, di AS dulu dengan penduduk Indian-nya, dll.
Saya masih ingat dengan salah satu guru besar saya dulu yang selalu memperjuangkan kesetaraan gender dalam level struktural (dalam kebijakan negara) yaitu Prof. Saparinah Sadli. Saya sering menyanggahnya dengan mengatakan bahwa apakah “kesetaraan” itu bisa membuat perempuan siap untuk berpolitik, sementara politik adalah, kebanyakan, domainnya laki-laki. Tapi beliau selalu mengatakan bahwa mau tidak mau perempuan harus siap. Kebijakan itu yang “memaksa” perempuan untuk siap.
“Pemaksaan” ini memang membuat perempuan harus siap untuk terjun ke politik praktis, yang selama ini tidak pernah menjadi bagian dari dunia perempuan. Politik itu memang “maskulin” tetapi bukan berarti tidak bisa dimasuki perempuan, kan ? 😉
Yup, itu sudah masuk Acehfobia. Apa lagi yang perlu ditakutkan dari Parlok kalau “syarat berat”-nya sudah diterima oleh semua masyarakat Aceh? Sementara memperjuangkan “syarat berat” (tidak berpisah dari NKRI) itu saja sudah sampai berdarah-darah.
Pusat terkadang sok tau masalah daerah. Mungkin perlu belajar dari peristiwa PRRI/Permesta. 😆
Dikotomi ini sangat jelas. Yang penting dia penduduk asli Papua. Apakah dia selama ini nongkrong di Jakarta dan tidak pernah pulang ke Papua, itu nggak jadi masalah. Yang penting adalah Papua secara darah. Pemahaman tidak dipentingkan. Apakah setelah diangkat dan berkuasa, dia korupsi dana otsus atau bolak-balik ke Jakarta untuk liburan, itu nggak masalah, yang penting dia orang Papua.
Sementara, menurut saya, banyak juga penduduk pendatang yang lebih peduli Papua daripada orang Papua Asli.
Sudah terlambat, memang.
Sebenarnya “ancaman-ancaman” ini muncul karena jumlah Caleg Tetap orang Papua Asli lebih sedikit dari pada jumlah Caleg Tetap yang berasal dari Pendatang. Perbandingannya sekitar 40:60. Elit-elit politik disini kaget dan tidak menyangka bahwa keadaannya jadi seperti. Akhirnya mereka ikut memanaskan suasana dengan himbauan, yang menurut saya, adalah ancaman, supaya Orang Pendatang tahu diri, sudah cari makan di tanah orang kenapa jadi keterusan, dan ancaman lain misalnya golput atau merdeka.
Sementara kalau mereka membaca dengan teliti UU Otsus, kenapa hal itu tidak diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya? Istilahnya, peraturannya mengijinkan seperti itu tetapi justru pendatang yang disalahkan. Aneh… 😐
Itu cuma contoh kok. 🙂 Ya, maksud saya tidak usah sampai 60% lah. Diperkecil juga bisa, asalkan representasi Penduduk Asli mendapat respon. Ada beberapa parpol yang sama sekali tidak memiliki caleg dari orang Papua Asli. Sementara ada parpol yang semua calegnya orang Papua Asli.
Cuma contoh. Gimana kalau 30% sama dengan perempuan. 😉
Thanks atas supportnya, Lex….
@ Kombor :
60% itu cuma contoh, Kang. Yang terpenting adalah adanya affirmative action/policy dengan memberikan kuota bagi orang Papua Asli (entah berapa persen) sebagai caleg tetap di semua parpol yang ada di Papua. Semacam aturan tambahan dalam peraturan pelaksana Pemilu mengingat status Otonomi Khusus bagi Papua. Karena, sebagai contoh, untuk DPRD Kota Sorong saja, jumlah caleg Non-Papua Asli lebih banyak dibandingkan caleg Papua Asli, perbandingannya sekitar 60:40.
Apakah kebijakan itu membuat mereka tidak ingin merdeka, saya sendiri nggak tahu. 🙂 Tetapi situasi sekarang justru membuat suara-suara untuk merdeka lebih besar daripada sebelumnya, sementara Sorong itu, menurut saya, lebih moderat daripada kota-kota lain di Papua dalam hal keinginan untuk berpisah dari NKRI. Hampir tidak ada demo dengan isu merdeka di Sorong, berbeda dengan Manokwari atau Jayapura.
Bahkan dalam UU Otsus, semua kepala daerah (setingkat Bupati/Walikota dan Gubernur) haruslah Orang Papua Asli. Damn memang sekarang SEMUA kepala daerah di Papua sudah orang Papua Asli. Seandainya kepala daerah bukan orang Papua asli, saya malah nggak tahu apa akibatnya. 😆
Dan saya pikir, sejarah Papua agak sedikit berbeda dengan daerah lain pada umumnya di Indonesia. Itu kenyataan, dan itu menjadi alasan mereka untuk merasa bahwa mereka bukan orang Indonesia. Mereka lebih merasa sebagai bangsa Melanesia daripada bangsa Indonesia. Alasan yang lemah juga, mengingat sebagian Maluku, sebagian NTT, dan Timor Leste juga adalah suku bangsa Melanesia. Kenapa nggak sekalian diundang masuk mendirikan satu negara ? 😆
Alasan senasib sepenanggungan dibawah penjajahan juga nggak terlalu tepat. Karena model penjajahan Belanda di Papua berbeda dengan yang ada di belahan daerah Indonesia lainnya. Penjajahan yang “melenakan”, begitu istilah saya biasanya.
Nah, yang perlu didekonstruksi itu adalah alasan mengapa Indonesia membutuhkan Papua sebagai bagian wilayah darinya. Apa alasannya, apa landasannya, dan apa yang ditawarkan dari situ. Sementara kalau saya lihat dengan kacamata kuda saya, kebanyakan alasan ekonomi dengan eksplorasi kekayaan alam Papua, yang menjadi alasan utama mengapa Indonesia mempertahankan Papua. Kalau itu benar, nggak heran mereka berontak.
@ jensen :
Sial, padahal saya pengen dengar komentar dari kamu.
Saya tidak setuju.
Segala bentuk pemanjaan itu ujung-ujungnya jelek.
Di bidang pendidikan, di UNCEN khususnya, sekarang ini jauh lebih banyak mahasiswa yang menikmati beasiswa dengan modal otak & prestasi pas2an + affirmative action daripada mereka yang berjuang kuliah dengan biaya dari keringat sendiri.
Selain itu, kebijakan AA, di ibukota Papua khususnya, cuma dijadikan ajang nepotisme.
Ya, memang perempuan diutamakan, orang Papua diutamakan, tapi hanya mereka yang merupakan sanak saudara pengambil keputusan.
Itu sebabnya Istri Walikota bisa terus menjadi Kepala Dinas P & P dua periode berturut-turut.
Sekarang setelah pensiun malah keliling bagi2 duit 5 juta ke tiap2 sekolah supaya kepsek & guru2 milih dia jadi Walikota pas Pemilu nanti.
Suaminya, tentu saja incar kursi Gubernur.
Selain nepotisme, AA juga dijadikan dasar untuk kebijakan penggembosan soal & jawaban UAN selama ini.
Di bawah slogan “memajukan pendidikan”, maka anak-anak Papua HARUS lulus.
Memang ini fenomena yang terjadi di seluruh Indonesia sejak paling tidak 8 tahun terakhir, dengan alasan keamburadulan kurikulum, tapi hanya di Jayapura ini yang kebijakannya turun dalam bentuk perintah langsung tanpa malu dari Kepala Dinas ke para kepsek.
Bahkan soal UAN tahun lalu tidak dikawal Densus 88. Dari airport langsung didrop ke rumah Kepala Dinas (bukan ke kantor). Dari situ langsung difotokopi untuk dibagi-bagikan ke sebanyak mungkin kepala sekolah yang hadir. Kepsek kemudian paginya (pada saat ujian berlangsung) memerintahkan guru2 bidang studi untuk secepat mungkin membuat kunci jawaban untuk dibagikan langsung pada peserta ujian.
Tentu saja hanya Kota Jayapura yang tidak menukar guru-guru pengawas UAN tiap sekolah. Tiap sekolah mengawasi sendiri murid2nya.
Ini jelas pengrusakan generasi.
Generasi yang menikmati perlakuan khusus akan sangat terbiasa disuap dan akan sangat asing dengan istilah “berjuang” dan “kerja keras”. Sejarah Papua (paska Otsus, paling tidak) mengajarkan bahwa Affirmative Action hanya menghasilkan calon2 koruptor.
Pemihakan oleh pemerintah, masih bisa ditempuh melalui jalur lain selain dari “diskriminasi positif” (saya menyebutnya counter-racism) itu.
Penggratisan biaya pendidikan dan kesehatan, misalnya. Itu jauh lebih baik selain penanaman kebiasaan suap-menyuapi.
Berilah pancing gratis, jangan beri ikan gratis.
Pendidikan gratis baru-baru ini sudah dicanangkan oleh Gubernur.
Gobloknya, tidak disertai kucuran dana ke sekolah maupun ke dinas, atau minimal arahan tentang bagaimana sekolah dan dinas pendidikan membiayai proses belajar tanpa meminta uang dari murid.
Hanya deklarasi “Pendidikan gratiiiiisss!!” sementara sekolah2 masih bingung, bagaimana membiayai try-out, gaji guru honor, dsb dsb dsb…
Pendapat saya sama. Hanya saja saya tidak pake kata “sepertinya”.
Lha itu MRP kan agenda tunggalnya untuk memperjuangkan Papua Merdeka. Setelah tiga tahun berdiri tanpa hasil konkrit (dengan mengkambinghitamkan Pemprov yang belum juga mengeluarkan Perda yang melegalisasi kegiatan MRP), anggotanya malah mengeluh “Gaji kami ini cuma 20 juta per bulan”.
Ini mah masalah usang bagi kaum intelektual Papua golongan primordial.
Dan sudah lama ditemukan solusi untuk menyiasati. Yaitu membuat Perda yang “menjabarkan” isi UU yang memuat kalimat2 yang insanely jauh lebih konkrit.
Misalnya, untuk pasal 50-51 tentang dukungan pemerintah terhadap Peradilan Adat, saat ini sedang disusun Perdasus/Perdasi yang akan mengandung muatan-muatan super-spesifik seperti “Hasil Putusan Peradilan Adat adalah putusan final yang tidak boleh diajukan banding ke Peradilan Negara tingkat manapun, termasuk Mahkamah Agung.”
Tulisan tentang 7%-nya ini sudah lama nangkring di draft saya, tapi belum kelar-kelar 😦 .
Karena memang tujuannya cari duit cepat.
Suasana panas itu pesanan pihak-pihak yang menginginkan Freeport hengkang secepat mungkin dari Papua. Dan untuk itu satu-satunya jalan tercepat adalah memerdekakan Papua. Mereka jelas tidak mau menunggu hingga 2044 .
Sebagian besar politikus separatis di Papua ini tak lebih hanya kaum oportunis yang ingin mempertebal kocek sendiri. Tereak sana tereak sini, dibayar, tertangkap, tereak lagi minta suaka, dan akhirnya hidup enak di Inggris dan Australia tanpa harus bekerja.
Tinggal masyarakat Papua yang anehnya betah terus dijejali ilusi “merdeka lewat jalan damai”.
“Itu” yang mana sih?
Parpol Lokal? Emang ada larangan membentuk partai lokal di Papua? Tahun lalu pernah dibentuk Partai Kebangkitan Rakyat Papua, kalau tidak salah pelopornya Yusak Andato, yang sekarang malah jadi caleg Hanura.
Saya belum tau pasti mengapa PKRP ini pupus, tapi seingat saya tidak jauh-jauh dari kurangnya simpatisan.
Kebijakan dalam memilih kepala daerah?
Lha bukannya semua kepala daerah di Papua sudah orang lokal?
Maksudnya kepala daerah istimewa macam Sultan begitu?
Kan sudah ada pengakuan terhadap kepala2 suku yang dikepalai oleh LMA yang belakangan ganti nama jadi Presidium Dewan Adat ?
Dewan2 Suku di tingkat kampung di Papua malah kekuasaannya lebih besar dari Sri Sultan tuh. Sri Sultan bisa menjatuhkan sanksi adat yang kekuatannya melebihi sanksi pidana tidak?
Hakim2 Adat di Papua bisa. Tindak pidana yang pelakunya sudah dipenjara, tetap harus membayar denda adat kalau tidak mau sanak saudaranya dibunuh atau dibuat gila dengan ilmu hitam. Dan tidak ada satupun aparatur judikatif yang mampu mengintervensi itu.
Otoritas adat yang mewakili kearifan lokal orang Papua sudah sangat digjaya, apalagi paska Otsus.
Mubazir.
Siapapun dan darimanapun caleg-nya, sia-sia saja kalau suara dalam Pemilu masih diperdagangkan dengan bebas.
Hasil pengamatan pengawas pemilu independen dari Uni Eropa pada Pemilu & Pimpres yang lalu, menemukan bahwa proses pemungutan suara di daerah2 marjinal di Papua tidak berjalan.
Di kampung-kampung terpencil (sampel yang diambil dari Timika dan Keerom) yang disebut “logistik pemilu” yang diantar oleh tim KPU adalah berkarung-karung sembako dan amplop untuk kepala kampung.
Tim KPU tidak membawa kotak suara, hanya sembako, amplop dan surat suara. Surat suara tidak diturunkan, melainkan diangkut kembali sementara dicoblosi sendiri di tengah perjalanan. Apa yang dicoblos? Tergantung penawaran tertinggi.
PPDI, misalnya, pada Pemilu yang lalu perolehan suara mereka di Kabupaten Jayawijaya adalah 0%.
Ya, NOL PERSEN. Mengapa? Hasil pemungutan suara yang mereka menangkan dijual ke Golkar oleh dewan pengurus setempat.
Dan ya, semua kursi pengambil keputusan dalam partai2 yang saya contohkan di atas, berikut KPU, PANWASLU maupun kepala kampung, semuanya orang Papua asli.
Walau tetap tidak setuju, saya sih terserah sajalah kalau sekedar dibilang “layak”. Tapi jelas bukan menempati posisi tertinggi dalam daftar kelayakan.
Masih buanyak kebijakan yang “layak” untuk diperjuangkan.
Pemberantasan korupsi, misalnya.
Alasan? Hubungan keterikatan dan [terlanjur] saling membutuhkan antara orang Indonesia dan orang Papua.
Orang Indonesia cari makan di Papua, Orang Papua cari ilmu di Indonesia.
ilmu bisa dipakai untuk cari makan, tapi makanan belum tentu layak ditukar dengan ilmuLandasan? Keterlanjuran dan ketidak-siapan mayoritas orang Papua untuk perang terbuka jika ingin berpisah dari Indonesia.
Merdeka dengan jalan damai? Omong kosong.
Itu sebabnya orang Aceh punya kekuatan tawar jauh lebih besar daripada orang Papua untuk urusan merdeka.
Yang ditawarkan? Barter. Potensi geografis ditukar dengan modernisasi dan peluang & sarana untuk bersaing dengan dunia luar.
Lho lho lho itu mah alasan yang sama dalam mempertahankan seluruh wilayah nusantara.
Segala macam alasan etnis itu cuma alasan pendukung.
Kalau memang sekarang ini kelihatannya Papua punya kekayaan alam lebih melimpah, itu karena memang mereka yang paling terlambat dieksploitasi, sedangkan pulau-pulau lain di Indonesia sudah lebih dahulu disedot habis oleh para konglomerat rezim Orde Baru (itupun dari sisa2 yang ditinggalkan Belanda).
Yang lebih patut untuk tidak diherankan adalah mengapa orang2 Indonesia yang lain tidak ramai ikutan berontak.
Itu karena yang lain lebih tahu diri dan tidak manja. Sadar bahwa hidup itu perjuangan dan perampok lebih mulia daripada pengemis.
saatnya sukseskan PEMILU 2009…. saatnya MENCONTRENG…
hm… cara protesnya emang tidak bijak. usul bagus mas.
biyuh!
Koreksi :
“Tulisan tentang ini 7%nya…”
Oke
.
Sayang aye bukan yang pertamax :((
Topik yang menarik. Sayangnya saya tidak dapat benyak cerita tentang konflik lokal di sini. IMHO, akan lebih lengkap melihat situasi jika kita juga melihat adanya peran konflik antar elit lokal.
Dalam sejarah dari jaman kerajaan, masa kemerdekaan sampai sekarang terlihat konflik lokal yang akhirnya membawa masuk kekuatan luar ikut bermain.
Saya pikir hal ini juga ada di Papua.
*Sekedar ingin melihat detail lebih lengkap*
[…] pertanyaan yang lebih jelas dari Bang Fertob soal ini dalam reply beliau di suatu tulisannya tentang Papua: Nah, yang perlu didekonstruksi itu adalah alasan mengapa Indonesia membutuhkan Papua sebagai […]
numpang baca2, mas ! lam kenal ….
pas nkri pertahankan papua krna ekonomi klau lepas mungkin pulau jawa ruma2 sj melulu..tdk ada apa2nya…………….