- uh, tulisan ini ternyata panjang banget…
- berbau agama
- kritik terhadap agama
- membosankan
- penuh dengan opini non-adhominem
Mensponsori tulisan berbau religi yang katanya lagi tenar di blogsphere.
Dari dulu banyak orang yang mengatakan bahwa saya adalah seorang yang sinis terhadap agama (atau lebih tepatnya organized religion). Sebenarnya hal itu ada benarnya. Tetapi hal itu tidak menggambarkan diri saya yang sebenarnya.
Sebenarnya ada yang lebih lagi : ada harapan dalam diri saya bahwa agama dapat menyumbang sesuatu yang positif dalam konteks moralitas publik di negeri ini. Harapan yang bagi beberapa orang [yang sama skeptis dan sinisnya dengan saya] bagaikan mengharapkan hujan deras di Gurun Sahara. ๐
Saya bukan pendukung total thesis Richard Dawkins, Sam Harris, atau Christopher Hitchens [dan manusia-manusia yang sejenis] dalam beberapa kritik mereka tentang agama, walaupun dalam beberapa point saya mengangguk-anggukkan kepala terhadap pendapat mereka. Salah satu kritik saya terhadap mereka adalah dalam soal moralitas dan etika yang terkadang terlalu bersikap sinis terhadap kontribusi (what…?) agama terhadap moralitas.
Saya tidak mengabaikan bahwa latar belakang merekalah yang membuat thesis mereka berbau seperti itu. Dan hal itu juga berimplikasi bahwa tulisan ini juga tidak mengabaikan latar belakang saya yang masih percaya pada Tuhan walaupun dalam konteks berbeda terhadap agama-agama tradisional dan mainstream yang kebanyakan dianut.
Saya pernah termenung cukup lama ketika ada suatu pertanyaan dari teman saya yang justru disampaikan secara sinis, asal-asalan dan setengah bercanda.
Apakah mereka pikir Tuhan tidak marah[1] kalau mereka melanggar rambu-rambu lalu lintas ?
Apa mereka pikir Tuhan tidak sedih ketika mereka melakukan pungli dengan menaikkan bayaran untuk pelayanan publik ?
Apa mereka pikir Tuhan tidak resah ketika mereka menyogok demi mendapatkan suatu proyek ?
Apakah mereka pikir Tuhan tidak murka ketika mereka membuang sampah sembarangan dan merusak lingkungan ?
Dalam hati saya menolak pertanyaan sinis itu :
Jangan bawa-bawa Tuhan dalam perbuatan-perbuatan manusia. Darimana kamu tahu kalau Tuhan marah atas perbuatan-perbuatan manusia ? Tuhan dan Agama tidak ada urusannya disitu.
Tapi disisi yang lain saya mengakuinya :
Apakah memang benar Tuhan dan Agama tidak punya peran dalam moralitas publik ?
Ataukah Tuhan dan Agama absent dalam perbuatan keseharian manusia yang berhubungan dengan moralitas publik ?
Ataukah manusia yang kurang menyerap nilai-nilai moralitas Agama sehingga membuatnya absent dalam perbuatan kesehariannya ?
Inilah salah satu kritik terhadap peran Tuhan dan Agama dalam wujud moralitas dan etika publik yang membuatnya pernah didiskreditkan dalam konteks zaman. Pertanyaan yang lebih banyak dinilai secara simbolik daripada esensi.
Pertanyaan yang sekaligus mempertanyakan :
Apakah Tuhan dan Agama yang tampil di ruang publik hanya berwujud simbol dan ritual belaka ?
***************
Ada Apa Ini ?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi relevan ketika kita melongok lagi ke dalam konteks keagamaan. Agama, dalam hal ini organized religion, bukanlah sesuatu yang unidimensional dalam beberapa pengertian. Di dalam agama banyak terdapat dimensi-dimensi yang membuatnya mendapat predikat agama.
Dalam beberapa agama tradisional, saya melihat ada beberapa dimensi yang ada didalamnya. Dimensi ini adalah dimensi yang membuat agama tersebut dikatakan “sempurna” atau “lengkap”. Tetapi dimensi-dimensi ini juga yang justru membuat suatu agama menjadikan dirinya “terorganisasi” dan “terinstitusi”. Sebuah kata yang sering bermakna negatif.
Apakah dimensi-dimensi dari agama yang membuatnya menjadi “lengkap” ?
1. Spiritual
Apa definisi spiritualitas ? Kita bisa mutar-mutar tak tentu arah ketika menyederhanakannya dalam beberapa kata saja. Apa yang saya maksud dengan spiritualitas adalah asal kata dari spiritualitas itu sendiri, yaitu Spirit. Dengan kata spirit ini kita melangkah lebih jauh bahwa ada sesuatu yang transendental dan berhubungan dengan “dunia lain”.
Sesuatu yang transenden itu adalah sesuatu yang divine, suci, agung, kudus, maha, dan lain sebagainya. Itulah penggambaran kita tentang sesuatu diluar diri manusia yang menimbulkan mysterium tremendum et fascinosum (misteri yang menggetarkan dan mempesona). Sesuatu yang berhubungan dengan alam lain dari manusia yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengatasi eksistensi manusia, penyebab eksistensinya, dan terlebih lagi penyebab segala sesuatu, yang ada dalam dirinya sendiri, dan bisa diperlebar menjadi Maha Ada dan Maha Tidak Ada [dalam beberapa pemikiran filosofis tentang theisme dan atheisme].
Kita sering menyebutnya Tuhan [dan nama lain yang sering disematkan padaNya)
Inti dari spiritualitas adalah penyembahan, pemujaan, pengkultusan terhadap Tuhan. Dengan berbagai cara, kita menuju pada Dia dalam berbagai keterbatasan manusia. Penyatuan, pemujaan, kesadaran, dan segala macam bahasa manusia pada intinya menuju pada Tuhan. Agama memiliki dimensi ini, karena inti dari agama adalah Tuhan itu sendiri [dan ini yang mungkin sering dilupakan].
2. Dimensi Simbol dan Ritual
Agama juga mempunyai dimensi ritual atau dimensi pemujaan dan penyembahan. Sesuatu yang divine akhirnya dijabarkan dalam cara-cara tertentu agar kita menuju padaNya. Cara-cara penyembahan dan pemujaan ini dirumuskan dalam banyak cara.
Inti dari ritualitas adalah hubungan vertikal antara “aku dan Dia”. Ritual berguna untuk menjadikan Sang Dia hadir dalam diri manusia denga cara-cara yang telah ditetapkan. Ritualitas adalah sesuatu yang kita pakai untuk mencoba menjabarkan eksistensi Sang Maha dalam cara-cara manusiawi.
Agama penuh dan identik dengan ritual. Ritual-ritual itu adalah symbol and sign[2] bagi manusia untuk berhadapan dengan sesuatu yang transenden (Tuhan). Simbol dan sign (tanda) adalah sesuatu yang dipakai manusia untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu di luar dirinya. Bagi manusia, simbol punya banyak bentuk, bisa dalam bentuk bahasa, mitos, seni, dan bahkan ilmu pengetahuan.
Simbol dan sign inilah yang dipakai oleh manusia dalam berhubungan dengan Tuhan.
Menggunakan panji-panji tertentu, berdoa dan bersembahyang dengan cara tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya adalah wujud simbolisasi dari hubungan manusia-Tuhan.
Dimensi Spiritual dan Dimensi Ritual adalah dimensi yang bersifat vertikal. Dimensi ini menjembatani hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya. Arah dari dimensi itu lebih banyak keatas, pada oknum yang dipuja dan ditinggikan.
3. Dimensi Moral
Agama mengajarkan moralitas, yaitu suatu penuntun untuk bertingkah laku dan menjadi manusia yang berakhlak baik. Moralitas yang dijadikan pegangan agama adalah moralitas privat alias bagaimana menjadi seorang manusia yang baik. Ajaran tentang kasih, cinta, penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tingkah laku yang baik, dan lain-lain menjadi salah satu dimensi dalam agama.
Moralitas adalah salah satu “kebanggaan” dalam agama. Sehingga di berbagai pendapat, orang-orang yang tidak beragama (atheis) dikatakan tidak bermoral (immoral) dan sangat jauh dari kebaikan manusia. Suatu pendapat yang saya tolak dengan sangat keras.
Moralitas bukanlah hanya monopoli [kaum] beragama. Moral dan etika bersifat universal, dia melampaui segala macam ajaran, dengan kata lain moralitas dan etika adalah sesuatu yang dapat ditemukan dimana-mana dalam berbagai bidang.[3]
Ada perbedaan antara moralitas/etika dalam agama dan etika sebagai ilmu pengetahuan.[4]
Agama, ketika membicarakan moralitas/etika, lebih banyak berkotbah, berceramah, berdoktrin, dan berdogma. Moral dikotbahkan dan diajarkan sebagai suatu hal yang “langsung harus diterima” tanpa pengertian yang lain. Apa yang tertuang dalam kotbah dan dogma moralitas itu adalah apa yang terdapat dalam ajaran agama.
Etika sebagai ilmu ketika berbicara tentang moralitas/etika tidak sedang berkotbah. Tetapi sedang berargumentasi, beropini, berwacana, dan berdiskusi. Apa yang ditelaah sebagai suatu pegangan etis adalah apa yang terargumentasikan dengan baik dan melalui proses diskusi dan perkembangan yang sangat panjang. Perkembangan nilai-nilai moral adalah sesuatu yang berevolusi dalam kehidupan manusia melalui banyak pertimbangan dan penilaian.
4. Dimensi Sosial
Agama juga mempunyai dimensi sosial. Ketika agama berbicara tentang pengentasan kemiskinan dan perhatian terhadap kaum tak mampu, maka sebenarnya agama sedang memasuki konteks moralitas sosial. Berbeda dengan dimensi moral diatas, dimensi sosial adalah dimensi dalam agama yang menampilkan dirinya keluar sebagai pembelaan terhadap harkat dan martabat manusia secara sosial, sementara dimensi moral lebih bermakna pada moralitas pribadi.
Sisi sosial dari agama dapat dilihat pada beberapa konsep yang bersifat pemberdayaan, preventif ataupun kuratif. Misalnya saja konsep zakat dan infaq dalam agama Islam adalah dimensi sosial dalam agama. Pada agama yang lain juga begitu dengan konsep yang berbeda.
Dimensi Sosial dan Dimensi Moral adalah dimensi yang bersifat horizontal, artinya dimensi dalam agama ini mempunyai arah pada sesama manusia. Dimensi ini juga menghubungkan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungan disekelilingnya.
5. Dimensi Dogma
Dimensi dogma dalam agama adalah isi dari agama itu sendiri. Seluruh ajaran, doktrin, keimanan, dan segala macam konsep-konsep inti dalam agama masuk dalam dimensi dogma.
Konsep tentang keselamatan (soteriologi), konsep tentang kehidupan setelah mati (afterlife) konsep tentang neraka dan surga, konsep tentang pahala, dan segala macam ajaran-ajaran di dalam agama adalah contoh dari dimensi dogma dalam agama. Dimensi ini berkaitan dengan iman dan kepercayaan manusia.
Masih ada beberapa dimensi lain dari agama, seperti dimensi hukum dan dimensi ideologi/politik, yang tidak saya tulis disini. Tapi penjabaran diatas dapat memberikan arti bahwa agama adalah sesuatu yang multidimensional.
Dimensi-dimensi itu tidak berdiri sendiri. Semuanya mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan antara dimensi-dimensi itulah yang membuatnya mendapat predikat [organized] religion.
***************
Lalu Apa ?
Apakah sebenarnya esensi dari sebuah keberagamaan, khususnya pada organized traditional religion ?
Bagi saya, esensi dalam sebuah keberagamaan adalah pemahaman dan pelaksanaan akan dimensi-dimensi dalam agama yang disebutkan diatas. Ketika agama tampil di ruang publik[5], wajah yang ditampakkan bukan hanya satu dimensi saja, tetapi keseluruhan dimensi yang ada.
Tapi yang kelihatan sekarang sangat jauh berbeda. Agama yang tampil di ruang publik adalah agama yang kebanyakan hanya menampilkan dimensi ritualitas dan simbol belaka. Agama yang tampil kebanyakan berupa perlambangan dengan menggunakan panji-panji agama agar dapat dilihat bahwa itulah wajah sebenarnya agama.
Seringkali simbolitas itu berujung pada perusakan dan penampilan wajah agama yang beringas. Agama yang tidak toleran adalah agama yang dipahami hanya sebatas dimensi simbol dan ritual belaka. Inilah pemahaman unidimensional yang membuat agama lebih banyak mendapat cap jelek ketika tampil di ruang publik.
Itulah yang sering tampil di ruang publik sekarang ini : Dimensi Dogma dan Dimensi Simbol dalam agama. Simbolitas dan ritualitas bukanlah hal yang salah dalam agama, karena dalam simbol-simbol agama terdapat substansi agama itu sendiri. Tetapi yang patut dipahami bahwa simbol-simbol agama bukanlah keseluruhan agama, tetapi hanya satu bagian dari multidimensi agama.
Lalu pertanyaannya sangat gampang,
manakah yang lebih penting tampil di ruang publik, agama dalam bentuk moralitas atau agama dalam bentuk ritualitas ?
I don’t mean it…!!! Saya tidak membenturkan dua sisi substansi dan esensi dalam agama.
Tetapi menurut saya, wajah publik dari agama bukanlah wajah simbol dan ritual. Simbol dan ritual adalah hubungan vertikal antara kita-manusia dengan Tuhan. Itulah inti dari simbol dan ritual. Untuk apa seseorang berpuasa ? Untuk apa seseorang berdoa/shalat, untuk apa seseorang melakukan aturan-aturan dogma agama ? Dalam pengertian yang lebih luas, kesemuanya itu membentuk hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Simbol dan ritual itu bermakna sangat minimal terhadap hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Lalu untuk apa kita berbuat baik ? Untuk apa kita memberikan zakat/perpuluhan ? Untuk apa kita menolong orang lain yang kesusahan ? Untuk apa kita mengentaskan kemiskinan ? Dalam pengertian yang lebih luas, kesemuanya itu justru lebih banyak bermakna horizontal atau menjembatani hubungan antara manusia dengan sesamanya.
Inilah yang saya tekankan. Wajah agama di ruang publik adalah dimensi moral dan sosial. Ketika kita membuang sampah sembarangan dan merusak lingkungan, seperti itukah moralitas agama ? Ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas, seperti itukah moralitas agama ? Ketika kita menyuap dan menyogok, seperti itukah moralitas agama ?
Moralitas agama adalah suatu keharusan di ruang publik, bukan ritual dan simbol. Simbol dan ritual lebih banyak bermakna di ruang privat, ketika kita berhubungan dengan Tuhan. Sementara di ruang publik, dimensi moral adalah yang terpenting.
Solusi ?
Mari kita kembangkan pertanyaannya.
ketika kita melakukan aktivitas beragama [ritual-simbol-dogma], apakah relevansinya dan pengaruhnya terhadap moralitas [religius] kita ?
Jangan jawab tidak ada. Karena jika itu yang terjadi maka sesungguhnya kita hanya bermain-main dengan ritual dan dogma tanpa mengambil makna dibaliknya. Kita tidak mendapatkan substansi apa-apa selain badan yang capek karena melakukan ritual dan simbol itu.
Saya rasa semua setuju kalau semua ritual, simbol, dan dogma itu mempunyai makna dibaliknya. Tidak an sich. Berdoa/sholat, misalnya, pasti ada makna yang luar biasa dibaliknya. Salah satu makna dibalik aktivitas simbolik itu adalah moralitas itu sendiri alias membuat kita menjadi manusia yang baik.
Ada beberapa kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu.
- Agama memang tidak mempunyai peran di ruang publik.
- Absent-nya nilai-nilai moralitas agama dalam ruang publik.
- Nilai-nilai ritual dan simbol agama tidak menyerap kedalam moralitas agama.
Sekularisme adalah opsi minimal yang bisa kita terima. Tapi Indonesia [katanya] bukanlah negara sekuler dan juga bukan negara agama, tapi negara yang berlandaskan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Negara seperti ini adalah negara yang memberikan tempat bagi agama untuk hadir dalam ruang publik dengan cara-cara tertentu.
Benarkah agama tidak punya peran di ruang publik ? Coba kita lihat komentar manusiasuper yang “sudah mati” di postingan Pak Agor. Agama mempunyai peran di ruang publik, itu kenyataannya. Salah satu kenyataannya adalah banyak sekali peraturan-peraturan publik dilandaskan pada ajaran agama.
Jadi opsi ini bisa kita tinggalkan, khusus untuk Indonesia. ๐
Absent berarti tidak hadir.
Saya ambil contoh saja korupsi. Mengapa korupsi yang [salah satu] terbesar di dunia justru terjadi di negara (baca : Indonesia) yang mengklaim dirinya religius ? Sementara semua agama [yang saya kenal] mengharamkan korupsi. Apakah ada yang salah disitu ?
Kontradiksi ? Perbandingan antara tingkat religiusitas dan tingkat korupsi bukanlah suatu perbandingan korelatif atau sebab akibat. Salah satu penelitian yang saya baca mengatakan bahwa tingginya tingkat religiusitas berbanding lurus dengan tingkah laku yang baik. Tapi mengapa tingkah laku yang tidak baik (korupsi) justru terjadi dalam negara yang katanya “religius ” ?
Hal ini bisa berarti bahwa religiusitas yang dimaksud bukanlah moralitas religius (agama). Jika tingkat religiusitas tinggi sementara tingkah laku yang baik justru rendah, berarti moralitas religius tidaklah dianggap menjadi bagian dari religiusitas.
Hah… ??? Kalau begitu kesimpulannya, religius tidak sama dengan moralitas religius (agama) ? Jadi kemana moralitas agama yang menjadi salah satu dimensi agama ?
Hilang ? Absent ? Kabur ? Terbang ? Melayang-layang ?
Opsi ketiga inilah bisa jadi adalah opsi yang terjadi ketika agama dipahami hanya sebatas kulit alias hanya simbol tanpa mencari substansi dibaliknya.
Semua ritual, simbol, dan dogma dalam agama mempunyai sisi moralitas. Ada nilai-nilai yang dapat dijadikan ukuran keadaban manusia. Ketika agama hanya sebatas simbol, maka adalah suatu hal yang logis ketika moralitas tidak mendapat tempat disampingnya.
Kesimpulan yang parah adalah : “Yang penting melakukan ritual/simbol agama, sementara menjadi manusia yang baik (moralitas) tidaklah sesuatu yang penting”.
Ouch….. akan kemana perginya moralitas dalam agama. Mungkin skeptisisme Dawkins terhadap peran agama dalam evolusi moral menjadi sebuah kenyataan. Atau memang sebuah kenyataan ?
Pribadi ?
Jadi apa jawaban kaum beragama terhadap kritik kaum penganjur moralitas agama di ruang publik ?
Jangan dijawab dengan sikap paranoid. Kritik itu sangat relevan melihat sepak terjang agama yang, menurut saya, sangat dahsyat. Kritik itu juga sangat tepat sasaran ketika agama kelihatannya hanya dipahami sebagai ritual dan simbol belaka. Kritik itu juga sangat valid ketika ukuran keadaban suatu masyarakat dapat dinilai dari meresapnya nilai-nilai moralitas agama dalam kehidupan keseharian manusia beragama.
Mungkin tulisan ini tidak memberikan solusi. Solusinya ada dalam [pemahaman] akan agama itu sendiri. Wajah agama seperti apa yang ingin kita tampilkan di ruang publik, apakah wajah dimensi moralitas ataukah hanya sekedar ritual dan simbol. Itul juga bisa menentukan persepsi terhadap agama.
****************
catatan iseng :
[waham kebesaran ON]
Saya mungkin setelah ini akan mengembangkan sebuah agama baru dan kitab suci baru. Agama baru itu akan menempatkan moralitas pada kursi teratas ajaran agama. Ritual dan simbol bisa dengan cara apa saja. Tuhan yang disembah bisa Tuhan apa saja menurut pemahaman anda.
Dogma yang terpenting dan terutama adalah moral. Tidak ada ajaran lain selain itu. Tidak ada surga dan neraka. Tidak ada aturan-aturan yang memberatkan. Tidak ada ibadah. Tidak ada larangan-larangan non-moralitas. Tidak ada yang lain-lain. Bebas sepanjang mengikuti pegangan moral.
Dan agama baru itu saya beri nama :
Agama FertobMoral
Dan saya akan menjadi nabi satu-satunya. Nabi yang pertama dan sekaligus yang terakhir. Dan anda-anda sekalian adalah pengikut saya yang setia. Selamat datang di agama baru, pendukung moralitas baru.
Jika anda ingin bergabung, hubungi saya di 08178***** mana saja. Marilah bergabung membangun moralitas baru.
[waham kebesaran OFF]
catatan serius :
[1] Tuhan sering digambarkan dengan sifat-sifat manusia. Marah, sedih, gusar, murka, dan lain sebagainya adalah salah satu bentuk antropomorfosa.
[2] Ernst Cassirrer dalam 2 bukunya : Philosophy of Symbolic Forms dan An Essay on Man.
[3] Dalam komentar saya disini dan disini, saya menuliskan bahwa moralitas berevolusi seperti evolusi biologis Darwin, dengan mengandaikan agama sebagai salah satu ranting (sumber) moralitas di dunia ini. Evolusi moral menurut saya adalah sesuatu yang kontinyu, sesuai dengan jaman, dan non-comparable.
[4] Kees Bertens, Etika (1997). Lihat juga tulisan St.Sularso disini
[5] Ruang Publik (public sphere) adalah istilah yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Jurgen Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere. Intinya ruang publik adalah suatu ruang/arena dimana setiap warga negara melemparkan opini mereka secara diskursif dengan bebas. Saya juga pernah menuliskannya sekilas di Wajah Tukul dan Pantat Inul.
catatan paling serius :
Tembusan : yang terkena trekbek. jika ada yang ingin kena trekbek sehubungan tulisannya yang serupa, dipersilakan untuk menuliskannya.
……….?????????…………
Ada yang bilang kalo spiritualitas itu merupakan spirit of ritual, jadi yang menjiwait ritual-ritual itu agar tidak hanya sekedar ritual.
*nyicil 1 komen dulu*
Yang ingin saya tambahkan mengenai dikotomi spiritualdan ritual.
Hem… jujur nih bang, bahwa saya juga tidak akan bisa mencapai spirit itu tanpa ritual.
Dan masalahnya terletak pada bahwa saya memandang apa yang di sebut ritual itu sudah berbeda dengan umum, sehingga kadang di tuduh sudah tidak melakukan ritual lagi.
Misalnya apa itu sholat, apa itu naik haji, apa itu berdoa, apa itu gereja, apa itu mesjid, ternyata saya mempunyai pengertian yang berbeda akan itu semua.
Dan jika karena itu saya di tuduh tidak melakukan ritual lagi, ya silahkan aja toh saya tetap melakukan ritual kok. Hanya saja dengan cara yang sudah berbeda, sebagai akibat pemaknaan baru terhadap ritual itu. ๐
Oh iya bang, mengenai agama barunya kenapa moralitas? Kenapa nggak kemanusiaan aja?
*numpang hetrik*
Quote: “manakah yang lebih penting tampil di ruang publik, agama dalam bentuk moralitas atau agama dalam bentuk ritualitas ?”
Saya rasa, Fer, semua orang yang percaya pada agama (note: kata “semua” di sini mengacu pada orang2 seperti saya, maupun counterpart saya yang suka sweeping itu ;)), akan menjawab bahwa: yang PALING PENTING tampil di ruang publik adalah agama dalam bentuk MORALITAS.
Yang menjadi masalah: tidak semua orang (note: sekali lagi kata “semua” di sini mengacu pada orang2 seperti saya, maupun counterpart saya yang suka sweeping itu ;)) memiliki definisi yang sama tentang moralitas ๐
Moralitas, pernah saya tulis di sebagai “patokan berperilaku yang benar”. Dan sebagian orang menterjemahkan bahwa “yang benar” identik dengan “melakukan ritual” ๐
*entar kalo gw udah baca lebih detil, gw mungkin punya komentar baru. Sejauh ini.. gw lagi puyeng.. HAHAHAHA.. *
lama2 saya jadi suka mengucapkan sesuatu yang mirip dengan yang sering diucapkan Mas Geddoe: “Mau nyembah setan sekalipun silakan asal ndak ngisruh!”
Sorry, diulang dengan tag HTML yang benar:
Quote: “manakah yang lebih penting tampil di ruang publik, agama dalam bentuk moralitas atau agama dalam bentuk ritualitas ?”
Saya rasa, Fer, semua orang yang percaya pada agama (note: kata “semua” di sini mengacu pada orang2 seperti saya, maupun counterpart saya yang suka sweeping itu ;)), akan menjawab bahwa: yang PALING PENTING tampil di ruang publik adalah agama dalam bentuk MORALITAS.
Yang menjadi masalah: tidak semua orang (note: sekali lagi kata “semua” di sini mengacu pada orang2 seperti saya, maupun counterpart saya yang suka sweeping itu ;)) memiliki definisi yang sama tentang moralitas ๐
Moralitas, pernah saya tulis di sebagai “patokan berperilaku yang benar”. Dan sebagian orang menterjemahkan bahwa “yang benar” identik dengan “melakukan ritual” ๐
*entar kalo gw udah baca lebih detil, gw mungkin punya komentar baru. Sejauh ini.. gw lagi puyeng.. HAHAHAHA.. *
Jadi ikutan kebiasaan Jurig, ngeprint entri blog orang. Ngga sanggup baca abis di monitor, karena kelelahan fisik, juga kelemahan intelektualitas.
3 hari kemudian…..
bahwa saya adalah seorang yang sinis terhadap agama
yang ngga sinis sama agama berarti relatif ngga menggunakan otaknya. sebagaimana dia “mencintai” tuhannya dengan cinta buta, begitu juga dia menggenggam agamanya dengan fanatisme tuli.
yang terbaik mungkin seperti anda, tidak lari dari realitas betapa agama sebenarnya sudah gagal, tetapi toh masih menyimpan harapan… opening yang sangat menggugah ini membuatku bertekad membaca habis posting mahapanjang ini. ๐
tentang sesuatu di luar diri manusia yang menimbulkan mysterium tremendum et fascinosum
inilah saja yang membuatku tak berani menjadi benar-benar atheis, walau secara rasio kadang kurasa memang ngga ada tempat untuk dia, di manapun.
Ritual berguna untuk menjadikan Sang Dia hadir dalam diri manusia denga cara-cara yang telah ditetapkan
kurasa bukan sekadar agar dia hadir, karena kalau dia memang ada dan sebesar itu, dia pasti akan selalu hadir,
tetapi bagaimana kehadiran itu bisa punya efek moralitas yang efektif. tuhan toh tak butuh sembah, puja-puji, atau hal-hal lain yang dibutuhkan bos kita di kantor.
orang-orang yang tidak beragama (atheis) dikatakan tidak bermoral (immoral) dan sangat jauh dari kebaikan manusia
saya juga menolak ini, sekeras anda. justru karena agama tidak menyumbangkan sesuatu yang signifikan dalam moralitaslah, membuatnya tak punya nilai jual bagi yang punya otak.
Ketika agama berbicara tentang pengentasan kemiskinan dan perhatian terhadap kaum tak mampu…
di tahap ini dia makin rusak! negara-negara yang punya “identitas” agama yang jelas, malah umumnya korup, kaum tertindasnya malah makin mengenaskan. negara arab makmur, bukan karena pengelolaan yang baik, tp minyaknya luar biasa melimpah.
Dimensi dogma dalam agama adalah isi dari agama itu sendiri.
justru ini yang mengemuka, padahal tak ada manfaatnya. ketika pedagang miskin digusur bak binatang oleh trantib, agama diam. tetapi kalau ada simbol-simbol agama “dilecehkan”, dia ngamuk.
anda juga menyampaikan itu dengan sangat baik:
Agama yang tampil di ruang publik adalah agama yang kebanyakan hanya menampilkan dimensi ritualitas dan simbol belaka. …. menurut saya, wajah publik dari agama bukanlah wajah simbol dan ritual
paparan selanjutnya benar2 ngga bisa dikomentari. terlalu pas untuk ditambah-tambahi si lemot kayak saya. :))
dan catatan ini: Tuhan sering digambarkan dengan sifat-sifat manusia. Marah, sedih, gusar, murka, dan lain sebagainya adalah salah satu bentuk antropomorfosa.
aristoteles malah bilang bukan digambarkan, tetapi diciptakan.
Men create gods after their own image, not only with regard to their form but with regard to their mode of life.
Wuih, posting yang panjang, tapi layak dibaca sampai habis, beberapa kali. Maaf, komennya bertele-tele.. ๐ I’m just too excited.
wassalamu ‘alaikum.
::Bang Fertob, apa yang terfahamkan pada saya, bahwa :
1. Untuk sebutan masyarakat religi, adalah suatu bentuk membangun keadaan agar menjadi lebih baik, bisa jadi ini memang sebuah referensi dari suatu yang sangat tahu atas keadaan-keadaan, dapat kita bayangkan seorang anak yang bandel, namun tiap hari disebutkan namanya dengan anak baik, anak soleh…, entah seberapa lama dia mungkin muak, namun efek yang terjadi adalah perputaran sudut.
penyebutan negara kearah yang berasaskan religi (menurutku bahasa ini tidak sekedar berpengertian agama yg biasa dikenal), merupakan suatu pilot project…sebab negara kita memang mempunyai penganut agama yang multi kompleks…mungkin bisa jadi ini juga yang terjadi pada jazirah arab dahuuuuluuuu, namun mungkin disini sekarang ini tak lagi separah itu… kalaupun ukuran kita parah…namanya juga ukuran kita… ๐
2. Jika terperhatikan apa-apa yang terjadi, dikaitkan dengan segala yang ada adalah ciptaanNYA yg tidak sia-sia, maka Tuhan bekerja dengan suatu system, sebab tidak ada yang terlepas antar kaitan, kayak ayam yang terkurung dalam lalu lintas yang berjalan cepat, mau kemanapun dia begerak pasti kena…, jika kita perhatikan mungkin paling mudah adalah kejadian-kejadian yang bersenggolan dengan diri kita…
mengapa system itu harus bekerja…:
jika kita perhatikan, minimal ada tiga kelompok sadis yang ada pada diri kita…
– marah…, ini adalah efek dari suatu hal, jika terpancing maka akan ada pembakaran lebih dari dirinya, maka darahpun menggelegak, ada yg seperti air aksa yang dengan cepat mengalir kekepala, ujung efek ini akan membangun lemahnya keadaan diri, efek menyesal dll, ini pula yang paling sering dipancing untuk keluar… bah kayak ikan aja…
– senang keindahan, pujian, kekayaan, daya tarik.., ini juga yang paling sering dipancing keluar, agar juga melemahkan, sebab hukum baharu terjadi, efeknya juga melemahkan..sebab akan terjadi juga dimensi perputaran terbalik…
– kesenangan akan kenyamanan, rasa enak, kenyang…ini juga menjadi target untuk keluar, dan efeknya juga melemahkan…
dari ketiga ini, akan baik disadari, ataupun tidak akan terjadi, apakah cepat atau lambat, pergeseran-pergeseran moral kearah yang lebih baik, dan jika kita ikuti jejak maka kita menemukannya…, waktu aku di Medan dulu Bang, ada yang ukenal dengan nama Bang Ucok Majestic, Bang Tong, bah pernah kujual nama ini waktu aku ditodong orang disebelah Hotel Danau Toba, maak langsung aku dipeluknya bah…, pisunya yang banyak kali dibalik sadle sepeda motornya langsung ditutupnya…, sekarang bisa abang lihat kayak apa abag-abang itu…, ada lagi Alm, Bang Syamsul Samak, dulu masih pake Honda CB 100, rumahnyapun di Jl. Timor, Komandan Marhaen, memang sampai meninggalnyapun masih jadi sekretaris IPK, tapi Bang, kesangaran diluar itu ada juga moral rohaninya, masalah %tasenya bukan kitalah yg ukur…
3. Pandanganku kita semua ini, ada dalam segala aktivitas, tingkah laku, jika mengambil manfaat kayak orang panjat pinang, ada yang menjadi tangga, ada yang melesak menemui hadiahnya…tapi semua kebagian…, bukankah begitu waktu nyetak kita Bang….
Bah.. udah panjang kali rupanya…sorrylah Bang…keenakan…inikan warna ketiga….
Waah, rumit buanget assessingnya, saya gak ikut-ikutan komentar panjang, cuapek. Mungkin sekedar resumenya aja lah.
Pada intinya, agama terdiri dari tiga dimensi; aqidah, ( Tauhid) lalu kedalam bentuk ritualitas, (Fiqih) dan sempurna menjadi moralitas, (Ihsan / Akhlakul karimah/prilaku yang benar). Kita tidak bisa hanya menganut agama dari satu atau dua dimensi saja, tapi harus utuh tiga dimensi, baru dikatakan beragama. Karena kalau kita hanya menganut satu dimensi saja akan pincang / tidak ada pengaruhnya terhadap moralitas. Makanya buanyak orang cendikiawan agama tapi pelanggarannya pemecah rekor tertinggi.
Saya sebagai orang awam berpendapat (kalau boleh) bahwa :
1 – ” Tuhan tidak akan memberikan hidayah/petunjuk kepada umatNya kalau umat itu belum lurus Tauhidnya (masih mempercayai ada kekuatan lain selain kekuatan Allah)”
2 – ” Walaupun umat itu lurus aqidahnya, tapi dalam ubudiyahnya (ritualitas) tidak sesuai dengan tuntunan qur’an dan hadis(fiqih), dia tetap tidak akan mendapat petunjuk”.
3 – “Walaupun umat itu lurus aqidahnya, ritualnya sesuai dengan tuntunan qur’an dan hadis(fiqih), tapi moralitasnya kaya jurig jarian(genderuwo), tetap tidak akan mendapat petunjuk. Sedangkankan moralitas/akhlakul karimah/prilaku yang benar itu sendiri bisa eksist atas dorongan tauhid yang lurus, hati yang bersih (sembuh dari penyakit hasud,dengki, ujub ,riya,takabur, dendam kesumat dsb) dan ketaatan dalam ritualitas.
Nah, jadi walaupun intelektualnya tinggi,dalil hadis – qur’an diluar kepala, tapi sebenarnya dia belum dewasa. Orang yang belum dewasa itu kaya apa sih? Lihat aja sendiri.
Dari segi umur oke mungkin dia sudah dewasa, intelegensianya dewasa punya gelar sarjana (S1,S2,S3,S campur), sosialnya belum dewasa, aqidahnya masih remaja, fiqihnya masih tahap pubertas, bagaimana bisa moralitas eksist di ruang publik?
::pak engkus, jika selengkap itu baru ada jalan, apa yang terjadi dengan para nabi, apakan Nabi Muhammad, sudah selengkap itu pengetahuan Alqur’annya, fiqihnya, dll, baru Beliau jadi nabi, lalu apa yang terjadi pada Umar Bin Khatab, ini kan Kepala Preman Padang Pasir, mengapa Beliau yang menangis mendengar surat Toha dibacakan, padahal Fatimah yang membaca tidak menangis… , Allah Itu Maha Dekat, padanya segala Qadar, dan Maha cepat penilaianNYA…tidakkah seorang Muhammad SAW, ditegur Allah lantaran seorang wanita p yang hendak bertobat, bukankah untuk bertobat ini, memerlukan Kebaikan Allah…
kalau saya menyarankan kediri saya, lihatlah Yang Dekat itu, karena DIA Maha Membentuk, apa saja…sampai gerak yg ada pada kita…jika menatap yang jauh lebih banyak kebohongan yang terjadi, lihatlah gunung dari jauh, apa warnanya, coba lihat lebih dekat apa warnanya…lihat laut dari jauh apa warnanya, ambil setangguk dari tiap-tiap kedalaman laut apa warnanya….bukankah Allah jadikan segala sesuatu itu perumpamaan…
Hehehe, sebenarnya menarik untuk kemudian bertanya; apakah agama itu sendiri dianggap mempunyai tendensi untuk menempatkan moralitas di atas sisi ritual? Menurut saya fungsi kepercayaan dalam kehidupan adalah untuk dieksploitasi dalam menuju enlightenment; tidak ada sangkut pautnya dengan misi egois untuk mencapat keselamatan, atau pun membujuk Tuhan untuk tidak menjebloskan kita ke dalam neraka. ๐
Jadi, bagaimana kalau agama itu sendiri memang dianggap memiliki tendensi untuk menempatkan aktivitas sembah menyembah (yang seringkali diartikan sebagai sesuatu yang bersifat simbolik) di *atas* moralitas? Ini yang menarik. Orang-orang yang saya tanyai selalu bersikeras bahwa ritualisme itu lebih penting. Contohnya;
“Kalau seseorang itu bersifat baik, namun tidak menjalankan ritual, tidak shalat, puasa, (atau ke gereja, dan bahkan tidak dibaptis dan membaptiskan anaknya) apakah akan dihukum?”
Kebanyakan jawaban adalah ya.
“Kalau seseorang taat beribadah tapi korupsi dan bernepotisme, apakah akan dihukum?”
Kebanyakan menjawab bahwa mereka akan tetap masuk surga, dengan dalih bahwa akan dihukum sementara.
Kesimpulan saya adalah, selama masyarakat belum bisa menganggap bahwa seorang atheis yang berbudi lebih pantas masuk surga daripada klerik yang korup, agama akan terus dikritik dan dikritik. ๐
Yaaaa ammmmpyuuunnn….
Panjang beneeerr..
Sayah absen dolo ajah. Mbacanya tak sambi-sambi ndak papa kan…???
Saya jadi tiba-tiba punya pertanyaan bang, kalau menurut sampeyan…. sebenarnya agama itu apa sih?
maksudnya agama itu benda ataukah sesuatu yang lain? dan bisakah agama itu dimiliki?
@ mardun
Bisa.
Bikin saja ormas dengan label agama. Daftarkan ke lembaga yang ada. Maka agama pun jadi memiliki copyright…
*isep rokok*
Inti yg hendak disampaikan dari postingan mas fertob kali ini kan berawal dari masalah moral, katakanlah moral anak bangsa di negeri ini yang … ๐ฆ , padahal “kebejatan” moral tersebut adalah MUSUH kita BERSAMA.
Kenapa moral gagal mengawal [target] kebaikan bersama di ruang publik ? Ada beberapa gagasan dalam menjawabnya :
[1] [Ada yg bilang ] Karena dosa-dosa agama, dengan pemahaman dan pengalaman tertentu penganut ini mengira bahwa agamalah yg menyebabkan rasionalitas manusia tereliminir, agama penyebab konflik, dsbnya. Penganut yg lebih lunak dari aliran ini menyatakan bukan karena agama, tapi karena ummat-nya.
[2] [Ada juga yg bilang] Karena ummat telah meninggalkan agamanya. Prinsip2 agama baik secara ritual maupun substansial telah ditinggalkan oleh penganutnya.
[3] [Ada lagi yg bilang] Karena implementasi nilai2 moral kita gagal dikawal di ruang publik. Maksudnya dikawal adalah keberadaan aturan dan hukuman yg tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penganut ini meyakini bahwa utk mau melakukan kebaikan moral, maka kbanyakan manusia harus dipaksa, dan pemaksanya adalah : aturan/hukuman dari negara atau adat. Negara2 maju kelihatan berhasil menggunakan sistem ini, lalu, sebagian agamawan menginspirasi kekuatan sistem ini, dan mencoba menggunakan agama sebagai pemaksanya (misal : isu penerapan syariah atas negara).
Saya tidak setuju kalo dikatakan agama turut berdosa dalam menjerumuskan moral anak bangsa. Jadi kalo dengan alasan rendahnya moral anak bangsa [ummat] maka agama hendak didiskualifikasi, kita harus tahan diri.
Apakah bangsa ini [ummat] telah benar2 mengamalkan apa yg diinginkan agamanya ? Apakah kbanyakan bangsa ini pada umumnya telah mengerti tentang apa yg diinginkan agama untuknya ? Saya jawab : tidak, kbanyakan kita justru tidak [atau tepatnya belum] mengerti tentang agamanya sendiri. Lalu bagaimana agama hendak dipersalahkan ?
Dalam hal ini, unsur pemaksa agar terjaganya “moralitas” publik, itu yg perlu dikuatkan. Kbanyakan manusia perlu dipaksa dulu tentang apa manfaatnya kebaikan bagi dia dan orang banyak. Ada sih orang2 tertentu yg tidak butuh pemaksa ini sudah bisa [konsistensi] utk berbuat baik. Yang tidak perlu pemaksa umumnya menggunakan jalur rasional dan spritual. Tapi, manusia seperti ini, bukanlah manusia2 kbanyakan.
Itu dulu, ntar bisa jadi ada tambahan.
BTW, tembusannya dah saya terima. Makasih ya mas fertob… ๐
gile panjangnya, ngabsen dulu bang sampe ujian cognitive ye ๐
hmmm.. bener-
bener panjanggggg
ampe males mbacanya
coba di baut berseri aja, pasti bisa kebaca dech ๐
Kyaiยฒ saya mengajari mirip sampean.. tapi entah bagaimana merekapun tidak mengharuskan kami taat sekali… jadi agama bagi kalangan kami adalah alami itu sendiri. alam itu sendiri. inilah alam kami… kami pun mengajarkan pluralitas dan menghargai siapapun… lihatlah pesantren ademยฒ saja meski perjuangan dalam hal moralitas tidak kecil… so, njlimetยฒ sekali dalam agama mau apaa sih… heheh ๐ salam kenal manis sekali artikel ini.. (kaya gula)
intinya, paling enak hidup dibawah wahyu…. bukan di bawah rasionalitas.. puyeng mas kalau dirasionalยฒkan… maap refleksi wing ndeso mas.. ๐
@ All :
Ketika saya tadi melakukan searching di google dengan keyword moralitas publik, saya mendapatkan bahwa tulisan saya ini mirip dengan tulisan di sini yang mengarahkan saya pada tulisan Masdar Hilmy di Kompas.
Tulisan kami sangat mirip, tetapi saya tidak mencontek/menjiplak tulisan beliau. Masdar Hilmy dalam tulisan itu terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran (Alm) Dr. Nurcholish Madjid yang kritik-kritiknya terhadap agama berbau esensialis. Tulisan saya diatas juga terinspirasi oleh pemikiran Cak Nur yang lebih menekankan moralitas dalam agama. Ada beberapa tulisan Cak Nur yang saya pakai sebagai sumber tulisan tetapi tidak dicantumkan, karena saya mengambil intisari pemikirannya, dan bukan mengutip.
Selain itu saya menggunakan pendekatan yang berbeda dengan Masdar Hilmy dlm tulisannya. Saya membandingkan antara moralitas dlm agama dengan ritualitas/simbolitas dalam agama, sementara Masdar Hilmy lebih menekankan pada kritik kaum esensialis dan kualitas keadaban dan kemajuan peradaban umat beragama. Kritiknya sama tetapi pendekatannya berbeda.
Terima kasih…. ๐
@ danalingga-1 :
boleh saja mas dana. spiritualitas biasanya memang disandingkan dengan ritualitas dimana ritualnya terjiwai oleh spirit.
tetapi saya lebih menekankan pada arti kata Spirit itu sendiri.
*nyicil 1 komen juga* ๐
@ danalingga-2 :
Memang sangat sulit untuk mencapai spirit tanpa adanya ritual. Ritual diperlukan karena dia adalah perlambangan manusia atau “bahasa” yang ditampilkan oleh manusia untuk menuju pada suatu spirit tertentu. Dan simbol ini bisa bermacam-macam bentuknya.
Kalau pengertian yang berbeda terhadap ritual, berarti mas dana sama dengan saya. Saya memaknai kembali ritual-ritual itu. Mengapa ? Karena ritual dijalankan secara subyektif, dan merupakan hubungan privat antara saya dengan Tuhan, jadi saya memaknai ritual itu menurut cara saya sendiri.
@ danalingga-hetrik : ๐
lho, kan itu dengan menggunakan waham kebesaran (delusi superman/megaloman) yang saya punya…
kalau tanpa waham, bisa jadi saya pakai nama yang lebih keren lagi. ada usul ?
*dipersilakan hetrik*
@ Mbak Maya :
Betul….. saya juga merasakan hal yang sama. Sepertinya semua setuju kalau moralitas religius yang seharusnya tampil di ruang publik.
Masalahnya memang bisa seperti itu :
1. Definisi tentang moralitas yang berbeda pada setiap orang. Dalam hal ini moralitas bisa dipersepsikan berbeda oleh setiap kepala.
2. Menjalankan ritual yang benar dianggap sama dengan moralitas. Ini berarti ritual = moral.
Kalau soal definisi, definisinya mbak Maya itu sudah lebih dari cukup : patokan untuk berperilaku yang benar. Intinya memang perilaku, baik ke dalam diri sendiri maupun ketika ditampilkan ke ruang publik.
Masalah ritual = moral itu yang menurut saya kebablasan. Ritual, sepanjang hanya sebuah simbol dan aktivitas, hanya mempunyai fungsi vertikal, ke arah Tuhan. Agama yang dilaksanakan hanya sebatas ritual adalah agama dengan satu dimensi, yaitu menuju Tuhan, dan tidak mempunyai makna yang lain.
MAKNA dibalik Ritual itulah yang bisa dihubungkan dengan moralitas. Makna sebuah ritual adalah penjelasan dan pemahaman lebih lanjut tentang sebuah aktivitas ritual yang penuh dengan simbol. Kalau kata Mas Herianto, dibalik sebuah simbol selalu terdapat substansi. Simbol hanya tetap sebatas simbol kalau kita tidak mengambil makna (substansi) dibalik simbol itu. Itulah hal yang terpenting dari sebuah ritual dan simbol : Mengambil makna dan substansi dibaliknya.
Dan makna itulah yang seharusnya ditampilkan di ruang publik dan bukan simbol sebatas simbol belaka. Kalau yang terakhir yang terjadi, agama bisa menampilkan wajah yang garang dan beringas.
@ Shelling Ford a.k.a Joe :
hehehehe….. saya setuju. tapi itu counterargument ketika agama justru menampilkan wajah yang seperti setan di ruang publik dan bukan wajah damai. jadi kalau menyembah setan tapi berbuat baik, apa justru bukan ini yang benar ? ๐
@ Bang Toga :
sepertinya tulisan ini belum berumur 3 hari bang… ๐ atau bang Toga punya “waktu” tersendiri ya ?
hehehe… saya nggak pernah lari dari kenyataan bang. Kalau menurut saya, agama tidak gagal tetapi agama dipahami dan ditampilkan berbeda dengan apa yang ada dalam agama itu sendiri. Tampilan wajah agama yang “lain” inilah yang membuat agama sering mendapat kritik dan celaan, khususnya tentang moralitas agama yang seharusnya dominan di ruang publik.
betul bang, Tuhan tidak bisa dipahami dengan akal dan rasio manusia. misteri yang menggetarkan dan mempesona itulah yang membuat manusia memahami ada sesuatu di luar dirinya yang sangat dahsyat. tapi atheisme juga sebuah pilihan bebas manusia, dan saya tidak pernah menyalahkannya. Atheisme menurut saya hanyalah salah satu bentuk kepercayaan [atau salah satu bentuk ketidakpercayaan].
Secara fisik memang benar, karena Dia Maha Hadir. Tetapi kata “hadir” itu adalah “hadir dalam pengertian dan pemahaman terbatas manusia”. Asumsinya, ritual adalah cara manusia menghadirkan Tuhan kedalam pemahaman kepercayaannya, dan bukan menghadirkan Tuhan secara fisik.
Agama punya kontribusi bang. Dalam sejarah manusia, agama bisa dihubungkan dengan perkembangan peradaban manusia yang berhubungan dengan perkembangan nilai-nilai dan norma-norma luhur manusia. Tetapi kontribusi agama juga ada pada proses perusakan peradaban melalui (sebagai contoh) perang dan kebencian berlandaskan agama.
Memang sangat kontras, disatu sisi mempunyai kebaikan tapi disisi yang lain menyumbang kerusakan. Dan para kritikus kontemporer agama (Dawkins, Hitchens, dkk) justru melihat dari sisi “kerusakan” yang ditimbulkan agama dan kemudian melancarkan kritiknya.
Ada yang saya lupa. Negara-negara Eropa (khususnya yang terkena imbas Gerakan Reformasi Protestan) mendasarkan etos kerja pemerintahan dan rakyatnya pada etika Kekristenan. Jerman, Swiss, dan Austria bisa dijadikan contoh. Bukunya Johannes Calvin : Etika Kristen, adalah salah satu yang melandasi negara-negara itu membangun negaranya berdasarkan etika agama [Kristen].
Tapi yang diambil adalah etika-nya alias moralitas agama itu. Dan bukan ritualitas dan simbolitas yang berujung pada pembentukan negara agama. Etos kerja keagamaan yang dirumuskan dan dipakai dalam membangun negara. Itulah yang menurut saya penting dari agama : bagaimana etika/moralitas religius menyumbangkan sesuatu yang positif terhadap perkembangan negara.
hehehehe….. itu karena penggusuran tidak menyentuh sisi sosial dan moral dari agama dan bukan dianggap identitas keagamaan, tetapi ketika simbol agama dilecehkan, itu langsung dianggap pelecehan terhadap agama. Simbol, ritual, sosial, dan moral pada agama itu seperti bagian yang [seharusnya] tidak terpisahkan dari manusia.
Asumsinya begini bang, Tuhan itu sangat susah dipahami. Tetapi manusia “menyederhanakanNya” dalam bentuk-bentuk simbol kesesuaian sifat dengan manusia termasuk emosi (marah, sedih, dll). Antropomorfosa ini sangat wajar dan salah satu cara manusia memahami sesuatu yang diluar jangkauannya.
Antropomorfosa itu berangkat juga dari “dogma” bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki roh Tuhan dan dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhan-an. Bukankah ada ajaran bahwa manusia dibentuk dari tanah liat dan dihembuskan roh Tuhan kedalamnya ? Ini berimplikasi bahwa sifat-sifat manusia secara tidak langsung dapat menggambarkan sifat-sifat Tuhan, walaupun kita tidak tahu pasti sifat yang mana.
Salam Damai juga bang Toga…. ๐
@ zal :
Bisa jadi seperti itu.
Tapi apa yang saya tulis tentang negara yang [katanya] religius adalah asumsi umum yang dikenal luas di Indonesia. Mungkin ukurannya karena (1) mempunyai agama, (2) identitas nasional atau (3) penetrasi agama ke dalam ruang kehidupan warga negaranya. Atau mungkin lain sebab.
Saya tidak terlalu memahami tentang pengertian negara yang religius. Bagi saya itu adalah asumsi umum dan penampakan luar saja (makanya saya cuma menuliskannya saja dan tanpa penjelasan lanjutan)
Saya kurang mengerti dengan point ke-2 ini. Bisa dengan bahasa yang lebih “enak” ๐
Maklum sudah tua….
hohohoho… analogi yang bagus.
@ engkus :
Betul, kalau disederhanakan bisa seperti itu. Tapi saya mengambilnya dari buku/jurnal tentang psikologi agama yang ditulis oleh MacDonald & MacDonald (maaf saya tidak mendapatkan linknya). Intinya mereka membahas tentang agama dan spiritualitas dari sudut pandang psikologi agama.
Apa yang Pak Engkus sebutkan itu memang benar. Dalam etika, ada yang disebut morality intellectualism. Pengetahuan tentang mana yang baik/buruk dan mana yang salah/benar, tidak menjamin bahwa si individu bisa menampilkan perilaku yang bermoral/beretika. Moralitas adalah untuk dilaksanakan, dan bukan hanya untuk diketahui dan dipelajari belaka. Tetapi dalam etika sbg ilmu pengetahuan, nilai-nilai etis suatu perbuatan adalah hal yang terargumentasi dan diopinikan, jadi tidak asal terima (kotbah) saja.
@ Geddoe :
Tidak Kopral…!!! ๐
Kalau agama justru menempatkan moral diatas yang lain (seperti waham kebesaran saya diatas), kritik terhadap agama justru akan sebaliknya. Multidimensi agama tidak menempatkan salah satu dimensi diatas dimensi yang lain. DImensi-dimensi itu adalah hal-hal yang berbeda tetapi ada dalam agama.
Tampilan wajah agama di ruang publik-lah yang harus disikapi berbeda. Bukan sekedar ritual, tetapi wajah moral agama. Sementara antara ritual dan moral tidak ada istilah penjajahan satu sama lain atau tirani mayoritas… ๐
Fungsi kepercayaan dalam beberapa bentuk memang adalah memberikan enlightment. Ini juga pernah saya tulis dulu (lupa dimana). Dan mengutip tulisan Ahmad Syafii Maarif di resonansi Republika, apa yang dicari manusia dalam keberagamaannya adalah keridhoan Tuhan. Mengenai surga dan neraka yang jadi tujuan, itu adalah hak prerogratif Tuhan belaka. Tidak ada yang bisa mengklaimnya selain Tuhan sendiri.
Tapi bukankah agama mengajarkan “keselamatan akhirat” ? Jadi Sang Kopral Geddoe nggak mau ya selamat di akhirat ?
Terus terang, inilah dilema ketika Dogma ditandingkan dengan Moral. Saya tidak bisa menjawabnya, Kopral. Buat orang-orang yang sudah merasa menyelami lautan dogma keilahian, dogma dan iman adalah segalanya dengan mengabaikan moralitas. Sementara yang lain mengatakan iman saja tidak cukup mengantar seseorang menuju surga (yang jadi tujuan), perlu ada yang lain.
Di Kristen juga ada seperti itu. Ada ajaran : Imanmulah yang menyelamatkanmu. Itu bukan hasil perbuatanmu. Dan dengan imanmu maka kamu mendapatkan kasih karunia Allah yang menyelamatkanmu. (saya lupa ayatnya dimana di Alkitab).
Jadi kalau orang beriman dan berbuat jahat, apakah dia masuk surga ? Ada juga ajaran lain : Iman tanpa perbuatan adalah mati/sia-sia. Lalu apakah kesia-siaan itu berarti tidak mendapatkan surga ? Saya belum pernah menemukan tafsir dan penjelasan yang memuaskan dari ajaran ini.
Tapi sekali lagi, surga & neraka adalah hak prerogratif Tuhan (mengutip Syafii Maarif). Apa yang dilakukan manusia [beragama] adalah ikhtiar.
Shalom Aleichem, Kopral….
@ Mbelgedez :
yo nggak apa-apa mas… ๐
@ mardun | alex :
hehehe… agama itu apa ? Agama itu adalah bentuk kepercayaan (belief). Karena kepercayaan sendiri merupakan sebuah sistem, maka agama bisa dikatakan sistem kepercayaan (system of belief). Karena kepercayaan terhadap Tuhan (atau nama yang lain) maka disebut iman (faith). Dan karena dia terlembagakan dengan adanya aturan dan hukum tertentu makanya disebut agama yang terlembaga (institutional religion).
Bagi beberapa kepercayaan, ada yang cuma sampai system of belief saja tanpa menuju pada agama yang terlembagakan.
sinis ?
Ya, jika antara omongan yang keluar dari mulut, berbeda dengan tindakan yang dilakukan. Apalagi jika itu menyangkut agama.
Agama menghubungkan aku-dengan-atas (Tuhan) juga aku-dengan-sesamaku dan keduanya disatukan dalam aku. Jadi agama tentunya berhubungan dng
sesama-aku-Tuhan
Jadi kalau aku bisa menyeimbangkan kedua hal tersebut maka rasanya sinis itu nggak ada tuh.
uhmmm ataukah tuhan telah terselip diantara lembar2 rupiah?
*sinis lagi*
Kesimpulan afa ini? hah!Hah!HAH!
*nyengir*
wah panjang bgt, tp uda waktunya bidadari penidur bobok.
save as dulu…ntar dibaca dan diresapi….
mas, i like yr post ttg hal2 giniyan. kritis. eh seblumnya jgn marah, sXan minta ijin, krn punya folder postingannya mas fer sejak saya bl ngeblog. utk konsumsi pribadi kok^^ -halah berasa bokep-
saya jd belajar nih, lbh enak dikunyah walopun alot drpd materi2 power poin dr dosen^^ -hohoho-
*sori, OOT*
agama ??
hm…..sbg sarana mengenal Yang Maha mungkin ?? itu IMO.
agama ??
sebagian penganut kejawen menganggap sbg ‘agemaning sukma’ alias baju. aku juga masih belum jelas ttg hal ini. kayaknya artinya dalem.hehehe…msh belum nyampe^^
*dan smp dimana penghayatan mas fer ttg keberagamaan*
*ditendang mas fer krn menanyakan pertanyaan pribadi*
*hus, disini bukan ajang infotainment*
*sinis mode: ON*
Uh-oh, baca seperti ini di tengah malam…
Sudah saya baca semuanya, pak. Tapi baru sekadar dibaca, belum masuk ke taraf dipahami karena sambil lewat di sela kantuk di tengah malam.
Yak, absensi komen dulu. Nanti pagi mungkin jika ada waktu akan saya pahami.
*kabur*
He…he… ini pencerahan yang menarik. Namun, saya sedikit memandang dari kacamata kuda yang berbeda lho. Saya nggak sinis sama agama, tapi sinis pada cara pandang ummat beragama. Agama di ruang publik
harussemestinya sarat dengan dimensi yang menumbuhkan kasih dan kelemahlembutan, sarat dengan dimensi kesalehan sosial. Klaim spiritual menjadi kekuatan menghakimi adalah cara pandang yang dibangun tidak dari sudut pandang agama, tapi dari landasan kekuasaan yang ditempeli simbol-simbol agama.Agama semestinya ditunjukkan dari sudut pandang agama, bukan hanya dari sudut pandang ummat ketika menafsirkan agama dalam konteks kepentingan golongan atau kesakralannya.
Begitu juga moral, memandang kegiatan moral bukan dari sudut pandang penilaian moral, tetapi juga dari motif-motif nyata dan tersembunyi dari moral.
Tuhan direduksi ke dalam semangat manusia, bukan kepada “semangat wahyu” pada diri manusia. Manusia menetapkan pikiran dan gelombang keinginannya mengatasnamakan Tuhan. Kemudian terjerembab pada spiritualitas kekuasaan.
Kalau kita lepaskan pandangan ummat beragama pada sisi pandang agama (dengan berusaha menafsirkan/memahami dari sudut pandang agama = baca : bukan dari sudut pandang keinginan manusia -nafs), maka aktivitas kehidupan adalah kebolehjadian dalam keniscayaan yang berada pada tatanan etika universal (harmoni).
…. aduh… kok komentar ini tidak santai…. maaf deh agak kesulitan merumuskan dengan cara yang lebih sederhana…. (kehabisan ide)…
ampun.. mbah..berat..berat…Weiks
bacaannya berat banget..ora mudeng..aku
@ agorsiloku
Ah, benar. Sepakat, Pak.
Cara pandang itu yang membuat agama sendiri jadi … yah, degradasi ke tataran ritual-emosional belaka ๐
Gue ngabsen dulu, Bang. Postingannya panjang buangget. gue bacanya kudu hati – hati, agar jari gue ngga keplicuk ngasih komentar.
ngabsen dulu bang ๐
kasihanilah otak saya yang lemot ini.
mikir yang gini, gak mampu saya
ikutan ngabsen…
bukan cuma postingannya yang panjang, pembahasan di komen juga musti ditelaah dulu dgn teliti…
*OOT mode OFF*
*ngliad-ngliad komeng absen*
hmm…fayah sangadh nih, mosok cuma fada ngabsen doank c?
ehm..ehm..dari postingan segitu fanjangna, buad saia fostingan ini nasihat yaitu seharusnya umat beragama tidak hanya beragama, tetafi juga bermoral.
dah itu doank yang saia ngerti
eh, be te we bang fertob, itu agamanya uda dilisensi halal dari MUI blom? kalo uda, saia nanti jadi fengikutna deh
kuharap abang kumpul sajalah tulisan ini menjadi sebuah buku… Nanti aku maulah jadi moderator waktu acara bedah bukunya.. hehehehehe *Lieur bin pusing bacanya* ;-P
puanjaaaaaaaaaaannnnnnnnnnggggggggggg…………..!!
Karena yang tidak bermoral, kebanyakan, adalah kaum beragama.
Takut akan Tuhan adalah permulaan dari hikmat pengetahuan Mas Mbak.
Masalahnya, apakah orang beragama sudah berarti 100% takut pada Tuhannya? Yang saya tahu di negeri ini orang diwajibkan beragama. Kalau tidak beragama ya kurang lengkap, bisa jadi malah memalukan. Jadi ya yang penting beragama, biar KTP nya tidak kosong. Yang penting kelihatan beribadah daripada digunjingkan.
“Karena yang tidak bermoral, kebanyakan, adalah kaum beragama.” yang dimaksud kaum beragama itu yang seperti apa? Au ah gelap. Jadi nglatur sendiri gara-gara ngos ngosan baca tulisan ini puanjang…. pol.
@ dina :
okeh…absentnya diterima…. jangan nitip absen ya… ๐
@ herianto :
makasih banyak mas atas tambahan informasinya.
@ Yudhi :
hehehehe…maklum lagi on fire….
@ kurtubi :
tapi bukan berarti rasio ditinggalkan kan ? sementara akal juga bisa membantu kita memahami wahyu itu…
@ dbrot :
kalau hal itu bisa diseimbangkan, kritik terhadap agama belum tentu hilang juga lho… karena sisi agama yang multidimensi itulah yang membuatnya bisa dikritik dari berbagai sisi.
@ almas :
hahahaha…. “menjual” tuhan demi rupiah ? jadi ingat menjual iman…. *siapa yg nulis ya…?*
@ medina :
oke…saya ijinkan… ๐ tapi apa benar lebih enak dikunyah ? kalau alot memang iya… ๐
heh ? kok malah balik nanya… ? ๐
itu rahasia lho…..nanti kalau diungkapkan banyak yang kebakaran jenggot walaupun nggak punya jenggot. tunggu saja biografi saya ya… judulnya fertobhades : my story
@ roze :
oke…. jangan nitip absen ya…!!!
@ hoek (#34)
wah, rasanya kena di saya neh…
bukan gitu bro, disini lagi rajin pemadaman bergilir. Hotspot baru aktif lagi mendekati tengah malam & sy dah harus pulang. Smentara topik ini kan gak bisa diskimming gitu aja. Kmaren jg padam smalaman. Siang ini baru hidup & OL lg, & dah ada post baru lg. Yang ini baca pun belum…
@ fertob
sori bang, OOT…
Bang Fer, ada rencana bkin tim sukses buat nyebarin agamanya tak? Kl y sy gabung.
[…] Buat postingan – postingan yang sinis dengan ancaman ancaman yang sangat berat apabila manusia meninggalkan aturan aturan […]
[…] a. Sinis Terhadap Agamaย ? […]
Kami mengundang Pyrrho menjadi juri di http://muhshodiq.wordpress.com/2007/11/19/pemilihan-top-posts-september-oktober-2007/
Sebagaimana juri lain, boleh memilih postingan sendiri, boleh pula postingan orang lain. Terima kasih.
[…] Sinis terhadap Agama?” […]
[…] dan Spiritualitas Ada apa dengan agama? Melihat pertanyaan panjang dari Bang Fertob, Difo, tulisan tulisan di bataknews dan Sora9n di sini. Saya menjadi teringat akan cerita dari […]
[…] oleh Neo Fortynine di/pada Nopember 15, 2007 Ada apa dengan agama? Melihat pertanyaan panjang dari Bang Fertob, Difo, tulisan tulisan di bataknews dan Sora9n di sini. Saya menjadi teringat akan cerita dari […]
[…] terhadap sinis nya tanggapan Ummat Islam sendiri saat ini terhadap solusi AGAMA dalam menyelesaikan permasalahan dunia dan akherat dan juga […]
wah. nanggepin posting lama nih .. semoga gak apa2 ^_^
kalau Tuhan tidak punya peran dalam moralitas publik, sebaiknya tidak usah ada saja moralitas publik itu sekalian ๐ bahkan juga perlu dipertanyakan, memangnya moralitas publik menurut Tuhan itu bagaimana? kalau memang sudah digariskan pada pedoman beragama (kitab suci, hadits yang shahih), kenapa yang dikedepankan hingga kini cuma simbol dan ritual saja? apa karena itu lebih gampang daripada meleburkan diri dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang sekarang lagi ada? wah, nyari gampangnya doang nih buat masuk surga. aduh, jadi suudzon nih ^_^
masi aktip ga neh? penting ga si spiritualitas itu pada hidup remaja?
A humankind begins icy his wisdom teeth the earliest often he bites on holiday more than he can chew.
Today, I went to the beach with my kids. I found a sea
shell and gave it to my 4 year old daughter and said “You can hear the ocean if you put this to your ear.” She placed the shell
to her ear and screamed. There was a hermit crab inside and it pinched her ear.
She never wants to go back! LoL I know this is totally off topic but I had to tell someone!
I’ll immediately grab your rss as I can not in finding your e-mail subscription hyperlink or e-newsletter service. Do you’ve
any? Please allow me recognise in order that I may just
subscribe. Thanks.
[…] hal ini mungkin secara spesifik: Islam. Kalau Bung Fertobhades alias Pyhrro menuliskan tentang Ke-Sinis-an Terhadap Agama. Maka saya ingin menuliskan tentang: Pesimis Terhadap Agama. Tulisannya mungkin tendensius dan […]