Kita sudah terbiasa mengeluh. Jalanan macet, mengeluh. Hujan deras, mengeluh. Pekerjaan bertumpuk, mengeluh. Istri/suami/pacar rewel, mengeluh. Suara berisik, mengeluh. Pelayanan tidak memuaskan, mengeluh. Kena tilang polisi, mengeluh.
Mengeluh sepertinya sudah menjadi gaya hidup. 🙂
Mengeluh itu manusiawi. Ketika sesuatu dirasakan telah mengecewakan kita, maka keluhan adalah salah satu cara melampiaskan kekecewaan itu. Saya sendiri juga pernah mengeluh ketika berhadapan dengan orang/situasi yang tidak sesuai dengan harapan saya.
Yang sangat sulit adalah bagaimana menghadapi keluhan, apalagi bagi mereka yang berhubungan dengan produk/jasa. Itulah mungkin yang menjadi alasan banyak perusahaan memiliki “seksi pencitraan”, sebut saja nama mereka misalnya customer service, public relation, corporate social responsibility, atau nama yang lain yang mirip dengan itu.
Saya pun begitu. Sebagai orang yang terlibat dalam menjual sesuatu kepada orang lain, saya sudah terbiasa dengan keluhan-keluhan dari orang yang merasa kecewa dari apa yang saya jual. Mulai dari yang sangat halus, sampai tidak terasa bahwa itu keluhan, sampai yang sangat kasar membentak-bentak dan membuat panas hati.
Lalu apakah saya perlu untuk meninju muka mereka yang mengeluh ? 😆
Say pun bisa berada pada pihak yang lain. Sebagai orang yang memakai produk/jasa tertentu, saya pernah mengeluh terhadap layanan produk/jasa yang saya gunakan. Entah sudah berapa kali PLN mendapat omelan saya ketika listrik tiba-tiba padam tanpa pemberitahuan, atau keluhan akibat lamanya mengurus surat-surat di kantor pemerintah.
Lalu apakah mereka perlu untuk meninju muka saya yang mengeluh ? 😆
Anda boleh percaya boleh tidak, ketika membaca sebuah koran/surat kabar, ada 3 hal/topik yang saya baca terlebih dahulu : Headline, Olahraga, dan Surat Pembaca.
Surat pembaca menjadi prioritas utama karena kebanyakan berisi keluhan. Mulai dari keluhan sangat halus sampai yang cukup kasar. Mulai dari keluhan soal dasi yang robek di binatu terkenal sampai pembatalan penerbangan secara sepihak oleh airlines bersangkutan. Dari situ saya bisa belajar bahwa ternyata keluhan itu punya banyak manfaat jika mampu dikelola dengan baik.
Mengeluh dan keluhan tidak selalu berkonotasi negatif. Bagi orang yang terbiasa hantam dulu belajar belakangan, maka keluhan pasti selalu negatif. 🙂 Bagi yang mampu mengambil hikmah, bahkan dari kotoran sekalipun, keluhan adalah cambuk untuk meningkatkan performance.
Kesimpulan singkatnya : bagi mereka yang langsung mengarahkan tinju pada keluhan tanpa belajar apa-apa dari situ, maka sudah sepatutnya belajar untuk mengambil emas dari tumpukan kotoran manusia dengan menggunakan tangannya sendiri. 😆
Selamat berkeluh kesah dan ambillah hikmah.