- sebuah tulisan lama yang sempat tercecer
- mudah-mudahan bisa aktif ngeblog π
*gaya ngobrol ON*
Sebenarnya apa sih gunanya gelar [akademik] ?
Pertanyaan itu terkadang timbul dalam benak saya ketika melihat begitu banyak orang menderetkan sejumlah gelar di depan/belakang namanya. Saya sendiri punya beberapa pengalaman “lucu” tentang hal ini.
Saya pernah membandingkan kartu nama saya dengan kartu nama rekan-rekan. Banyak persamaannya, tetapi perbedaan yang paling jelas adalah : saya tidak mencantumkan gelar. π Hanya nama Fer.. Tob… saja. Tanpa embel-embel.
Entah kenapa kartu nama tanpa gelar itu mengundang beberapa “komentar miring” tentang kemampuan saya. Bahkan ada beberapa pejabat birokrasi yang menanyakan langsung keahlian saya karena tidak melihat gelar di kartu nama saya. Bahkan saya hanya menuliskan nama tanpa gelar untuk mengisi formulir-formulir resmi dari instansi berwenang. Nama yang tertera pada akte kelahiran dan KTP.
Pengalaman itu memang tidak mengenakkan tetapi saya cuek saja.
Ada kisah nyata lain yang cukup lucu. Pada Pemilu Legislatif lalu ada seorang caleg DPR di kota Sorong yang memasang poster di jalan depan rumah saya. Posternya berukuran besar dan lumayan banyak tersebar di kota Sorong.
Nama caleg itu ditulis dengan menderetkan sejumlah gelar yang dimilikinya. Tapi ada yang lucu disitu. Di namanya tertulis :
Dr.(candidate) NAMA CALEG [gelar A][gelar B]
Saya sering tertawa jika sedang melintasi poster itu. Bayangkan, dia menuliskan gelar DOKTOR di depan namanya sementara dia belum lulus/belum sah mendapatkan gelar Doktor dan masih kandidat belaka atau masih menjalani program doktor.
Kalau begitu, SEMUA orang yang berkualifikasi mengikuti program doktor adalah KANDIDAT DOKTOR dan berhak untuk mencantumkan gelar DR. di depan nama mereka meskipun mereka belum lulus program doktor. Berarti saya juga kandidat doktor dong. π
Yah, mulai sekarang panggil saya DOKTOR (cand.) Fertob. Oke…
Mengapa Mati Gelar ?
Saya pikir semua orang ingin dikenal dan dihargai karena dia memiliki suatu keahlian dan kemampuan tertentu. Keahlian dan kemampuan itu didapat melalui pendidikan yang berjenjang. Mulai dari jenjang terendah sampai pendidikan tinggi. Gelar yang diberikan oleh perguruan tinggi sendiri dibagi 2 yaitu : Gelar Akademik dan Gelar Profesional (Lihat Keputusan Mendiknas No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi)
Gelar yang diperoleh menjadi ukuran kemampuan seseorang dalam suatu bidang yang menjadi kemampuannya. Gelar hanya tanda, simbol, dan lambang yang bisa dilihat, sementara kemampuan dan keahlian sendiri tidak terbatas pada gelar itu saja. Bisa saja seseorang yang memiliki gelar justru malah tidak memiliki kemampuan mumpuni di bidang itu. Entah karena cara memperolehnya tidak benar atau alasan lain.
Bisa saja seorang SE Akuntansi tidak tahu apa itu Laporan Keuangan Konsolidasi, atau General Ledger atau bahkan tak tahu apa definisi akuntansi. π
Bisa saja seorang sarjana psikologi (S.Psi) tidak tahu tentang Tahap Perkembangan Psikoseksual Freudian, atau apa itu IQ, bahkan tidak bisa membedakan psikologi dan psikiatri. π
Bisa saja kan ????
catatan kecil :
dalam daftar caleg tetap yang dikeluarkan KPU Kota Sorong ada seorang caleg yang menuliskan namanya dengan banyak gelar. Yaitu : Drs. Nama Caleg, M.Si, MM, M.Th.secara iseng saya menuliskan singkatannya; di rumah saja (drs) XXXX Magister Sia-sia, Magister Main-main, Magister anTah-berantah.
dengan sejuta maaf buat mereka yang mempunyai gelar itu. π
Yang sering saya lihat adalah pencantuman gelar bukanlah menjadi ajang pamer kemampuan dan keahlian tetapi seringkali menjadi ajang pamer gengsi. Itulah yang kebanyakan menjadi dorongan bagi seseorang untuk mendapatkan gelar : menambah gengsi dan harga diri di mata orang lain. Ilmunya sendiri, yang menjadi dasar pencapaian gelar, menjadi prioritas kesekian.
Dan tidak heran kalau akhirnya banyak muncul para calo gelar. Orang-orang yang menawarkan gelar cukup hanya dengan membayar sekian rupiah. Ayah saya pernah ditawarin gelar Doktor dari universitas fiktif hanya dengan membayar sekian juta rupiah. Tetapi beliau menolaknya.
Di Sorong, banyak sekali saya temukan isu-isu yang beredar tentang keabsahan gelar akademik seorang pejabat publik. Itu sudah jadi rahasia umum. Ada seorang anak pejabat yang kabarnya tidak lulus kuliah (S1) tetapi ketika pulang tiba-tiba mencantumkan gelar S2 di belakang namanya. So funny. π
Dan masih banyak yang lainnya, termasuk catatan kecil diatas.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Ini bukanlah sebuah langkah mujarab tetapi ketika melihat fenomena ini, yang saya sedihkan bukanlah pemakaian gelar itu sendiri. Gelar wajar dicantumkan meskipun saya sendiri hampir tidak pernah memakainya.
Yang justru menjadi perhatian adalah karena begitu pentingnya arti sebuah gelar bagi kebanyakan orang [gengsi, harga diri, dll] maka makna dibalik gelar itu sendiri menjadi hilang. Itulah yang namanya KUALITAS manusia yang memakai gelar. Demi sebuah gelar orang rela menggunakan jalan pintas termasuk membeli gelar.
Dari sisi personal saya hanya bisa memberikan beberapa cara supaya fenomena ini setidaknya bisa dihilangkan.
- Yakinkan diri anda [dan orang lain] bahwa nama anda adalah unik, spesial, khas, dan sangat berharga, tanpa perlu ditambahi dengan berbagai macam embel-embel yang mengikutinya.
- Biasakanlah untuk menuliskan HANYA NAMA ANDA di semua lembaran formulir, dokumen, surat-surat, dan lain-lain. Hanya nama saja tanpa perlu menambah atribut-atribut yang menunjukkan siapa anda.
- Janganlah menilai kemampuan seseorang HANYA karena orang tersebut memakai banyak gelar dan atribut yang menyertai namanya.
- Jangan merasa bahwa anda akan lebih dihargai jika menambah gelar berderet-deret di depan/belakang nama anda. Penghargaan terhadap manusia tidak bisa dilihat hanya dengan itu saja. Hargailah orang yang justru tidak bergelar tapi menunjukkan kualitas yang mumpuni daripada orang yang bergelar tetapi kualitasnya nol besar.
- Gelar adalah ukuran kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu dan bukan ukuran penilaian dalam skala yang lebih luas. Gelar adalah bukti bahwa seseorang berhasil melalui suatu kualifikasi mutu untuk disebut ahli dalam suatu bidang.
- Hargailah proses daripada hanya sekedar hasil. Proses yang dilalui melalui sebuah perjuangan dan bukan melalui cara-cara instan.
Cara-cara diatas hanyalah sebuah advis personal. Tentunya ada cara-cara lain yang bisa kita lakukan, dan itu terserah pada anda.
Saya masih berpikir, sebenarnya apa gunanya gelar? π
gelar gunanya adalah
untuk prasasti bahwa yg bersangkutan itu pernah sekolah
ah ya, saya ga punya kartu nama
dan saya juga jarang mencantumkan gelar akademik saya di belakang nama,
kecuali karena alasan birokratis yang cuma tercantum di dokumen yg tersimpan rapi di file folder
ah ya, sampeyan Dr (can) juga ?
artinya sudah ikut ujian komprehensif/proposal gitu ?
salut, bos :0
bang fertob is backkkk…..
*nari hula-hula*
soal gelar ini entah kenapa tidak terjadi di tempat kerja saya yang dulu. walaupun master dari john hopkins ataupun harvard sekalipun, tidak ada yang mau mencantumkan gelar mereka di kartu nama mereka.
karena yang penting bukanlah gelar itu sendiri. yang penting adalah apakah anda mampu untuk mengerjakan tugas yang diberikan pada anda.
dan saya sendiri sudah lama tidak memakai gelar saya itu, karena bagaimanapun juga, it’s irrelevant with my job….
bang, kalo namanya cuman 1 kayak saya, terpaksa mencantumkan gelar sebagai nama belakang kwkwkw…
Saya juga termasuk malas menyertakan gelar kalau tidak ada peruntukannya, gelar hanya saya pake semenjak jadi pe-en-es itupun dalam lingkup sekolah dan kepegawaian. Selebihnya buat apa?
Tapi… eh tapi… seorang kawan pernah nyeletuk ketika di undangan meritnya tetap dicantumkan gelar
anu, itu kayaknya untuk menunjukan “eh saya ini berpendidikan loooooh” “eh saya ini orang pintar loooooh”
π π
di kartu nama saya di kantor, saya sekali tidak ada tullisan gelar. sering dipertanyakan sih kalo pas lagi meeting di departemen-departemen atau lembaga-lembaga pemerintahan… Tapi kenapa ya cuma ditempat-tempat yang berhubungan dengan birokrasi yang selalu mempertanyakan apa gelar akademis saya? Kalo meeting sama perusahan swasta yang bahkan sangat terkenal pun ngga mereka mempertanyakan hal tersebut… Heran..
eh iya, saya punya pengalaman mengundang seorang asdep suatu departemen yang begitu datang langsung marah-minta minta daftar absen diganti hanya karena di absen tidak tercantum gelar akademisnya yg segambreng itu. Padahal sih, yang lain juga ga ada yang dicantumkan kok. dan sang deputy yang sudah duluan datang pun dengan santai mengisi daftar absen meskipun namanya ditulis tanpa gelar π π π
artikel bagus nihhh,
tapi gelar itu tanggung jawabnya besar jugag lho, gag bleh di salah gunakan
salam kenal dari mas raden
Makasih banyak, TakeOnePicture.
Fertob…..rasanya sudah lama nggak baca tulisanmu yang menggelitik ini.
Bukankah gelar atau latar belakang pendidikan sebetulnya hanya untuk kelengkapan CV…
Kebetulan saat saya masih aktif dulu, identity card tak mencantumkan gelar..jadi hanya nama. Lagipula malah malu, jika ternyata kemampuan tak sesuai dengan gelar yang sederet itu.
Btw, di Indonesia sekarang orang rame2 dapat gelar, kuliah entah di universitas pojokan jalan atau apa..dan tak lama kemudian namanya tambah panjang.Gejala apakah ini? Padahal dulu ada peribahasa, padi makin bersisi makin merunduk….sekarang kayaknya terbalik…yang penting teriak paling kencang.
salam
makasih banyak.
Kunjungi alamat blog http://www.gigihpambudi.wordpress.com/ ya..
makasih.. Di blogku ada informasi.informasi ini alamatnya http://www.gigihpambudi.wordpress.com/
ada saat diperlukan gelar itu
blognya kok udah gak di apdet lagi sih gan,. ??? apdet donggg,,,,,,
banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari membaca artikel ini,,,,
Saya pikir semua orang ingin dikenal dan dihargai karena dia memiliki suatu keahlian dan kemampuan tertentu. Keahlian dan kemampuan itu didapat melalui pendidikan yang berjenjang.
Ada kisah nyata lain yang cukup lucu. Pada Pemilu Legislatif lalu ada seorang caleg DPR di kota Sorong yang memasang poster di jalan depan rumah saya.