PERHATIAN
- pertama, tulisan ini cukup berat dan tidak bisa dibaca sambil lalu, apalagi dijadikan dongeng sebelum tidur
- kedua, memuat argumen-argumen logika yang mempertanyakan keberadaan Allah.
- ketiga, tulisan ini hanyalah sebuah selingan saja

- keempat, silakan dinilai dan diberikan komentar
- kelima, saya sudah memperingatkan anda
Perdebatan tentang masalah ini, terus terang, terkadang membuat saya merasa “aneh”. Ya, aneh karena berjalan dengan situasi yang seringkali “panas” dan “tak tentu arah”. Argumen-argumen yang diberikan juga terkadang tidak berlogika dan asal-asalan. Pertanyaan ini seringkali ditanggapi dengan sikap emosional dan bukannya berpikir terlebih dahulu, apalagi kalau sudah menyinggung agama tertentu.
Lihatlah contoh di tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Atheisme Yang [Tidak] Bertuhan”. Anda bisa terjebak di lautan argumen tanpa tahu dimana jalan keluarnya [seandainya memang ada jalan keluarnya] 😆
Saya sendiri termasuk golongan teis. Dengan kata lain, saya percaya kepada Allah. Tetapi problem “percaya kepada Allah” bukanlah awal dan akhir dari kepercayaan tersebut. Secara logika, “percaya kepada Allah” adalah langkah berikutnya setelah “percaya bahwa Allah ada”. Setiap teis harus membangun kepercayaannya dari awal yaitu “percaya bahwa Allah ada” lalu kemudian menjadi “percaya kepada Allah”.
Tetapi “percaya bahwa Allah ada” bukan hanya masalah kepercayaan dan keimanan saja, tetapi juga konteks epistemologis atau “mengetahui”. Orang yang percaya bahwa Allah ada haruslah mengetahui dengan pasti bahwa apa yang dipercayainya itu benar-benar eksis, bukan ilusi atau imajinasi belaka.
Dari sudut pandang filsafat epistemologis [dan juga logika], kalimat “mengetahui dengan pasti bahwa Allah ada” bisa berimbas pada pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih rumit lagi, misalnya : “apakah mengetahui itu?”, “dapatkah kita mengetahui?”, “bagaimanakah kita mengetahui?”, “mungkinkah kepastian itu?” dan “apakah Allah itu?”
Untuk mengetahui bahwa Allah ada, terdapat seperangkat alat-alat yang bisa digunakan sebagai pembuktian/verifikasi. Bisa melalui penalaran logika dengan mengikuti prinsip-prinsip logika, bisa dengan pengalaman empiris, bisa juga melalui penyataan khusus [kitab suci], atau cara-cara yang lain. Setiap cara tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Saya sekedar ingin membahas pertanyaan “Apakah Allah Ada” dari sudut pandang logika. Ini adalah contoh dari beberapa penalaran yang sering dipakai dari jaman “kuda gigit besi” untuk menjawab pertanyaan di atas. Kesimpulan yang dihasilkan biasanya selalu dikotomikal : Ada dan Tidak Ada. Ditambah dengan golongan agnostik yang “tidak [dapat] mengetahui”. Dan ditambah lagi dari golongan skeptis yang “menangguhkan penilaian tentang keberadaan Allah”. Dan masih ditambah lagi dengan kesimpulan lain yang kurang terkenal.
Tapi kali ini saya hanya akan membahas dari 2 kesimpulan dikotomis : Allah Ada dan Allah Tidak Ada.
Mari kita mulai….
(lebih…)
Read Full Post »