14 Mei 1998
Sore hari sekitar jam 3. Waktu itu saya lagi menuju ke arah Bintaro untuk suatu keperluan. Dari terminal Lebak Bulus, saya naik angkot ke arah Bintaro melewati Gintung, Ciputat. Suasana di sepanjang jalan Ciputat Raya tidak seperti biasanya, ramai dengan orang-orang yang bergerombol sementara kendaraan sangat jarang.
Di Gintung, sopir angkot tidak mau meneruskan perjalanan karena takut dengan kerumunan massa yang semakin lama semakin banyak. Saya turun di gintung dan menyaksikan kerusuhan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Walaupun sedikit takut, saya menyempatkan diri menonton kerusuhan dan penjarahan itu.
Massa menjarah toko-toko yang ada di sekitar jalan Ciputat Raya. Polisi tidak kelihatan. Ada beberapa toko yang dibakar dan isinya dihamburkan keluar. Beberapa orang terlihat menenteng beberapa barang elektronik seperti televisi, compo, bahkan ada 3 orang yang saya lihat sedang mengangkat kulkas ukuran besar. Ada juga yang memegang beberapa kotak di tangannya, sepertinya kotak telepon seluler.
Seorang bapak menuju ke arah saya yang sedang berdiri menonton di dekat tempat parkir becak. Tangannya membawa sebuah kotak besar, sepertinya televisi ukuran 21 inci.
-
“Itu apa pak ?”, tanya saya.
“Oh… ini tipi dek, dari toko cina diseberang”, kata si bapak itu.
“Mmmmhhhh…”
“Masih banyak dek kalau mau. Saya cuman bisa ngambil yang ini aja. Cepetan dek mumpung polisi belon datang”
Saya cuma terdiam. Ekspresi si bapak biasa-biasa saja, tapi dia segera memakai 2 becak yang ada disitu. Satu buat dia dan satu lagi untuk televisi jarahan itu. Saya segera memanggil ojek untuk segera pergi dari situ. Di Organon Bintaro, saya berganti naik angkot yang sedang ngetem.
Malam harinya saya dengar Bintaro Plaza sempat dijarah massa. Pintu depannya dibobol dan kacanya dipecah. Beberapa outlet sempat dijarah. Tetapi massa tidak sempat menjarah lebih jauh karena sepasukan tentara segera datang mengamankan Bintaro Plaza.
Tanggal 15 Mei sore hari, saya pergi melihat “hasil” kerusuhan Jakarta yang lumayan dahsyat itu. Di sepanjang jalan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, saya cuma termenung melihat banyak toko-toko yang dirusak dan dibakar serta barang-barangnya dijarah. Glodok terbakar, hancur lebur, dan tinggal puing. Belum lagi dengan beberapa tempat lain yang juga mengalami nasib yang sama.
Jakarta saat itu benar-benar hancur lebur.
**************************
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 menjadi titik balik bagi Indonesia. Bagi reformasi yang diawali dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan setelah berkuasa 32 tahun lamanya dengan Orde Baru-nya.
Tapi bagi saya, kerusuhan Mei 1998 juga menjadi titik balik yang lain. Ada satu fungsi psikologis manusia Indonesia yang saya lihat mengalami “gangguan” setelah peristiwa berdarah itu. Dia adalah fungsi dasar dan esensial yang selalu dibutuhkan oleh setiap manusia.
Apa itu ?
Rasa Aman
Setelah kerusuhan Mei 1998, rasa aman menjadi sesuatu yang mahal dan berharga di negeri ini. Orang-orang “nekad” melakukan apa saja asalkan mendapatkan sebutir rasa aman dalam dirinya. Bahkan dengan tidak segan-segan memangkas dan mengurangi hak orang lain. Semuanya demi kebutuhan akan rasa aman (safety and security needs)
Contohnya sangat gampang. Sebelum kerusuhan Mei, adalah suatu hal yang sangat jarang [bahkan hampir tidak ada] adanya portal-portal, barikade-barikade kawat berduri, bahkan penutupan jalan. Tetapi setelah “reformasi”, portal dan barikade, khususnya di kompleks-kompleks perumahan, menjadi sesuatu yang amat sangat lumrah. Saking lumrahnya sampai oleh beberapa orang dianggap sebagai suatu kewajaran dan juga “kebenaran”.
Coba saja anda berjalan-jalan di kompleks perumahan di daerah Pondok Indah, Bintaro, Ciputat-Pamulang, dan Serpong. Sangat mudah bagi anda untuk menemukan jalan-jalan yang di portal dan dibikin barikade kawat berduri dan ditambah dengan pos hansip/satpam. Fenomena itu juga sangat lumrah di wilayah lain di Jakarta.
Apa alasannya ? Untuk mendapatkan rasa aman.
Bahkan ketika pemerintah DKI Jakarta berencana membongkar portal-portal dan barikade penghalang di jalanan di kota Jakarta, hal itu mendapat tentangan dari warga. Alasan yang keluar adalah : asal mendapatkan jaminan keamanan.
Bukan itu saja. Di beberapa pusat pertokoan di kawasan Glodok dan Kota, masih banyak ditemukan portal-portal partikelir yang dibangun oleh warga [dan pengusaha setempat]. Juga kalau kita melihat di beberapa mal, plaza, atau pusat perbelanjaan yang lain di Jakarta.
Dan coba anda tanyakan apa alasannya. Selalu dijawab : pemasangan portal dan barikade untuk menjaga keamanan.
….
….
….
Saya rasa kebanyakan dari kita sudah tahu Teori Maslow tentang Hierarchy of Needs. Walaupun dalam banyak kasus ada juga kesalahan dan mispersepsi dalam memahami teori yang “sangat gampang” itu. 🙂 Masalahnya, banyak juga yang tidak tahu kalau Teori Hierarki Kebutuhan Maslow itu sudah mengalami “revisi”. Dan di puncaknya bukan lagi Self-Actualization tetapi Self- Transcendence. Lalu apa bedanya ? Oh sorry berat, saya tidak sedang membahas Maslow.
Saya sedang menyoroti salah satu kebutuhan dasar yang HARUS dipenuhi kalau kita bicara tentang Maslow, yaitu Safety & Security Needs, atau dalam bahasa sininya : Kebutuhan akan Rasa Aman. Safety Needs [bersama dengan 3 kebutuhan dasar yang lain] mutlak harus dipenuhi sebelum mencapai kebutuhan yang lain yang lebih tinggi (Growth Needs dan Existence/Being Needs).
Itulah maksud saya : Rasa Aman.
Bagi saya, rasa aman adalah suatu fungsi internal psikologis dalam memahami lingkungan di luar diri sendiri yang mempunyai potensi membahayakan keselamatan diri dan keselamatan harta benda. Metodenya selalu otomatis. Selalu ada fungsi dalam diri manusia untuk melihat kondisi lingkungan dan mempersepsikannya sebagai sesuatu yang mengancam/tidak mengancam diri sendiri.
Ini adalah mekanisme primitif manusia. Sama seperti binatang yang juga menginderai lingkungan sekitar dan menghubungkannya dengan keselamatan diri. Misalnya kita berjalan sendirian di malam hari, kita selalu menilai apakah lingkungan sekitar kita aman bagi kita atau tidak.
Orang-orang seperti terkena paranoid berlebihan akan rasa aman lalu kemudian membatasi, menyekat, menghalangi, dan menutup jalanan. Dan kemudian dengan semena-mena menambah peringatan : Bukan Jalan Umum.
Saya jadi tergelitik untuk sekedar bertanya :
Adakah jalan yang bukan jalan umum ?
Adakah jalan yang milik pribadi ?
😆
**************************
Rasa aman adalah sesuatu yang subyektif. Dia hanya bisa dirasakan oleh orang-orang sebagai hasil dari suatu penilaian terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar dianggap mempunyai potensi yang besar untuk membahayakan jiwanya dan juga membahayakan harta miliknya.
Tapi kata AMAN sendiri tidak selalu melulu berhubungan dengan rasa aman yang subyektif. Aman mempunyai parameter yang juga bersifat obyektif.
1. “Aman” secara Obyektif.
Pengertian Aman disini adalah kondisi real yang berhubungan dengan tingkat kejahatan (kriminalitas) yang terjadi di suatu tempat. Aman disini nyata, dia berhubungan dengan crime rate dan bagaimana penyelesaian/pemecahan dari masalah kriminalitas itu.
Misalnya saja. Dikatakan bahwa “Jakarta Adalah Kota Yang Tidak Aman”.
Apa ukurannya ? Secara obyektif, kita bisa memakai data-data yang dipunyai oleh pihak kepolisian tentang tingkat kejahatan di Kota Jakarta dalam suatu kurun waktu tertentu. Juga bisa dengan tingkat penyelesaian/pengungkapan setiap kasus kejahatan yang dilakukan oleh pihak berwajib. Bisa juga dengan membandingkan tingkat kejahatan dengan kota-kota besar lain di dalam atau luar negeri.
Semua menggunakan data. Jadi jangan heran kalau ketika kasus bom terorisme masih menjadi hantu di negeri ini, maka beberapa negara luar memberikan travel warning bagi warga negara mereka yang akan berkunjung ke Indonesia.
Ukurannya selalu ada, walaupun ukuran itu bukan data konkrit yang dimiliki dan hanya berupa potensi kejahatan atau hasil penyelidikan pihak intelijen.
2. “Aman” secara Subyektif
Ini adalah pengertian aman yang lain. Disini, aman diartikan sebagai persepsi individu-individu [dalam masyarakat] terhadap kondisi keamanan di lingkungan mereka, baik dari lingkungan minor (keluarga, RT/RW) sampai major (negara dan dunia).
Aman adalah sesuatu yang dipersepsikan dan dinilai. Terkadang tidak berdasarkan data obyektif, tetapi hanya menggunakan pengalaman-pengalaman empiris belaka, misalnya melalui pengalaman diri sendiri dengan kasus kejahatan, berita kriminal yang ada di media massa setiap hari, atau melalui obrolan-obrolan dengan orang lain.
“Aman” seperti inilah yang sering disebut Rasa Aman. Rasa aman yang bersumber dari persepsi individu terhadap lingkungan sekitar yang dianggapnya memberikan potensi membahayakan bagi dirinya maupun harta miliknya.
Dan rasa aman seperti ini juga yang saya lihat mulai terkikis dari mental bangsa Indonesia. Trauma psikologis akibat kerusuhan Mei 1998 tidak hanya terjadi pada mereka yang benar-benar menjadi korban, baik itu korban meninggal, cacat, ataupun kehilangan kerabat dan harta benda. Trauma itu terjadi hampir pada semua lapisan masyarakat berupa berkurangnya perasaan aman dan semakin meningkatnya mentalitas paranoid dalam menilai sesuatu.
Jadi tidak heran kalau tindakan yang dilakukan juga membuat hak-hak warga lain dalam menikmati fasilitas umum di suatu daerah menjadi terbatas dan terkurangi. Hak-hak orang lain dikurangi demi pemenuhan rasa aman akan diri sendiri.
Tapi benarkah pembangunan portal dan barikade jalan itu justru menambah “AMAN” suatu lingkungan secara obyektif. Adakah korelasi antara pemasangan portal dan barikade jalan dengan berkurangnya kasus-kasus kejahatan dan penyelesaian kasus kejahatan di suatu lingkungan tertentu ?
😆
Saya memang belum menemukan penelitiannya (ada yang tahu ?). Tapi kok saya memiliki kecurigaan dan hipotesis awal bahwa pembatasan-pembatasan itu secara obyektif tidak berpengaruh apa-apa terhadap AMAN secara Obyektif. Pembatasan jalan itu hanya mempunyai fungsi internal belaka : membuat diri sendiri MERASA AMAN karena menurutnya dia telah melakukan sesuatu walaupun apa yang dilakukan itu tidak ada pengaruhnya.
Contoh lainnya seperti ini.
Anda adalah mahasiswa. Beberapa hari menjelang ujian, anda belum belajar sama sekali. Mungkin karena malas atau sibuk ngeblog. 🙂 Saat Hari-H itu makin mendekat, maka apa yang anda lakukan supaya anda “merasa aman” dalam ujian nantinya [tentunya selain belajar] ?
Saya pernah mengalaminya dulu. Tindakan pertama saya adalah meminjam buku perpustakaan sebanyak-banyaknya. Memfotokopi diktat dan kisi-kisi yang katanya bakal keluar di ujian. Mencari teman-teman senasib yang juga malas belajar. Dan yang paling akhir, makin sering berdoa dan melakukan aktivitas religius.
Apa tujuannya ? Setidaknya saya telah berbuat sesuatu. Walaupun apa yang saya perbuat itu tidak berkorelasi secara langsung dengan tujuan utamanya. Minimal secara psikologis saya merasa aman. 🙂
Ada yang pernah mengalaminya ?
*****************
Itulah yang saya amati sedang terjadi disini, di negeri ini. Ada mentalitas paranoid yang bisa menjadi bom waktu.
Berkurangnya rasa aman juga bisa menjadi pemicu tindakan-tindakan “biadab” lainnya. Misalnya dengan tindakan “membantai ramai-ramai” atau “membakar pelaku kejahatan“, atau dengan bahasa lainnya AMOK. Amok adalah akumulasi dari segala himpitan psikologis manusia, terutama kebutuhan akan rasa aman yang semakin berkurang. Dan pelampiasannya sungguh luar biasa.
Coba kita kembali ke Teori Maslow. Pada dasar piramida itu, kita akan menemukan satu kebutuhan dasar yaitu Physiological Needs, misalnya makan, minum, tidur, sex, dan lain-lain. Dan demi perut (physiological need) orang bisa saling bunuh-bunuhan.
Itu juga bisa terjadi pada rasa aman. Demi mendapatkan rasa aman, orang-orang bisa “bunuh-bunuhan”. Defisiensi pada tahapan kebutuhan ini bisa memicu tindakan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Apapun dilakukan demi perut, maka apapun bisa dilakukan demi rasa aman.
Tapi mungkin saja saya salah menilai. 🙂
Apakah anda sudah merasa aman saat ini ? Kunci pintu dan jendela rumah anda rapat-rapat, karena kejahatan sedang mengintai anda. Selamat ber-paranoid-ria.
Boss…. disini Aman Terkendali. Bagaimana disitu ? 😉
Mumpung masih aman, koment pertama dulu 🙂
Salah satu instansi yang sebenarnya bisa memberikan rasa aman baik secara obyektif maupun subyektif adalah polisi. Secara obyektif: dimanakah engkau wahai para polisi, disaat para krmnal jalanan beraksi? Secara subyektif: sewaktu di jalanan, saya kok malah justru merasa tidak aman ya, kalau ngelihat banyak polisi berjajar di jalanan? Berapa rupah yang harus saya sediakan, gar perjalanan saya lancar, dan “aman” dari gangguan mereka?
Mungkin apa yang diungkapkan paman Fertobh adalah pada bencana sosial yang terjadi di sekitar kita.
Sementara dewasa ini bukan hanya bencana sosial saja yang terjadi dan dihadapi, diantaranya tentu adalah bencana alam yang memang terjadi oleh alam misal gempa bumi atau akibat kelalaian manusia seperti banjir.
Menghadapi beberapa jenis bencana ini, rasa aman manusia kian rentan dan mengkhawatirkan.
Dalam terminologi bencana alam, ada istilah mitigasi bencana, sebuah upaya untuk mengantisipasi bila bencana terjadi, tentu tidak dapat mengatasi (baca melawan) bencana itu, tetapi minimal mereduksi jumlah korban yang mungkin timbul.
Akhirnya rasa aman, memang mahal dan seyogyanya tidak menimbulkan kerawanan yang lain, misal portal tadi, karena justru hal itu dilain pihak (IMO) malah memancing terjadinya rasa tidak aman yang kian akut 😀
Demikian saja sobat, maaf panjang
gahh…ternyata begidu ya bang? hooo…
*mikir*
jadi tindakan yang membuadh orang lain menjadi tidak aman, juga disebabkan oleh karena rasa ketidak-aman-an orang yang membuadh orang lain menjadi tidak aman?
*halah bosona malah muter-muter*
ah ya, fokokna difurwokerto itu aman sangadh
Bagaimana dengan seperti ini bang, adanya banyak polisi berseragam yang berpatroli di sekitar kita. Tujuannya pasti untuk menimbulkan rasa aman kan? Tapi saya kok merasa kayaknya gak aman ya makanya perlu banyak polisi.
*jadi binun sendiri*
[i]”Elang kepada Gajah 1.. Gajah 1… Gajah 1.. Keadaan di sini aman terkendali, ganti.”[/i]
Baidewei, saya jadi teringat ‘petuah’ teman saya ketika saya ingin pulang kampung: [i]”Jangan naek A*** A**, Gun… Ga aman tuh… Loe mau nggadai nyawa dengan harga murah!?”[/i]
😆
Bah, salah tag… Malah kepakai BBCode bukan HTML..
Habis foruming sih. Mohon oom sudi mengeditnya. m(_ _)m
yeah. . rasa aman emang paling penting ..
klo sudah merasa aman, mau ngapa2in juga enak . . ngga ada rasa was was ..
seperti seorang midfielder dan striker yang bisa nyaman membangun serangan ketika ada bek dan kiper yang tangguh menjaga gawang nya
*nyambung ngga ya ???
@itik kecill
heheh.. setujuuuuu
klo ada polisi berarti malah keadaan ngga aman. .
di rumah saya semua jendela dikasih teralis. padahal saya udah rikwes kalau jendela kamar saya nggak usah diteralis
biar kalau malem-malem mau keluar tinggal lewat jendela ajatapi tetep nggak boleh. kata orang tua saya nggak aman… 😐Indonesia? bisa aman? kiamat dong….
Di komplek saya juga dikasih portal. Sehingga kalau pulang malam terpaksa jadi kodok
Gimana dengan polisi tidur, Bang?
Satu sisi, demi keamanan pejalan dari kendaraan yang suka kebut-kebutan, tapi di sisi lain, pengendara malah ada yang jadi nggak aman, karena polisi tidur jadi kebanyakan? 😐
@ cK
Buat latihan jadi sipir penjara kali, chik… 😆
*minggat*
Tidak kok bro, bro sama sekali tidak salah menilai. Aku juga menangkap ke-cenderung-an itu. Yah, rasa aman bagi orang-orang cenderung mendorong untuk melakukan hal-hal di luar nalar yang bahkan cenderung menyalahi teori rasa aman itu sendiri 😐
Itu bukan deKing kan Bang?
****
Pertama mengenai perubahan puncak dari piramida-nya Maslow …
Ya tentu saja puncak2 piramida senantiasa berkembang karena suatu level piramida terbentuk krn sudah tercapainya pemenuhan kebutuhan di level di bawahnya. Pencapaian/pemenuhan kebutuhan akan menuntut munculnya kebutuhan2 baru.
*****
Mengenai rasa takut itu juga sudah disebut2 Oom F.D. Roosevelt dalam “The Four Freedom”-nya …
Salah satu dari empat kebebasan versi Oom Roosevelt adalah bebas dari rasa takut.
******
Mengenai portal …
Sugesti mungkin memegang peranan yang lumayan dalam hal ini Bang …
Contoh:
Seseorang datang ke dukun dan diberi suatu jimat supaya berani.
Sangat mungkin pada akhirnya rasa berani yang dimiliki sang klien tsb hanya karena adanya sugesti … bukan dari jimat itu sendiri.
Upppss… mengenai pendapat saya tentang portal itu intinya sama dengan pertanyaan (pernyataan?) Bang Fertob …
Ya…intinya sama2 mempertanyakan obyektifitas si portal.
Sangat mungkin rasa aman yang dicapai dr portal itu sangat subyektif …
Iya, saya juga merasa …kalau rasa aman menjadi prioritas…terutama untuk wanita.
Sekarang kalau pergi mesti mikir dulu, pake kendaraan apa, situasinya seperti apa (jalan yang mau dilalui dsb nya)….bahkan kalau ada undangan di Jakarta Utara, walau diantar sopir, mesti mikir jalan apa yang akan dilalui, terutama kalau malam hari…
rasa aman juga berkaitan dengan kepercayaan.
birokrasi negara kita dibangun atas dasar ketidakpercayaan, nggak heran kalau rasa aman itu perlahan mulai terkikis dari mental bangsa kita
😀
thanks atas postingnya
lumayan untuk menambah………..
thanks ya
[…] dan berkembang, entah dilandasi oleh keinginan ataupun kebutuhan. Hal itulah yang menyebabkan piramida Maslow mengalami perubahan puncaknya dari self actualitation menjadi self transcendence. Terjadinya perubahan (kebutuhan) […]