Peringatan Pemerintah :
- tulisan ini [katanya] berbau filsafat
- tulisan ini panjang dan memusingkan
- jangan dibaca saat sedang sakit, lelah atau stress
- segera hubungi dokter terdekat jika tanda-tanda sakit kepala mulai menyerang
Entah mengapa minggu-minggu ini saya malah tertarik untuk menulis postingan yang berbau-bau filsafat. Apakah otak saya sedang error ? Sebenarnya karena otak saya sedang mikir yang rumit-rumit jadi berimbas pula pada tulisan di blog ini.
Saya masih ingat sekitar tahun 1990-an, saya membaca buku Dunia Sophie (Sophie’s World) karya Jostein Gaarder. Itulah awal ketertarikan saya dengan filsafat walaupun masih dalam tahap pemula dan hanya otodidak. Dan di halaman awal buku itu ada satu pertanyaan yang cukup mengganggu Sophie [dan juga saya].
Who are you ?
Where does the world come from ?
Pertanyaan sederhana tapi mampu membuat hidup Sophie jungkir balik. Dan pertanyaan itu juga yang saat itu mengganggu saya, walaupun tidak sampai jungkir balik seperti Sophie.
OOT sedikit, akhirnya saya mendapat ide nama yang tertulis di sini : Sophie Andromeda 😆 keren nggak ? Sophie artinya kebijaksanaan sementara Andromeda adalah nama galaksi.
😆
.
.
.
Oke, kita mulai hal yang memusingkan.
*****************
Jika saya bertanya seperti ini, saya rasa anda menganggap saya mengada-ada atau membuat sesuatu yang sederhana jadi lebih rumit dan memusingkan (mengikuti istilahnya Gus Dur : gitu aja kok repot) : 🙂
Apa itu “ada” ?
Apa itu “tiada” ?
😆
Betul-betul kurang kerjaan ya ? Sebenarnya ini adalah pertanyaan dasar yang coba dijawab oleh para filsuf mulai dari jaman jebot [dan juga masih berlangsung sampai sekarang].
Apakah itu ‘ada’ ? Yang saya maksud dengan ‘ada’ adalah semua hal yang dapat ada atau keseluruhan kenyataan, baik itu yang aktual maupun yang mungkin. Kata ‘ada’ berlaku untuk semua hal sebagai keseluruhan maupun juga yang merupakan bagian darinya. Dengan kata lain, tidak ada kekecualian bagi ide “ada”. Contohnya : Tuhan ada, gelas ada, sapu ada, kucing ada, dan lain-lain. Segala sesuatu yang bukan ketiadaan, ADA. Titik. Itu saja.
Tambahan lagi, dengan mempertimbangkan adanya protes disini yang dilakukan oleh seorang blogger cantik, maka saya akan mengambil contoh yang lain :
- Tante Chika ada
- Mbak Ira ada
- Bu Evy ada
- Dek Rizma ada
- Mpok Evelyn ada
- Neng Siwi ada
- Teh Joerig ada
Semua yang diatas adalah blogger-blogger perempuan (walaupun katanya ada yang diragukan). 😉 Mereka ada, dan pernyataan diatas adalah pernyataan absolut tentang keberadaan mereka. Atau ada yang meragukan kalau mereka memang ada ? *tolong hubungi saya agar dikoreksi*
Mungkin ada yang bertanya :
bagaimana dengan hal-hal yang tidak diketahui [dan tidak akan pernah diketahui] oleh manusia, apakah mereka juga ada ?
[tukul mode ON]
gut kuesion…
[tukul mode OFF]
Hal ini misalnya menyangkut planet-planet yang tidak pernah kita ketahui, atau jenis-jenis kehidupan yang tidak pernah [dan tidak akan pernah] diketahui, atau sesuatu yang teramat sangat aneh bagi kita sehingga untuk membayangkannya-pun kita tidak bisa.
Ide ‘ada’ itu mencakup segalanya dan bersifat universal. Ide ‘ada’ ini tidak terbatas hanya pada pengalaman saja, dengan kata lain dia bersifat absolut. Ide ini tidak dapat direduksikan, sehingga pernyataan utama “sesuatu ada” adalah pernyataan absolut tentang sesuatu.
Dari ide ‘ada’ diatas kita dapat menarik beberapa prinsip-prinsip dasar tentang konsep ‘ada’. Prinsip-prinsip ini mirip dengan prinsip-prinsip logika Aristoteles[1] dan juga first-principle[2], dan saya mengambilnya dari beberapa buku tentang epistemologi :
- Prinsip Identitas : Apa yang ada, ada; Apa yang tidak ada, tidak ada.
- Prinsip Alasan Memadai : Apapun yang ada, mempunyai alasan memadai untuk keberadaannya.
- Prinsip Kausalitas/Penyebab Efisien : Apapun yang mulai ada, menuntut adanya suatu sebab efisien.
1. Prinsip Identitas
Kelihatannya prinsip ini hanyalah sesuatu yang kosong atau berupa pengulangan belaka alias tautologi [3]. Bagi kebanyakan orang, prinsip itu sangatlah sederhana dan sangat dasar. Kalau kita menuliskannya dalam bentuk logika formal, maka bentuknya akan menjadi :
A adalah A; Bukan-A adalah bukan-A.
Prinsip identitas dalam konsep tentang “ada” adalah pedoman utama dan pertama atas semua gagasan. Dengan kata lain, jika kita tidak mengenalnya maka kita tidak akan mampu menyatakan apapun. Apa yang dinyatakan secara pasti oleh prinsip ini adalah, terdapat suatu perbedaan radikal antara “ada” dan “tidak-ada”. Prinsip ini tidak bisa disangkal karena dia merupakan pernyataan dasar atas segala sesuatu.
Prinsip ini dapat berganti pakaian menjadi prinsip kontradiksi : Tidak sesuatupun yang “ada” sekaligus “tidak-ada”.
2. Prinsip Alasan Memadai
Prinsip kedua inilah yang dulu pernah saya pakai untuk “menghabisi” kepercayaan dalam diri saya dan membangunnya kembali dari puing-puing kehancuran 🙂
Apa yang dinyatakan oleh prinsip ini adalah pikiran kita harus menangkap suatu dasar memadai bagi fakta bahwa sesuatu itu ‘ada’. Jika terdapat perbedaan antara ‘ada’ dan ‘tidak-ada’, maka dimanapun dan kapanpun kita mempunyai ‘ada’, maka kita harus mempunyai alasan/dasar yang memadai bagi fakta ‘ada’ tersebut. Jika ada dan tiada berbeda, maka ada sesuatu yang membedakannya secara memadai.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, suatu dasar/alasan yang memadai bagi “ada” bukanlah “ketiadaan”.
Tapi yang perlu diingat, prinsip ini tidak berhubungan dengan alasan-alasan dan sebab-sebab relatif yang bisa dilekatkan padanya. Kita mungkin sering mendengar/membaca kalimat-kalimat seperti ini :
segala sesuatu ada untuk suatu tujuan tertentu
atau
Allah menciptakan sesuatu untuk maksud tertentu
Alasan memadai tidaklah sama dengan “maksud” atau “tujuan” dari keberadaan sesuatu. Bukan itu yang dimaksud disini. Alasan memadai disini adalah sesuatu yang lebih dalam dan hakiki, atau dengan kata lain bersifat “dasar”. Harus ada suatu dasar yang hakiki bagi keberadaan sesuatu.
Dalam menyambut tema agama yang disinyalir merupakan tema yang sangat sering muncul di blogsphere khususnya di WordPress, maka saya akan mencoba menarik Prinsip Kedua ini kedalam tema agama tersebut.
.
.
.
Percobaan dimulai…… 😆
.
.
.
Coba kita mengenakannya pada konsep tentang Tuhan. Kita mulai dari premis utamanya :
Tuhan ada
Sesuai dengan prinsip pertama, pernyataan “Tuhan ada” adalah pernyataan absolut tentang sesuatu. Jika kita menerima premis itu, maka “Tuhan ada” bukanlah “Tuhan tidak-ada”. Penegasan ini penting karena kita akan berangkat dari situ.
Sesuai dengan prinsip kedua, jika “Tuhan ada” maka harus ada suatu dasar/alasan yang memadai bagi keberadaannya itu. Apakah alasan/dasar memadai bagi “Tuhan ada” ?
Dasar dan alasan “Tuhan ada” tidak bisa diletakkan pada sesuatu yang berasal diluar diri-Nya. Tuhan adalah pengada-tak-terbatas, dan jika Dia ada maka haruslah terdapat dasar memadai bagi pengada tak-terbatas itu.
Jawabannya sebenarnya berasal dari konsep tentang Tuhan itu sendiri. Tuhan ada karena kodrat-Nya adalah ADA. Tuhan ada dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri (being-in-itself and being-for-itself). Kita tidak bisa mencari sesuatu diluar keberadaan Tuhan yang dapat dipakai sebagai dasar memadai bagi keberadaanNya.
Dalam agama-agama samawi ada pernyataan-pernyataan bahwa “Kodrat Tuhan adalah ADA”. Saya ambil contoh di Kitab Taurat :
God said to Moses, “I am who I am. This is what you are to say to the Israelites : ‘I AM has sent me to you.’ ”
(Exodus/Keluaran 3:14)
Dalam konteks agama Yahudi, “Aku adalah Aku (I am who I am)” atau sering diterjemahkan juga sebagai “I will be what I will be” dinamakan YHWH (dibaca Yahweh). Dengan penegasan diatas itu maka dapat digambarkan bahwa “Kodrat Tuhan adalah ADA”.
*karena tidak terlalu mengetahui konsep Tuhan dalam Islam, saya mohon jika ada yang tahu bisa menambahkannya, terima kasih*
Tetapi saya mempunyai keyakinan bahwa konsep tentang Kodrat Tuhan pasti ada di agama-agama yang lain.
Lalu apa maksud dari “Kodrat Tuhan adalah ADA” diatas ?
Jika (dari konsep Tuhan diatas) yang saya maksud dari kata “ADA” adalah “Eksistensi” dan “KODRAT” adalah “Esensi”, maka dapat pula dikatakan bahwa Eksistensi Tuhan tidak berbeda dari Esensi-Nya. Eksistensi dan Esensi Tuhan menyatu dan sama dalam oknum yang satu.
Dari sini kita sampai pada pernyataan bahwa Eksistensi dan Esensi Tuhan adalah sama. Alasan bagi Tuhan ada (keberadaan Tuhan) terdapat di dalam diri-Nya sendiri. Penyebab efisien dari keberadaan Tuhan adalah diri-Nya sendiri.
Sehingga jika ada yang mengatakan, “Segala sesuatu punya penyebab, itu berarti Tuhan juga penyebab.” Tuhan memang mempunyai penyebab dan dasar, karena segala sesuatu haruslah mengikuti prinsip pertama dan kedua (ditambah prinsip ketiga dibawah), tetapi Penyebab dan Dasar dari Keberadaan Tuhan adalah Diri-Nya sendiri. 🙂
.
.
.
Sedikit tambahan bantahan terhadap kodrat Tuhan.
-
Sartre[4] , seorang filsuf eksistensialis asal
Bagi Sartre, konsep ini mempunyai kontradiksi dalam dirinya sendiri. Sartre menyatakan bahwa eksistensi sesuatu berbeda dan tidak sama dengan esensinya dan eksistensi manusia mendahului esensi. Eksistensi apapun di dunia ini selalu dan akan selalu berbeda dengan esensinya. Sesuatu itu ada bukan karena dasar memadai bagi keberadaannya itu terdapat dalam dirinya, atau dengan kata lain dasar memadai bagi suatu keberadaan selalu berada diluar dirinya. Dalam pernyataan Sartre tentang eksistensialisme MANUSIA, konsep ini menjadi sesuatu yang terus dipakainya.
Tidak mungkin di dunia ini, ada suatu oknum yang dapat dikenakan suatu pernyataan bahwa eksistensi dan esensi menyatu dan sama. Kita akan berbicara sesuatu yang SEMPURNA dan “tidak bisa ditangkap oleh otak rasional manusia”. Karena konsep itu bukanlah sesuatu yang bisa ditangkap dengan akal dan rasio maka kita harus menolak konsep itu dengan alasan eksistensi itu.
Selain itu, konsepsi Tuhan yang being-in-itself-and-for-itself adalah konsepsi yang tidak relevan. In-itself adalah konsep yang sempurna dalam dirinya sendiri. Sementara for-itself menyatakan bahwa Dia bebas dan tidak terikat dengan apapun juga, atau dengan kata lain tidak ada sesuatu yang menjadi dasar memadai bagi keberadaanNya selain diri-Nya sendiri. Selain gagal dalam hal eksistensi, konsep ini juga harus ditolak berdasarkan kesimpulan logika.
Btw, stw, busway, Sartre itu seorang atheis. 🙂
Sebenarnya bantahan terhadap bantahan Sartre ini ada, tetapi saya sengaja tidak menuliskannya, karena nanti pembahasannya bisa kemana-mana.
Bagaimana dengan kita sebagai manusia ? Sebagai pengada-terbatas, kodrat manusia tidak sama dengan kodrat Tuhan diatas. Maka jika sesuatu itu benar-benar ada, penjelasan yang memadai bagi eksistensinya tidak dapat diberikan dengan menyatakan bahwa mereka adalah jenis ada seperti ini. Tetapi itu juga menegaskan bahwa SELALU ada dasar memadai bagi keberadaan sesuatu.
3. Prinsip Kausalitas/Penyebab Efisien
Prinsip ini (sebenarnya sudah dibahas sedikit diatas) adalah implikasi langsung dari prinsip kedua. Prinsip ini dikenakan HANYA pada pengada-terbatas seperti manusia, benda, binatang, dan lain-lain.
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap pengada-terbatas harus mengandaikan bahwa ada dasar/alasan memadai dari luar bagi keberadaannya itu. Pengada-terbatas bukanlah dasar/alasan memadai untuk keberadaanya (dengan kata lain berbeda dengan Tuhan), maka oleh karena itu harus ada dasar di luar dirinya yang menegaskan keberadaannya itu.
Dasar memadai yang berasal dari luar atas keberadaan sesuatu dinamakan “sebab efisien”. Karena keberadaan sesuatu selalu membutuhkan alasan dari luar dirinya sendiri, maka eksistensi sesuatu itu adalah eksistensi relatif. Dia butuh sesuatu yang lain diluar dirinya sebagai dasar akan keberadaannya itu. Bedakan dengan Tuhan yang adalah eksistensi absolut.
***************
Hmmmmm….. sepertinya sudah sampai disini saja. Saya sendiri akhirnya jadi pusing membacanya lagi 😛 Sebagai tambahan, pertanyaan utama diatas masih terus menjadi pertanyaan dalam pemikiran filsafat. Mudah-mudahan saya tidak akan menuliskannya lagi. Capek lho…
Judulnya terinspirasi dari judul lagu Utopia : Antara Ada dan Tiada. Walaupun saya jamin 1000% isinya berlainan. 🙂
catatan :
[1] Organon, Aristotle works on Logic and Aristotle’s Principle of Logic
[2] First-principle adalah asumsi-asumsi/proposisi dasar dan fundamental yang tidak bisa ditarik dari asumsi/proposisi lain. Selain itu juga tidak bisa direduksikan menjadi proposisi/asumsi lain.
[3] Tautologi adalah pengulangan dari suatu ide. Kebenarannya dinilai dari pernyataan itu sendiri. Lawan dari tautologi adalah kontradiksi.
[4] Jean-Paul Sartre, Being and Nothingnes : An Essay in Phenomenological Ontology, 1943. Juga karya Martin Heidegger : Being and Time, 1962.
kayak judul lagu 😕
eh, saya pertamax ya Om?
😆
aih…Chika ternyata udah Tante Tante… 😆
eh? Neng Siwi?
😳
makasih Om Fertob…
😀
eum, siapa yang masih diragukan ke-perempuanannya?
😕
binun mau komentar apa….
nyampah sajalah, sambil nunggu bedug..
*ditimpuk om fertob*
karena ke tiaADAan itu juga ada, adanya…nah lo
Ada dan Tiada justru lahir karena keberadaan “ada” sendiri, Jika yang Ada adalah Tiada masikah ada pertanyaan “ada” dan “tiada” ?
Tiada lahir dari eksistensi Ada, bahwasanya Tiada lahir dari pemikiran yang Ada berhubungan lurus dengan keberadaan dan ketiadaan, apakah masih relevan Tiada jika tanpa Ada ?
Antara Ada dan Tiada sendiri sebenarnya masih memiliki penengah yaitu “semu” yang berarti antara ada dan tiada dan keberadaan semu sendiri bergantung dari yang ada, sebab baik ada, tiada dan semu lahir dari keberadaan sipemikir atau “ada” yang memikirkan.
Tuhan sendiri terlepas dari konsep ada dan tiada, sebagai Causa Prima, Tuhan adalah pencipta ada dan tiada, jadi ada dan tiada sendiri ada karena diciptakan Tuhan.
Mbuh ah mbulet wae…
*protes karena dipanggil tante* 👿
sebenernya bisa dibilang antara ada dan tiada itu beda tipis. contohnya setan. ada, tapi nggak ada. exist, tapi ngga kelihatan. seperti sakit. nggak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. IMO sih…
*agak pusing baca beginian*
Tulisan yang berat, harus berkali2 mengerutkan jidat, hehehe 😀 Ini ciri khas positingan Bung Fertob, tapi saya suka membacanya. Bicara antara ada dan tiada tiba2 saya teringat absurditas dalam teks sastra. Kini banyak sekali yang menggunakan “genre” ini untuk mengekspresikan keliaran imajinasi para penulis berbakat yang hebat2 itu. Cerpen2 Danarto yang terkumpul dalam Godlob dan Adam ma’rifat tampaknya juga menggunakan konsep antara ada dan tiada ini.
Adagium ini mirip –menurut penafsiran awam saya– dengan kenyataan paradoksal yang pernah diungkap oleh Pakde King.
Kalo di Islam ( mudah2an saya gak salah) ada sifat wajib Allah, jumlahnya 20 dan biasanya ngapalinnya pake lagu jadinya sampe sekarang masi hapal 🙂
dan sifat pertama : Wujud yang artinya ada, lengkapnya bisa diliat http://ms.wikipedia.org/wiki/Sifat_20
Ya kalo saya sie mikirnya, definisi, theory, atopun prinisip tentang konsep ada dan tiada itu kan buatan manusia, dan tentunya gak bisa dipake untuk meng-evaluasi ato membuktikan ke-ada-an Tuhan.
Kalo boleh meminjam term dalam teori relativitas, maka “frame of references” nya dah beda, dan jadinya gak appropriate untuk solve the problem… hehehehe….
anyway, tentang Jostein Gaarder, ada satu lagi bukunya yang bagus, judul nya “Misteri Soliter”, Walopun filsafatnya gak seberat dunia sophie, tapi saya malah banyak dapet ide berbau filsafat dari buku yang ini
– kemungkinan karena baca dunia sophienya waktu masi SMA, jadinya masinya sangat bego- 😀
Wah keren nie bang tulisannya. Salut ma B’Fertobs bisa bikin tulisan kaya gini. Seru nich kayanya kalo ngobrol filsafat ma B’Fertobs
Dulu pas saya Melakukan Pendakian di Gunung Rinjani
http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Rinjani
Saya, menemukan sebuah pertanyaan “bagaimana sebuah kebenaran menjadi kebenaran”
Akhirnya saya menemukan jawaban atas pertanyan tersebut, yaitu melalui pembuktian dan keyakinan.
Kebenaran dapat di ketahu jika pembuktian dilakukan. Misalnya apakah Si A sama dengan B, jika A sama dengan B, maka Kebenaran akan A sama dengan B sudah dibuktikan, Jika A tidak sama dengan B maka kebenaran pakah A sama dengan B sudah di buktikan juga. Dengan kesimpulan bahwa A tidak sama dengan B. Artinya kadang kesalahan harus dilakukan untuk mengentahui sebuah kebenaran.
Kebenarana dapat diyakini. Jika sesuatu sudah diyakini kebenarannya, maka pernyataan apa pun tidak dapat mengalahlkan kebenaran itu. misalnya pernyataan bahwa tuhan itu ada, tidak akan bisa dikalahkan dengan pernyataan bahwa tuhan itu tidak ada, jika kita meyakini bahwa tuhan itu ada, atau sebaliknya. Memang kesimpulan ini bersifat subjektif dan cenderung personal.
Kaitanya dengan tulisan B’Fertobs adalah sesuatu itu ada atau tidak ada dapat, dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pembuktian dan keyakinan. Ada jika eksistensi sesuatu dapat dibuktikan, misalnya eksistensi makhluk gaib melalui penelusuran tim dunia lain. Atau ketiadaan makhluk asing (aliien) yang belum dapat dibuktikan.
Tapi tetap saja ada orang yang menganggap bahwa makhluk gaib tidak ada dan makhluk asing (aliien) ada karena keyakinannya terhadap kedua makhluk itu.
@ Ferry ZK
Sepakat. Mengingatkan pada konsep Relativitas Waktu. Karena manusia yang mengukur ruang dan waktu, sehingga kita mengenal struktur ruang dan detik-menit-jam etc, maka hal-hal demikian menjadi nisbi.
Akar dari semua ketiadaan memang “ada”. Dan yang menciptakan “ada” itu sendiri adalah “terlepas” dari apa yang diciptakan-Nya.
Karena itu ada istilah “Alpha – Omega” pada kebudayaan Yunani atau “‘Al-Awwal – ‘Al-Akhir” dalam khazanah Islam untuk apa yang kita sebut “Tuhan”.
Menilik pada gelaran tersebut, ya… Dia memang lepas dari ekistensi manusia.
*halah… bahasaku bisa serumit ini*
Oh, iya. Tiba-tiba jadi ingat kisah tentang bagaimana sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis (dan demikian juga persepsi manusia lainnya). Kisah tentang laki-laki yang di-tes feelingnya tentang waktu dengan cara dimatikan lalu dihidupkan kembali selama seratus tahun di Al Baqarah ayat 259.
Somehow, ini mengingatkan pada debat dengan teman yang pro pada “cogito ergo sum”-nya Descartes. Menurutnya, Tuhan itu tidak akan pernah ada juga kalau ia tidak memikirkannya.
Apa iya? Menurutku tidak, kataku. Karena, menurutku, yang aku katakan padanya, “tanpa kau berpikir pun eksistensi-mu akan tetap ada. Tercipta. Hanya saja kau tidak menyadarinya. Demikian juga eksistensi Tuhan itu sendiri.”
Hhhh… cape juga euyy komen berat begini 😆
*sruput kopi*
”
“Tuhan ada”
Sesuai dengan prinsip pertama, pernyataan “Tuhan ada” adalah pernyataan absolut tentang sesuatu. Jika kita menerima premis itu, maka “Tuhan ada” bukanlah “Tuhan tidak-ada”. Penegasan ini penting karena kita akan berangkat dari situ.
Sesuai dengan prinsip kedua, jika “Tuhan ada” maka harus ada suatu dasar/alasan yang memadai bagi keberadaannya itu. Apakah alasan/dasar memadai bagi “Tuhan ada” ?
Dasar dan alasan “Tuhan ada” tidak bisa diletakkan pada sesuatu yang berasal diluar diri-Nya. Tuhan adalah pengada-tak-terbatas, dan jika Dia ada maka haruslah terdapat dasar memadai bagi pengada tak-terbatas itu.
Jawabannya sebenarnya berasal dari konsep tentang Tuhan itu sendiri. Tuhan ada karena kodrat-Nya adalah ADA. Tuhan ada dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri (being-in-itself and being-for-itself). Kita tidak bisa mencari sesuatu diluar keberadaan Tuhan yang dapat dipakai sebagai dasar memadai bagi keberadaanNya.”
kuesyen:
1). apa sebab tidak bisa diletakkan dasar dan alasan yang memadai bagi keberadaan-Nya, pada sesuatu yang berasal luar diri Tuhan? Apakah itu karena tuhan itu tidak kasat mata, tidak berbau, tidak terasa (manis, asin, asem, sepet dll), tak bisa diraba, dan tiada terdengar suaranya? Atau ada alasan lain untuk mengatakan bahwa tidak bisa diletakkan dasar dan alasan yang memadai bagi keberadaan-Nya, yang berasal dari luar diri-Nya?
Soalnya menurut saya, jawaban anda tidak cukup hanya dengan mengkonsepkan “being-in-itself and being-for-itself” pada object Tuhan, dijadikan alasan ketidakbisaan itu.
2). Bagaimana menyatakan dasar dan alasan yang memadai bagi keberadaan hal-hal yang tak terdetek indera kita? semisal Jin, dedemit, roh de-el-el. Apakah timbul pula ketidakbisaan untuk menyatakan dasar dan alasan yang memadai bagi keberadaanya yang berasal dari luar.
3). apakah pada hal-hal gaib selain Tuhan, bisa dibuatkan dan berlaku konsep being-in-itself and being-for-itself? btw kita toh ga pernah bisa mengecek hal tersebut. kecuali hanya logika diatas kertas dan konsep manusia. btw toh banyak konsep yang bisa diperlakukan pada object yang sama, mengapa tidak mencobanya, ataukah ada ketakutan untuk mencoba melakukan ekperimen dengan cara-cara dan metodologi yang berbeda?
4) Konsep Tuhan ada dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri (being-in-itself and being-for-itself), toh berujung pada pernyataan anda “Penyebab dan Dasar dari Keberadaan Tuhan adalah Diri-Nya sendiri.” (itu loh tulisan berwarna merah dengan smiley 🙂 d akhir kata). kita tahu bahwa sebab melahirkan akibat. nah bagaimana mungkin tuhan menjadi penyebab dan dasar bagi keberadaan dirinya sementara Tuhan belum ada sampai Ia disebabkan oleh diri-Nya sendiri. Jadi paradoks kan.. 😕
(namun demikian saya tidak sejalan loh dengan J.P. Sartre, kecuali sedikit gaya hidupnya)
Nb: klo komen ini dibales tolong baleslah dengar gaya penulisan anda yang gamblang dan gampang, maklum saya Newbie di dunia Pilsafat.
Sory ya, komen nya panjang.
btw saya ga pernah baca buku-buku karya Jostein Gaarder seperti Dunia Sophie (Sophie’s World) atau yang lainnya. saya hanya mahasiswa biasa yang pernah dikasih nilai D di mata kuliah Filsafat Hukum (legal Theory), namun demikian berselang 2 hari kemudian nilai itu berubah menjadi B-. itu semua terjadi bukan dengan perbincangan gaya-gaya filsafat dengan dosen saya itu. saya hanya menemani sang dosen yang lagi makan + ngerokok. dia ajak saya ngobrol ke sana-kemari, ga jelas gitu deh. kemudian ajaib nilai itu berubah. hehehe 😀
btw lagi, saya selalu berpikir untuk tidak mempercampuradukan antara filsafat dan Agama (Khususnya Islam). Tanya kenapa? Sebab keduanya mempunyai sumber (sources) yang berbeda. Filsafat itu sumbernya itu pikiran kita, kalau bisa berpikir ke akar-akarnya (radikal, radix). sedang agama Islam bersumberkan pada Al-qur’an dan Hadist serta Akal-pikiran dalam jumlah yang terbatas (dalam konteks tidak bertentangan dengan sumber utama).
namun demikian kebenaraan dan Kemulyaan keduanya (agama dan Filsafat) terletak pula pada konsistensi dan relevansinya dengan entitas jagat raya beserta hukum-hukum alam.
lagi-lagi pemisahan Agama dan filsafat itu tidak mematikan salah satunya. Filsafat misalnya (khususnya Filsafat ilmu pengetahuan, seperti LOGIKA) bisa digunakan untuk mengecek validitas sumber-sumber agama. lebih jauhnya ini seperti semacam pembuktian akan validitas kitab suci.
sekali lagi jangan campur+diaduk antara filsafat dengan agama. biarkan saja seperti air dan minyak dmana tetep terlihat batas-batasnya. jangan d campur sabun sehingga terjadi emulsi sehingga batas-batas itu kabur.
Terakhir nih… 🙂
saya sadar betul bahwa perbincangan filsafat itu sangat sarat dengan konteks. bahwa setiap kalimat dan bahwa mempunyai konteks masing-masing yang relevan dengan teksnya.
nah bisa jadi toh ada kesalahkaprahan dengan konteks tertentu hingga mengakibatkan miss perception.
ada baiknya sih kalau ngobrol filsafat tuh paling enak tatap muka. jadi kalau ada konteks yang kurang jelas bisa langsung di cross ceck.
btw siapa tahu kita bisa ketemu di dunia nyata. saya tinggal di jakarta nih. anda tinggal dmana?
saya baca Dunia Sophie berkali-kali
bukan karena ketertarikan yg amat besar
tapi emang dapet tugas filsafat dan disuruh ngerangkum…
[…] mengatasi eksistensi manusia, penyebab eksistensinya, dan terlebih lagi penyebab segala sesuatu, yang ada dalam dirinya sendiri, dan bisa diperlebar menjadi Maha Ada dan Maha Tidak Ada [dalam beberapa pemikiran filosofis […]
salam kenal dulu om fertob 🙂
*moga-moga bisa belajar dan berbagi ilmu filsafat disini 🙂
btw.. buku pertama saya soal filsafat malah : ilmu dalam perspektif-nya jujun s sumantri hehehhe..
novel2nya paulo couelho juga ok
dunia sofie? buku keren untuk mengawali filsafat. ringan namun berat 🙂
sometimes, saya banyak mendapat makna dari buku2 seberti baghawatgitha *spellingnya brantakan nih 🙂
ada referensi enak lainnya mas? jangan yang berat2 amat. enakan yang ringan tapi sarat makna heheheh
YANG PERLU DIPERHATIKAN DISINI MENURUT SAYA ADALAH KITA MEYAKINI KE-ADA-ANNYA BUKAN MASALAH ADA ATAU TIADA…
BAIK MENURUT ASAS KAUSALITAS ATAUPUN LAINNYA…
[…] *lihat tulisan lama saya yang berjudul “antara ada dan tiada“* […]
buatku…
pada mulanya semua ada… meskipun pengamat tidak ada satupun…
setelah ada pengamat, maka dimulailah pembedaan ada dan tiada…
karena berpedoman pada yang ada…
“tiada” menjadi timbul karena negasi terhadap “ada”
jadi makna “ada” dan “tiada” itu baru ada setelah ada pengamat yang membedakan…
setelah ada kesadaran untuk mengamati…
karena itu manusia dalam khasanah sufistik bernama adam… atau ketiadaan…
sedangkan Allah selalu ada meskipun tanpa adanya adam sebagai pengamat…
Dia selalu ada dari dan sampai kapanpun… meskipun tak ada yang menyebutNya ” Tuhan, Allah, YHWH” ataupun nama lainnya juga… itu yang aku fahami sebagai “Zat Wajibul Wujud” dalam islam…
jika adam sedang tidak melakukan pengamatan yang ada hanyalah “Sang Hidup”…
sebenarnya pengamat dan yang diamati adalah suatu kesatuan…
hanya persepsi perasaan terpisah yang membatasinya…
yah itu semua cuma persepsiku…
tanpa aku semua persepsi akan hilang dari benakku….
makasih….
nambah ya… penasaran sih…
suatu sistem tidak akan bisa diamati dari dalam sistem itu sendiri…
karena pada saat ada satu gerakan dalam sistem akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan..
kehendak melakukan dan proses pengamatan sendiri.. adalah gerakan dalam sistem…
bagaimana bisa kita melalukan pengamatan yang objektif…? jika kita selalu berada di dalamnya…
lautan ruh kehidupan, lautan perasaan, lautan fikiran dan juga lautan tubuh fisik adalah realitas yang bertumpuk…
yang harus diperhitungkan dalam pengamatan…
itulah yang dalam khasanah sufistik yang disebut tujuh lautan, seperti yang diketahui bilangan tujuh menunjukan banyak dalam khasanah sastra Arab… segala yang tampak berasal dari “Sir” atau letupan kehendak…
pada saat itu “Sang Hidup” memperlihatkan kehidupan melalui para mahluknya…
Dan dimulailah orkestra…
Terpujilah Dia dengan segala keagunganNya… Alhamdulillah… Haleluyah….
Perkenalkan
Saya mahasisa
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN PALANGKA RAYA)
Saya bukan bertanya melainkan
Meminta Bapak Untuk menyimpulkan secara singkat, tentang “Mengapa ADA & TIADA itu ada?
Terimakasi Bapak.
Saya tunggu dari kesimpulan dari Bapak.
Perkenalkan
Saya mahasisa
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN PALANGKA RAYA)
Saya bukan bertanya melainkan
Meminta Bapak Untuk menyimpulkan secara singkat, tentang “Mengapa ADA & TIADA itu ada?
Terimakasi Bapak.
Saya tunggu dari kesimpulan dari Bapak.
Apakah ada dan tiada memiliki keberadaan dan waktu ??? Apakah keberadaan dan waktu nya sama ? Apakah ada konsep yg bisa anda jelaskan ttg hal ini ?
Selamat menulis kembali…
Saya juga menuliskan hal yg sama …
Semoga kita dapat berbagi pemahaman dan pembelajaran…
Jadi…definisi “ada” itu…apa..??
🙏🙏
Ada Itu Pengakuan
Tiada Itu Penyerahan