Everyone is necessarily the hero of his own life story.
John Barth
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyambut Hari Pahlawan (apa bahasa Inggrisnya ya ?) yang jatuh setiap tanggal 10 November. Semua berawal dari hero-hero masa kecilku seperti Voltus, Megaloman, dan Gaban 🙂 . Hero-hero itu tampil dalam tayangan televisi, berbentuk film kartun, beraksi yang “aneh-aneh” dan akhirnya menimbulkan kekaguman. Bahkan gerakan-gerakan mereka-pun selalu kuikuti sama seperti anak-anak jaman sekarang mengikuti gerakan-gerakan para pegulat di acara Smack Down yang sudah dilarang itu.
Waktu kecil dulu saya bahkan sangat terobsesi (?) untuk menjadi tentara. Awalnya karena melihat banyak tentara yang bertugas di daerah kelahiranku di Irian sana, karena waktu itu Irian (Papua) masih merupakan daerah rawan sehingga kehadiran tentara dalam bentuk gerakan operasi militer menjadi hal yang wajar. Saya bahkan membayangkan (waktu itu) menjadi tentara, berpakaian hijau-hijau loreng, memegang bedil, membawa ransel, dan menembak setiap penjahat. Impian itu terbawa terus sampai dewasa. Kalau ditanya, mau jadi apa kalau besar, jawabku pasti : tentara. Saat itu tentara adalah hero-ku.
Sekarang inipun kita bisa menyaksikan banyak sekali hero-hero yang bermunculan (atau dimunculkan) di muka umum. Cerita-cerita yang kita baca dalam buku cerita anak-anak biasanya selalu berisi tentang seorang hero yang “membela kebenaran dan membasmi kejahatan”. Suatu perbuatan yang menurut kita mulia. Dari buku-buku cerita itu kita bisa membuat pola-pola tertentu yang menggambarkan pemunculan seorang hero, misalnya : adanya ramalan mengenai kelahiran sang hero, adanya suatu kekacauan (chaos), biasanya dihubungkan dengan gelar kebangsawanan atau kerajaan, dan masih banyak pola yang lain.
Sekarang ini misalnya, saya yakin banyak anak-anak (juga orang dewasa) yang tergila-gila dengan Harry Potter. Dia menjadi hero baru yang pemunculannya menyedot perhatian hampir di seluruh dunia, walaupun dalam bentuk fiksi. Bahkan ketika ada isu yang berkembang yang menyatakan bahwa JK Rowling, pengarang buku Harry Potter, ingin “membunuh” karakter Harry Potter di bukunya yang terakhir, beramai-ramai orang-orang di seluruh dunia meminta dengan sangat agar Harry Potter jangan mati. Bagi mereka, Harry Potter adalah hero.
Sampai disini kita bisa melihat bahwa hakikatnya manusia memiliki suatu ketergantungan secara psikologis pada suatu sosok tertentu yang dianggap memberikan suatu keselamatan atau suatu jawaban atas permasalahan kehidupan. Hero-hero ada dan menjadi ada karena mereka dimunculkan oleh harapan, pencarian, dan kehausan akan sesuatu yang bisa mengubah keadaan, minimal mengubah keadaan psikologis mereka. Hero adalah jawaban atas segala keluh kesah manusia terhadap dunia ini.
Saya masih ingat ketika Indonesia diawal reformasi pada tahun 1998. Banyak orang yang bersimpati kepada Megawati Soekarnoputri karena dia adalah sosok yang menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru dan juga sosok yang selalu “disakiti” oleh rezim saat itu. Megawati lalu menjadi hero bagi kalangan rakyat bawah dan banyak harapan yang ditimpakan padanya mengingat dia secara keturunan adalah anak dari Presiden I RI Soekarno. Dan bukan suatu hal yang aneh ketika PDIP (partainya Megawati) memenangkan pemilu tahun 1999. Tetapi ketika Megawati tidak memberikan jawaban atas permasalahan negara ini, masyarakat lalu melihat sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai seorang yang mampu mengubah keadaan menggantikan Megawati. Jadilah SBY sebagai seorang hero baru dan akhirnya menjadi presiden RI saat ini.
Hero-hero itu menurut saya bukanlah sesuatu yang diproduksi dari luar. Hero-hero itu sudah tertanam dalam alam nirsadar manusia. Apa yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu adalah seperangkat ide-ide tentang suatu sosok yang diharapkan menjadi seseorang yang bisa menyelamatkan manusia. Sehingga walaupun ide-ide tentang hero itu tidak dapat dimunculkan dalam dunia nyata, dia dapat muncul dalam dunia fiksi, seperti seorang Harry Potter tadi. Manusia butuh seorang hero dan hero-hero itu secara tak sadar telah tertanam dalam pikiran mereka, seperti konsep arkais dan pikiran kolektif Carl Jung.
Hero itu bisa siapa saja. Yesus, Muhammad, Sidharta, Mani, Mirza Gulam Ahmad, Harry Potter, Undertaker, Spongebob Squarepants, King Arthur, Taufik Hidayat, Diego Maradona, SBY, Genghis Khan, Petrus, Ali bin Abi Thalib, Kesatria Baja Hitam, Spiderman, Sinchan, Wadehel (sorry Hel… 🙂 ), Saya sendiri, dan siapapun bisa menjadi hero bagi seseorang. Semuanya itu adalah sosok (nyata dan fiksi) yang sebenarnya sudah ada dalam bayangan arkais manusia. Dan semua manusia membutuhkannya, tak peduli apakah dia seorang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Ateis, Jawa, Batak, Eskimo, Indian Apache, Ilmuwan, Dukun, Provokator, Koruptor, Tukang Ojek, dan siapapun dia, dalam alam bawah sadarnya telah terkonsep suatu ide tentang hero.
Namun pada akhirnya bukan hero-hero itu yang menentukan hidup seseorang. Bukan juga seorang Yesus, Muhammad, Mirza Gulam Ahmad, SBY, Big Show, Batman, atau siapa saja yang dianggap seorang hero. Yang terpenting adalah bagaimana keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan hidup yang dilakukan oleh manusia. Pada akhirnya, setiap manusia adalah hero, setidaknya bagi dirinya sendiri.
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you’ll finally see the truth
That a hero lies in you(Mariah Carey : HERO)
lagunya bagus tuh…. orangnya juga seksi.
berarti gue hero dong… 🙂
Hauhahaha, Gaban itu idola masa kecil toh? Wondering kalo orang2 bilang “segede gaban” (gaban segede apa yah =S)
Bro Fertob, who is your current Hero =) ? (khan hero slalu berubah2 sesuai umur dan jaman XD)
Bagaimana menjadi hero yang baik dan benar?
Ada tuntunan?
(*wong beribadah saja mempunyai tuntunan yang baik dan benar. Mosok jadi hero ndak ada*)
Hero kan banyak,… bisa berubah tiap hari.
Ada dongeng orang yang bisa minta 3 permintaan, akhirnya minta kembali menjadi diri sendiri. Gimana filosofinya ?
Bukannya justru “hero” itu tidak bisa dicari, tapi bisa didapat ya?
Maksudnya, “hero” yang sebenar-benarnya adalah adalah pengakuan dari seseorang kepada orang lain. Ketika seseorang sudah diakui “hero,” seharusnya dia sudah tidak lagi pada level yang menjadikan ke-hero-an ini sebagai motivasinya untuk menjadi hero.
Sehingga kalo ada orang yang bisa memberikan gelar “hero” kepada dirinya sendiri, maka patut dipertanyakan tingkat ke-hero-annya: apakah dia benar-benar hero, ato ngaku-ngaku hero?
Kok mbingungin ya… Ke HERO ah… (kali ini merujuk kepada salah satu supermarket :P)
saya juga jujur saja butuh “Hero” khususnya kalo ada keperluan belanja bulanan 😛
@ goldfriend :
Saya juga “suka” sama Mariah Carey koq… 🙂
@ Apret :
Gaban segede apa ya ? ya…segede gaban… 🙂
Saya punya banyak HERO saat ini, termasuk juga diri saya sendiri..(narsis dikit..)
@ arif :
waduh…pertanyaan anda seperti pertanyaan ini : “bagaimana menjadi manusia yang baik dan benar ?” atau “bagaimana berbahasa indonesia yang baik dan benar ?”.
saya nggak tahu mas, jalani saja hidup ini… 🙂
@ cay :
intinya adalah setiap orang adalah hero buat dirinya sendiri. apakah dia menjadi hero bagi orang lain, itu adalah urusan tingkat “kemanusiaan”-nya… (lha makin bingung)
@ ferry :
lebih suka belanja ke giant.. 🙂
Hero ~ panutan mestinya serba sempurna dalam seluruh sisi. Masih adakah didunia ini panutan?
@ helgeduelbek :
Guru itu panutan lho, mas… 🙂 bahkan jaman dulu guru bahkan dianggap sebagai pekerjaan mulia dan mendapat respek dari masyarakat.
*kira-kira sekarang gimana ya ?*
A hero is someone who rebels or seems to rebel against the facts of existence and seems to conquer them. Obviously that can only work at moments. It can’t be a lasting thing. That’s not saying that people shouldn’t keep trying to rebel against the facts of existence. Someday, who knows, we might conquer death, disease and war.