Feeds:
Pos
Komentar

I Love You…!




Tak ada kalimat yang lain. Hanya “I Love You…”

Alone




Foto ini punya banyak kekurangan. Juga bukan menampilkan tipe High Key Lighting yang banyak dipakai untuk memberikan efek kelebihan pencahayaan pada suatu obyek.

Tapi foto ini menjadi sangat bermakna karena pengambilannya yang dilakukan secara diam-diam (candid). Sebelumnya saya sudah mencoba mengambil gambar anak ini secara langsung tetapi tidak pernah ketemu momen ini karena selalu ditemani ibunya. Malah saya yang dilihatin dengan curiga. Mungkin tampang saya yang jelek yang membuat saya dicurigai. 🙂

Ketika ada kesempatan, voila, jadilah foto ini. Tapi lihat hasilnya agak mengecewakan walaupun bisa dimaafkan.

hanya sebuah catatan…..




Saya tidak pernah memanggilnya wanita. Entah karena saya terlanjur mengidentikkan wanita dengan istilah wanita tuna susila (WTS) atau karena saya sok jadi seorang feminis, atau mungkin karena bagi saya kata wanita tidak menyingkap secara luas misteri kaum ini. Atau karena alasan-alasan lain yang tidak saya mengerti.

Saya menyebutnya perempuan. Karena bagi saya, kata ini bisa menjelaskan betapa kontradiktifnya jika membandingkan sebuah istilah dengan kenyataan. Merekalah sang empu, kaum yang dihormati. Istilah yang sejak ribuan tahun disakralkan dalam berbagai ritual kepercayaan dan dalam berbagai peninggalan kebudayaan. Hanya merekalah yang bisa disebut ibu bumi, ibu pertiwi, dewi kesuburan, dewi kecantikan, dan macam istilah lain.

Tapi istilah itu seakan lenyap dan hanya tinggal sebagai istilah. “Perang” yang terjadi selama ribuan tahun antara kedua gender (meminjam istilah Chafetz dan Blumberg, juga Erich Fromm) menempatkan mereka dalam strata yang marginal. Terlalu sosiologis dan psikologis memang. Tetapi kenyataannya memang begitu. Dan itu jugalah yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia.

Membaca majalah Time edisi 9 Agustus 2010, saya memalingkan muka dan berdesah. Bukan karena cover depan itu tidak pantas untuk ditampilkan, tetapi karena saya tidak mempunyai keberanian untuk melihatnya. Melihat kaum yang saya hormati ditampilkan dalam bentuk seperti itu.

Membicarakan perempuan memang tidak ada habisnya, bahkan jika itu dibicarakan oleh di lembaga-lembaga ilmu sosial atau oleh laki-laki tukang menggosip. Selalu ada cerita tentang mereka. Pembicaraannya pun beragam, mulai dari sekedar subyek gosip di arisan-arisan sampai pembicaraan tentang kesetaraan dan pemberdayaan di lembaga pemerintahan.

Tetapi bagi saya, membicarakan mereka adalah membicarakan tentang sebuah kaum yang dihormati, seperti namanya : perempuan. Mereka dinamai perempuan bukan karena sebagai lawan dari lak-laki. Mereka dinamai perempuan bukan karena mereka tidak memiliki penis. Mereka dinamai perempuan bukan karena mereka mempunyai vagina dan rahim. Mereka dinamai perempuan karena, sesuai namanya, mereka layak dihormati. Bukan seperti yang ditampilkan dalam cover majalah Time dan cerita yang ada di baliknya.

Tapi mungkin istilah itu perlu dihilangkan. Apalagi ketika berhadapan dengan kekuasaan yang diselimuti oleh pembenaran, apa saja termasuk agama.

Ini hanya sebuah catatan belaka. Dan saya masih memalingkan muka ketika melihat cover majalah Time 9 Agustus 2010.

Luis Alberto Suarez bukanlah pemain yang “kotor”. Selama musim pertama karir sepakbolanya di Ajax Amsterdam, dia pernah mendapatkan kritikan tajam karena mendapatkan 9 kartu kuning dalam satu musim (2008/2009). Musim 2009/2010 dia “hanya” mendapatkan 5 kartu kuning semusim. Tetap saja jumlah yang cukup banyak untuk ukuran seorang striker. Yang paling diingat orang adalah rekor golnya di Ajax untuk musim 2009/2010 dengan 35 gol (49 gol untuk semua kompetisi).

Selama karirnya di timnas Uruguay dan di Ajax Amsterdam, Suarez tidak sekalipun pernah mendapat kartu merah, sampai dengan partai quarter-final PD 2010 Afsel lalu antara Ghana vs Uruguay. “Penyelamatan Gemilang” yang dilakukannya pada menit ke-120 masa extra time babak perempat final PD 2010 antara Ghana vs Uruguay membuat nama Luis Suarez melambung. Bukan karena torehan 3 golnya selama kompetisi tetapi karena “tindakan tidak sportif” itulah yang membuat Ghana secara tidak langsung pulang kampung dan Uruguay melenggang ke semifinal.

Hujatan dan makian pun mendarat padanya. Suarez dianggap melecehkan nilai-nilai sportivitas dalam sepakbola. Seandainya (ini pengandaian saja) dia tidak menggunakan tangannya untuk menghalau bola yang mengarah ke gawang, maka Ghana yang akan melaju ke semi final PD 2010. Bukan Uruguay.

Tapi itu adalah pengandaian. Saya melihatnya dari sudut yang lain.

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Suarez adalah bagian dari sepakbola. Anda boleh setuju boleh tidak. Sepakbola bukan hanya proses tetapi juga hasil. Orang yang hanya melihat proses dalam sepakbola mengabaikan kenyataan bahwa hasil adalah tujuan dari sepakbola, sebaliknya orang yang terlalu menekankan hasil mengabaikan bahwa sepakbola adalah sebuah tampilan yang harus dinikmati.

Kenyataannya, Yunani tetap dikenang sebagai juara Euro 2004 dengan permainan “ultra-defensif”-nya, dan Belanda tetap dikenang dengan permainan “super-atraktif”-nya di PD 1974 dan 1978. Naif sekali kalau mengabaikan itu.

Benar kata Oscar Tabarez, pelatih timnas Uruguay, bahwa Suarez telah mendapatkan hukumannya [red card] dari perbuatan tidak sportifnya pada pertandingan itu. Sama seperti Zidane telah mendapatkan hukumannya ketika menanduk dada Marco Materazi di PD 2006. Sama seperti Maradona mendapatkan hukumannya karena menendang perut Serginho di PD 1982. Dan sama dengan semua kartu merah dan tambahan larangan bermain bagi semua pemain yang bertindak tidak sportif di lapangan hijau.

Tetapi, lanjut Tabarez, jangan salahkan Suarez atas kegagalan Asamoah Gyan menendang pinalti. Dan terlebih lagi jangan salahkan Suarez karena Ghana tersingkir dalam drama adu pinalti. Suarez telah dikeluarkan, dan bukan dia yang menjadi penyebab mengapa pemain-pemain Ghana gagal mengeksekusi pinalti. Menganggap bahwa dia bersalah atas suatu kejadian di luar keterlibatannya adalah sama saja dengan mencari kambing hitam.

Sederhananya begini :

  1. Suarez melakukan tindakan tidak sportif,
  2. dia diberi hukuman kartu merah dan harus keluar lapangan,
  3. Ghana mendapat pinalti,
  4. Asamoah Gyan gagal mengeksekusi pinalti,
  5. Pertandingan dilanjutkan dengan adu pinalti,
  6. Ghana kalah dalam adu pinalti.

Pertanyaannya : Apakah Luis Alberto Suarez bersalah atas semua kejadian dari 1 sampai 6 ??? 😆

==========================

Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah ketidakadilan. Tapi kita bicara soal sepakbola dan bukan tentang keadilan di ruang pengadilan. Sepakbola punya aturan (FIFA Laws of the Game) dan aturan itu, sepengetahuan saya, ditegakkan dalam semua pertandingan pada Piala Dunia 2010 Afsel ini. Kita juga tidak bicara tentang keadilan Tuhan dalam sepakbola [atau karma dan lain sebagainya]. 🙂

Apakah keadilan [dalam arti yang luas] ada dalam sepakbola? Saya tidak tahu. Sepakbola punya keadilannya sendiri. Keadilan itu getir bagi sebagian orang tetapi manis bagi yang lain. Keadilan itu seperti berada di persimpangan antara kecakapan bermain, aturan yang berlaku, dan keberuntungan yang tidak kita mengerti.

Bagi saya, sepakbola adalah permainan yang indah. Kita tentunya menikmati sebuah keindahan. Jadi, nikmati saja, kalau perlu dengan sebotol Heineken dan sepiring kacang goreng. 🙂

Selamat menikmati Final PD 2010. Siapa jagoan anda?

Mati Gelar

  • sebuah tulisan lama yang sempat tercecer
  • mudah-mudahan bisa aktif ngeblog 😆










*gaya ngobrol ON*




Sebenarnya apa sih gunanya gelar [akademik] ?

Pertanyaan itu terkadang timbul dalam benak saya ketika melihat begitu banyak orang menderetkan sejumlah gelar di depan/belakang namanya. Saya sendiri punya beberapa pengalaman “lucu” tentang hal ini.

Saya pernah membandingkan kartu nama saya dengan kartu nama rekan-rekan. Banyak persamaannya, tetapi perbedaan yang paling jelas adalah : saya tidak mencantumkan gelar. 🙂 Hanya nama Fer.. Tob… saja. Tanpa embel-embel.

Entah kenapa kartu nama tanpa gelar itu mengundang beberapa “komentar miring” tentang kemampuan saya. Bahkan ada beberapa pejabat birokrasi yang menanyakan langsung keahlian saya karena tidak melihat gelar di kartu nama saya. Bahkan saya hanya menuliskan nama tanpa gelar untuk mengisi formulir-formulir resmi dari instansi berwenang. Nama yang tertera pada akte kelahiran dan KTP.

Pengalaman itu memang tidak mengenakkan tetapi saya cuek saja.

Ada kisah nyata lain yang cukup lucu. Pada Pemilu Legislatif lalu ada seorang caleg DPR di kota Sorong yang memasang poster di jalan depan rumah saya. Posternya berukuran besar dan lumayan banyak tersebar di kota Sorong.

Nama caleg itu ditulis dengan menderetkan sejumlah gelar yang dimilikinya. Tapi ada yang lucu disitu. Di namanya tertulis :




Dr.(candidate) NAMA CALEG [gelar A][gelar B]





Saya sering tertawa jika sedang melintasi poster itu. Bayangkan, dia menuliskan gelar DOKTOR di depan namanya sementara dia belum lulus/belum sah mendapatkan gelar Doktor dan masih kandidat belaka atau masih menjalani program doktor.

Kalau begitu, SEMUA orang yang berkualifikasi mengikuti program doktor adalah KANDIDAT DOKTOR dan berhak untuk mencantumkan gelar DR. di depan nama mereka meskipun mereka belum lulus program doktor. Berarti saya juga kandidat doktor dong. 🙂

Yah, mulai sekarang panggil saya DOKTOR (cand.) Fertob. Oke…







Mengapa Mati Gelar ?




Saya pikir semua orang ingin dikenal dan dihargai karena dia memiliki suatu keahlian dan kemampuan tertentu. Keahlian dan kemampuan itu didapat melalui pendidikan yang berjenjang. Mulai dari jenjang terendah sampai pendidikan tinggi. Gelar yang diberikan oleh perguruan tinggi sendiri dibagi 2 yaitu : Gelar Akademik dan Gelar Profesional (Lihat Keputusan Mendiknas No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi)

Gelar yang diperoleh menjadi ukuran kemampuan seseorang dalam suatu bidang yang menjadi kemampuannya. Gelar hanya tanda, simbol, dan lambang yang bisa dilihat, sementara kemampuan dan keahlian sendiri tidak terbatas pada gelar itu saja. Bisa saja seseorang yang memiliki gelar justru malah tidak memiliki kemampuan mumpuni di bidang itu. Entah karena cara memperolehnya tidak benar atau alasan lain.

Bisa saja seorang SE Akuntansi tidak tahu apa itu Laporan Keuangan Konsolidasi, atau General Ledger atau bahkan tak tahu apa definisi akuntansi. 😆

Bisa saja seorang sarjana psikologi (S.Psi) tidak tahu tentang Tahap Perkembangan Psikoseksual Freudian, atau apa itu IQ, bahkan tidak bisa membedakan psikologi dan psikiatri. 😆

Bisa saja kan ????




catatan kecil :
dalam daftar caleg tetap yang dikeluarkan KPU Kota Sorong ada seorang caleg yang menuliskan namanya dengan banyak gelar. Yaitu : Drs. Nama Caleg, M.Si, MM, M.Th.

secara iseng saya menuliskan singkatannya; di rumah saja (drs) XXXX Magister Sia-sia, Magister Main-main, Magister anTah-berantah.

dengan sejuta maaf buat mereka yang mempunyai gelar itu. 😆





Yang sering saya lihat adalah pencantuman gelar bukanlah menjadi ajang pamer kemampuan dan keahlian tetapi seringkali menjadi ajang pamer gengsi. Itulah yang kebanyakan menjadi dorongan bagi seseorang untuk mendapatkan gelar : menambah gengsi dan harga diri di mata orang lain. Ilmunya sendiri, yang menjadi dasar pencapaian gelar, menjadi prioritas kesekian.

Dan tidak heran kalau akhirnya banyak muncul para calo gelar. Orang-orang yang menawarkan gelar cukup hanya dengan membayar sekian rupiah. Ayah saya pernah ditawarin gelar Doktor dari universitas fiktif hanya dengan membayar sekian juta rupiah. Tetapi beliau menolaknya.

Di Sorong, banyak sekali saya temukan isu-isu yang beredar tentang keabsahan gelar akademik seorang pejabat publik. Itu sudah jadi rahasia umum. Ada seorang anak pejabat yang kabarnya tidak lulus kuliah (S1) tetapi ketika pulang tiba-tiba mencantumkan gelar S2 di belakang namanya. So funny. 🙂

Dan masih banyak yang lainnya, termasuk catatan kecil diatas.







Apa Yang Harus Dilakukan?




Ini bukanlah sebuah langkah mujarab tetapi ketika melihat fenomena ini, yang saya sedihkan bukanlah pemakaian gelar itu sendiri. Gelar wajar dicantumkan meskipun saya sendiri hampir tidak pernah memakainya.

Yang justru menjadi perhatian adalah karena begitu pentingnya arti sebuah gelar bagi kebanyakan orang [gengsi, harga diri, dll] maka makna dibalik gelar itu sendiri menjadi hilang. Itulah yang namanya KUALITAS manusia yang memakai gelar. Demi sebuah gelar orang rela menggunakan jalan pintas termasuk membeli gelar.

Dari sisi personal saya hanya bisa memberikan beberapa cara supaya fenomena ini setidaknya bisa dihilangkan.




  • Yakinkan diri anda [dan orang lain] bahwa nama anda adalah unik, spesial, khas, dan sangat berharga, tanpa perlu ditambahi dengan berbagai macam embel-embel yang mengikutinya.
  • Biasakanlah untuk menuliskan HANYA NAMA ANDA di semua lembaran formulir, dokumen, surat-surat, dan lain-lain. Hanya nama saja tanpa perlu menambah atribut-atribut yang menunjukkan siapa anda.
  • Janganlah menilai kemampuan seseorang HANYA karena orang tersebut memakai banyak gelar dan atribut yang menyertai namanya.
  • Jangan merasa bahwa anda akan lebih dihargai jika menambah gelar berderet-deret di depan/belakang nama anda. Penghargaan terhadap manusia tidak bisa dilihat hanya dengan itu saja. Hargailah orang yang justru tidak bergelar tapi menunjukkan kualitas yang mumpuni daripada orang yang bergelar tetapi kualitasnya nol besar.
  • Gelar adalah ukuran kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu dan bukan ukuran penilaian dalam skala yang lebih luas. Gelar adalah bukti bahwa seseorang berhasil melalui suatu kualifikasi mutu untuk disebut ahli dalam suatu bidang.
  • Hargailah proses daripada hanya sekedar hasil. Proses yang dilalui melalui sebuah perjuangan dan bukan melalui cara-cara instan.




Cara-cara diatas hanyalah sebuah advis personal. Tentunya ada cara-cara lain yang bisa kita lakukan, dan itu terserah pada anda.

Saya masih berpikir, sebenarnya apa gunanya gelar? 😆