Ketika pertama kali melihat dari media kabar meninggalnya Praja IPDN asal Sulawesi Utara, Cliff Muntu, kontan kemarahan saya segera memuncak. Seperti inikah hasil pendidikan calon pegawai negeri sipil yang nantinya akan bekerja di pemerintahan daerah (pemda) ? Kemarahan itu kemudian berubah menjadi kesedihan mendalam melihat pendidikan di negeri ini, yang selain menghasilkan koruptor juga menghasilkan pembunuh.
Otak saya yang kecil ini kemudian penuh dengan berbagai informasi tentang kasus Cliff Muntu itu. Mulai dari media televisi sampai media tertulis semuanya ramai menulis tentang kasus itu. Belum lagi melihat pemberitaan yang juga ramai di dunia internet termasuk di blog. Saya tidak perlu membuat linknya disini karena sangat banyak dan teramat sangat banyak sekali (bahasa Indonesia tidak efektif). 🙂 Membuat kasus ini menurutku menjadi case of the month.
Belum lagi lewat segala emosi dan informasi yang bercampur aduk itu, saya kemudian merasakan emosi yang lain. Saya TERTAWA melihat salah satu blog di worpress yang memuat pembelaan terhadap IPDN dengan “membabi buta”. Blognya ada disini. Tertawa terpingkal-pingkal karena melihat argumen yang dipakai oleh penulis di blog itu, yang menurutku memakai logika penalaran moral di tingkatan terendah dalam Perkembangan Moral (Moral Reasoning) Kohlberg.
Saya punya kecurigaan bahwa blog tersebut bukan dibuat oleh seorang (atau beberapa orang) alumnus STPDN/IPDN. Ini hanya sekedar kecurigaan belaka. Tapi seandainya mereka, justru ini yang membuat saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang lulusan sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan dalam lingkup Departemen Dalam Negeri dapat melontarkan penalaran moral seperti itu ? Sepertinya saya tidak rela apabila pemimpin saya nantinya (di birokrasi pemerintahan) adalah seorang Pangreh Praja dan bukan seorang Pamong Praja. Bukan bersikap among tetapi lebih menonjolkan kekuasaan dan kekuatan dalam berhadapan dengan orang lain.
Belum lepas dari TERTAWA terpingkal-pingkal itu, saya kemudian merenung kembali. Benarkah alamat semua kemarahan dan kegeraman kita selama ini ? Apakah memang IPDN harus dibubarkan demi nyawa anak bangsa ? Apakah TIDAK MUNGKIN dapat diperbaiki seandainya perbaikan itu mungkin dengan cara”mengamputasi” kaki dan tangannya ? Apakah kita (masyarakat luas) sebagai salah satu stakeholder IPDN tidak terlalu over-generalisation pada IPDN ? Dan segudang pertanyaan yang lain.
Mayoritas blog (kecuali blog yang membuat saya TERTAWA itu) yang memuat kasus itu menuntut hal yang sama : PEMBUBARAN IPDN. Disatu sisi, saya pribadi SETUJU dengan solusi itu, tetapi di sisi yang lain solusi itu mengartikan lain, yaitu kegagalan kita (baca : KITA) dalam mengelola pendidikan di negeri ini. Pak Agor sudah memberikan argumennya tentang Mengapa STPDN/IPDN Harus Dibubarkan ?, dan saya cenderung menerima pendapat beliau. Walaupun dengan beberapa tambahan.
Ada beberapa hal yang kita lupakan dalam memandang kasus IPDN. Saya melihatnya dari sudut pandang psikologi, tentunya.
1. Generalisasi.
Sekarang ini saya yakin telah timbul suatu opini publik di masyarakat seperti apa IPDN itu. Dan opini itu biasanya berhubungan dengan kata-kata seperti penganiaya dan pembunuh. Tetapi benarkah IPDN seperti itu ?
Kita sering salah menggeneralisasikan sesuatu hanya berdasarkan BEBERAPA kasus belaka. Jika beberapa orang Praja IPDN bersalah menjadi pembunuh sesamanya, maka otomatis SEMUA Praja IPDN adalah seperti itu : pembunuh. Kita melupakan adanya silent minority yang berhubungan dengan IPDN juga tetapi tidak bersuara karena tidak mempunyai akses dan juga karena ancaman kekuasaan. Di antara serigala masih ada domba-domba yang tulus hatinya dan mempunyai kepedulian besar untuk perbaikan IPDN. Dan mereka bisa saja adalah Praja IPDN sendiri, Dosen (Inu Kencana), atau pengurus yang lain.
Generalisasi ini timbul karena kita tidak terbiasa dengan prinsip-prinsip seperti SEMUA (All), SEBAGIAN/SEPARUH (Half), dan TIDAK ADA (None). Padahal itu sangat penting untuk memilah dan menyaring suatu informasi. Benarkah 9 Praja yang dinyatakan bersalah membunuh Cliff Muntu adalah representasi dari SEMUA Praja IPDN ? Tentu saja tidak. Bisakah kita menemukan Praja-praja dengan kepedulian dan hati nurani yang bersih dan tidak melakukan perbuatan seperti itu ? tentu saja bisa.
Jadi sebelum menyatakan bahwa SEMUA Praja IPDN adalah pembunuh, pastikan bahwa memang mereka SEMUA adalah pembunuh dan penganiaya. Jika tidak maka yang ada hanyalah SEBAGIAN. Saya sangat kasihan dengan beberapa orang Praja yang benar-benar belajar secara tulus di Jatinangor dan bermental bersih kemudian mendapatkan stigma yang melekat di jidat mereka : Hasil dari Institusi Pembunuh. Dan logika selanjutnya, jika mereka produk dari Institusi Pembunuh maka otomatis mereka adalah PEMBUNUH. Benarkah ?
2. Semua Orang Mempunyai Kapasitas Untuk Berubah
Saya percaya bahwa semua orang mempunyai kapasitas untuk berubah. Berubah dalam arti mempelajari sikap dan tingkah laku baru yang konform dengan norma sosial. Dan itu jugalah yang terjadi dengan IPDN.
Jika kita berasumsi bahwa SEBAGIAN Praja-praja IPDN mempunyai mental yang tidak humanis dan tidak berbudi pekerti, maka kita juga HARUS mempunyai asumsi bahwa mereka BISA BERUBAH menjadi manusia (dalam arti sebenarnya) yang berbudi pekerti.
Itu jugalah yang terjadi jika kita menghukum seorang terdakwa dengan memasukkannya ke lembaga pemasyarakatan. Kita percaya (walaupun ini nyatanya agak meragukan) bahwa mereka yang telah dihukum akan BERUBAH dan menampilkan tingkah laku dan sikap yang diharapkan. Saya percaya bahwa melalui SISTEM pendidikan yang TEPAT, semua orang akan menunjukkan hasil yang tepat sesuai dengan yang diharapkan.
Sebuah SISTEM dapat diubah, bahkan diubah secara TOTAL jika itu yang diinginkan. Dan sistem yang diharapkan itu (yang mungkin diaplikasikan di IPDN) bisa mengubah seseorang bermental buruk menjadi seorang yang bermental baik. Itu pula BISA diwujudkan di IPDN.
3. Layakkah IPDN dibubarkan ?
Layakkah IPDN dibubarkan ? Biarkan publik yang menilai, termasuk tim yang telah dibentuk oleh Presiden. Tapi sebelum sampai pada pertanyaan itu, satu pertanyaan yang terus menghantuiku adalah : Mungkinkah IPDN diperbaiki ? Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah salah satu cara memperbaiki IPDN adalah dengan “membunuh IPDN” itu sendiri ? Apakah tidak mungkin kita “mengamputasi” kaki yang “borok” dan tangan yang “infeksi” agar masih bisa menolong IPDN lebih lanjut ? Ataukah IPDN sudah seperti Kanker stadium akhir yang sudah menggerogoti hampir seluruh tubuhnya dan sudah tidak mungkin diselamatkan ?
Pertanyaan itu menjadi relevan jika kita bertanya sebelumnya : Apakah keberadaan IPDN masih pantas dipertahankan untuk menjadi calon PNS di lingkungan pemda ? Bisa saja kita mengatakan bahwa calon pamong praja dapat diambil dari Perguruan Tinggi Negeri/Swasta yang membuka jurusan Ilmu Pemerintahan. Tetapi sebelum mereka memang dipersiapkan untuk mengisi kekosongan tempat itu, IPDN mungkin masih dibutuhkan. Saya belum pernah menemukan penelitian obyektif tentang kelebihan dan kekurangan lulusan IPDN dibandingkan dengan lulusan PT lainnya. Jika ada, itu bisa dijadikan titik tolak pengambilan keputusan.
Mungkin disini yang diperhatikan adalah cost-nya. Apa untung ruginya jika sebuah institusi seperti IPDN dipertahankan/dibubarkan. Saya tidak bisa menjawab hal ini.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tulis tentang IPDN, tapi melihat banyaknya pemberitaan seputarnya, kadang-kadang saya jadi bosan melihat berita yang itu-itu saja. Bisa saja tulisan ini membuat anda menjadi bosan. 🙂
Tulisan diatas TIDAK bermakna bahwa saya memaafkan perbuatan yang dilakukan di IPDN itu. Itu adalah KEJAHATAN dan harus dituntut secara pidana. Saya hanya melihat bahwa “perang” argumentasi sedang bermunculan, baik dari kalangan penganjur pembubaran IPDN (masyarakat umum) dan juga dari kontra-pembubaran IPDN (alumnus dan yang merasa berkepentingan). Selayaknya perdebatan itu menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Mungkin banyak orang melihat saya terlalu humanis dalam memandang sesuatu. Atau dengan kata lain terlalu memandang positif manusia. Memang menurut saya manusia itu punya sesuatu hal yang positif dalam dirinya yang sebenarnya bisa diaktualisasikan, tetapi seringkali terhalang oleh lingkungan sekitar.
————————————————————
ps :
Bagi pemilik blog yang membuat saya TERTAWA, mungkin lain kali saya akan KASIHAN melihat anda. 🙂
ciaaat…PERTAMAX!!
om fertob, itu blog IPDN mania kan bahasanya satire banget?
itu cuma buat rame2 aja kok pastinya…
yang jelas om menurut saya, bubarkan dan usut tuntas semua kasus2 di IPDN,
memang benar, IPDN hanya satu kasus saja, dan kalau ini pun dibiarkan begitu saja, saya jamin masalah bangsa ini ga akan pernah tuntas!
cmiiw
KEDUAXXX!!!
Yang pasti saya ingin kasus ini nggak tenggelam begitu aja. Harus dituntaskan secepat mungkin. Pokoknya™ harus DITUNTASKAN™!!!
@ antobilang :
Tapi sepertinya dirancang dengan baik untuk jadi counter-argument. Sebenarnya sah-sah saja asalalkan argumen yang dikemukakan mencerahkan. Tapi ini malah promosi kekerasan. Jadi ingat dengan kasus “penganjingan; di blog sebelah.
Pembubaran OPDN masih sebuah alternatif solusi, koq. Tapi bersiap saja kalau akhirnya tidak dibubarkan.
@ ck :
alon-alon mbak…. ambil nafas dalam-dalam, tahan sebentar, keluarkan pelan-pelan. Sudah ? 🙂
…..iya-iya bubar deh*
*seandainya saya yang ngambil keputusan*
EMPATAX!!!
pokoknya bubar!!titik!!!
Bubarkan saja…
*Pulang dulu…mau ikutan mikir : *
Bang Fertob udah liat friendster mereka? Udah lihat gimana cara mereka berpikir? Tolong analisanya gimana 🙂
komentar netral 🙂
di IPDN nyawa manusia yang meninggal karena pendidikan seolah dianggap biasa (karena katanya yang mukul ga bisa maen cantik),.. malah mayat Cliff pake disuntik formalin segala (konspirasi dengan birokrat di sana). Kalau yang begini dianggap biasa, yang luar biasa yang gimana bung Fertob?
oleh karena sudah, tiada jalan lain, BUBARKAN IPDN.. sistem pendidikan IPDN yang salah kaprah yang mesti dihilangkan.
🙂
Berita bagus klo I Nyoman ********* ikut diadili, berapa banyak kebohongan yang telah dibuat?????
Mas Fertob
Kalau secara psikology gimna orang yg sudah membunuh dan berusaha menghilangkan jejak, abis itu ga merasa bersalah pula? Sudah gitu mengnggap 37 orang yg meninggal itu karena mereka memang ga mampu mengahdapi “pembinaan”. Apakah bukan karena sudah ga punya lagi hati nurani mungkin memang perlu perawatan psikology.
mas Fertob khan lulusan TN, di TN tentu diajarin banyak soal Esprit De Corps, kalau itu untuk membela negara akupun akan melakukannya, tapi kalau untuk bohongin wapres yg notabene beliau akan menjadi atasan para camat ini, bagaimana mas?
Mas Fertob pasti pernah ke Akmil yg tetanggaan sama TN, di sana tentu pendidikan lebih keras, tapi apa pernah ada yg terbunuh gara2 di gebukin senior? sepanjang yg aku dengar sih ga ada, kalaupun ada karena granat meledak di tangan atau kecelakaan lainnya.
Terimakasih tulisannya mas.. kalau mas Fertob bosen…saya malah engga karena banyak fakta baru terungkap, mereka sendiri di FS nya yg bilang kalau kematian 37 itu masih wajar dibanding ribuan..bahkan da praja yg ga pernah balik (di Akmil yg lulusannya lebih banyak aja ga bilang spt ini), menurut saya kriminal harus diusust tuntas, emang keputusannya menunggu orang bosen sih, biasa 2 bulan orang juga pada lupa.
CMIIW
Generalisasi bahwa IPDN hanya mencetak pembunuh toh sudah terbukti dengan BUNGKAMNYA seluruh civitas akademika IPDN. Pembunuh bukan berarti yang melakukan pembunuhan dengan tangannya saja. Mereka yang tidak mau bekerjasama untuk mengusut tuntas pembunuhan yang terjadi, dan melindungi kebusukan di IPDN juga BERMENTAL pembunuh.
Menurut saya, pembubaran IPDN mutlak dilakukan. Saya tidak rela PELAYAN MASYARAKAT yang dicetak di IPDN (dulu STPDN) menjadi kader-kader korup. Dengan dikuasainya seluruh pemda oleh alumni STPDN dan IPDN, akan makin sulit mengganyang korpusi apabila kekuatan mereka nanti digunakan untuk bersama-sama melindungi aksi korupsi seperti halnya aksi GTM mereka saat ini yang melindungi dan menutupi aksi kekerasan di sana.
Saya tidak yakin para praja IPDN itu adalah kader-kader terbaik bangsa.
Kalau menurut gw sih mendingan praja2nya dievaluasi kejiwaannya oleh psikolog.
@ Wadehel, Bu Evy & Grandiosa :
Saya sudah lihat friendster mereka.
Tetapi yang saya lihat, seorang lulusan IPDN adalah produk dari apa yang diajarkan/diberikan selama mereka disana. Mereka adalah produk dari sebuah institusi yang SISTEM-nya kacau balau dan tidak mempunyai hati nurani.
Saya lebih menyalahkan lingkungan sekitar daripada orang-orang didalamnya. Justru saya merasa kasihan melihat mereka, anak-anak lulusan SMA yang punya harapan tinggi akhirnya dirusak ketika mereka masuk di IPDN. Mereka hanyalah anak-anak muda yang punya kepedulian sebelum masuk ke IPDN. Ingat, lingkungan bisa mengubah seorang secara drastis. Mengubah Tingkah Laku, Sikap, dan Pikiran seseorang bisa dimulai dengan mengubah Lingkungan dimana seseorang berada.
Yang lain, jangan terlalu menyalahkan mereka karena mereka adalah HASIL KELUARAN (output) dari pendidikan yang bobrok. Itu tidak fair. Pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga terjadi pada mereka.
Esprit de Corps (jiwa korsa) itu sebenarnya sesuatu yg mulia. Menjaga agar diri sendiri mengikuti semangat yang diberikan oleh kelompok. Tapi jiwa korsa ini menjadi bumerang ketika korsa itu digunakan untuk kejahatan.
Hal seperti itu secara psikologis tidak bisa dilihat terpisah dari konteks LINGKUNGAN. Bagi mereka, JIWA KORSA (dalam kata lain, melindungi nama baik diri dan institusi) adalah MELEBIHI segalanya, termasuk melebihi NYAWA manusia sekalipun. Apakah itu bisa diubah ? Saya yakin BISA. Seperti yang saya tulis :
Biasanya seseorang kalau melakukan kesalahan maka dia berusaha menutupi kesalahan itu atau melakukan kesalahan lain agar kesalahan awal tidak diketahui. Dan mereka DIAJARKAN seperti itu oleh SISTEM-nya. Seorang penjahat sekalipun punya hati nurani. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyentuh hati nurani itu agar lebih terdengar.
Buktinya, di IPDN sendiri masih ada suara hati nurani yang terdengar (Pak Inu Kencana). Dan saya yakin masih ada suara-suara lain yang mempunyai hati nurani, tapi mungkin takut terhadap kekuasaan di sekeliling mereka.
Sekali lagi, mereka adalah hasil dari Institusi yang mengajarkan seperti itu. Tetapi sistem pendidikan seperti itu bukannya tidak bisa diubah. Sistem pendidikan itu bisa diubah, tapi memang syaratnya berat dan “harganya” juga mahal. Masalahnya apakah “harga” sebuah perbaikan lebih baik dari harga sebuah penutupan. Kalau sudah bicara untung/rugi, saya malah tidak tahu menahu.
Saya cuma mengkritik bahwa SISTEM PENDIDIKAN di IPDN sudah TIDAK BISA DIPERBAIKI LAGI. Tidak ada Sistem yang tidak bisa diperbaiki selama sistem itu buatan manusia.
@ Kang Kombor :
Generalisasi itu timbul ketika kita menganggap SEMUA praja IPDN itu seperti para tersangka pembunuh Cliff Muntu.
Tapi bisa saja mereka diam bukan karena mereka ingin melindungi pembunuh. Yang saya perhatikan mereka justru diam karena mereka ingin melindungi diri sendiri. IPDN bagi beberapa orang parja masih sangat berharga, tumpuan cita-cita masa depan mereka. Karena masih sangat berharga, mereka tidak ingin menempatkan diri mereka dalam kesulitan jikan nanti bersuara.
Hal itu karena SISTEM di IPDN masih sangat represif terhadap orang-orang yang bersuara. Jangan salahkan mereka karena mereka tidak bersuara karena ingin melindungi karir dan masa depannya. Kalau kita yang berada di posisi mereka, bisa jadi kita akan bertindak seperti itu.
Pembubaran masih jadi pilihan selama belum ada evaluasi manfaat/mudarat dari sebuah lembaga pendidikan bernama IPDN.
@ calupict :
mereka sudah diberikan tes psikologi SEBELUM masuk IPDN. Mental mereka jadi rusak karena sistem amburadul di IPDN.
@ All :
Pembubaran IPDN memang masih sebuah pilihan. Tetapi perbaikan TOTAL juga masih sebuah pilihan. Masalahnya tinggal ditimbang mana yang lebih bermanfaat.
Saya bukan pendukung IPDN, tapi sebelum memutuskan sesuatu, saya hanya melihat : Sudahkah kita mempertimbangkannya dengan matang ? Itu saja. Jangan nanti di kemudian hari kita menyesal karena keputusan prematur yang kita ambil sekarang. Dan yang saya lihat, saat ini opini publik lebih banyak karena pertimbangan emosi.
Nice blog!
==============
thanks berat mas… 🙂
Saya setuju. Kalaupun akhirnya dibubarkan mesti melalui proses pemikiran yang mendalam dari siapapun yang berhak membubarkannya.
Tapi publik juga gak bisa disalahin sih ya? Apalagi kalau baca blog yang bikin ngakak itu… =D Makin panas aja bawaannya…
=============
Memang harus melalui pemikiran yang mendalam. Bisa timbul resistensi dari orang-orang yang merasa berkepentingan dengan IPDN.
memang benar tidak semua praja di IPDN pernah memukul
tapi yang pasti hampir semua (tidak 100%) praja junior di IPDN pernah dipukul…
saya tidak mengetahui bagaimana pembinaan senior junior pada praja perempuan, tapi untuk praja pria sepertinya para junior pria harus rela dipukul oleh seniornya…
memang betul bahwa 9 orang tersangka tidak bisa digeneralisasikan menjadi semua praja di IPDN adalah penjahat…
tapi dalam hukum di Indonesia juga disebutkan barangsiapa mengetahui ada kejahatan tapi tidak melaporkan dan berdiam diri akan kejahatan tersebut maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan pula… paling tidak sebagai sikap yang mendukung kejahatan itu terjadi…
seperti kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya ada karena niat… tapi juga karena ada kesempatan… dan kesempatan itu di IPDN sangatlah besar dan sudah menjadi tradisi… maka kita perlu
WASPADALAHHHH… WASPADALAHHH…!!!
=====================
Pemukulan dan penganiayaan adalah bagian dari tradisi (sistem) yang ada sekarang di IPDN, dan itu juga yang seharusnya diubah.
Berdiam diri jika terjadi tindak kekerasan juga adalah bagian dari sistem yang dibangun oleh IPDN. Dan mereka lebih memilih untuk diam karena bisa saja mereka tidak ingin mendapatkan kesulitan akan masa depannya di IPDN. Bisa saja mereka tahu apa yang SEHARUSNYA dan SEBAIKNYA dilakukan, tetapi mereka lebih mementingkan dirinya dan masa depannya daripada memberitahukan hal penganiayaan dan pembunuhan karena dapat menghambat mereka.
I mean setelah ada kejadian kayak gini, udah ada evaluasi psikologis belum buat praja2nya?
Jaman dulu STPDN/ IPDN dibentuk oleh alm. Jendral Rudini untuk menciptakan pamong praja yang disiplin, selain itu era Orba memang membuat aparat pemerintah sebagai pengatur rakyat bukan sebagai pelayan rakyat. Namun tentu STPDN/ IPDN tidak dimaksud untuk menciptakan sistem yang membuat orang bahkan tidak berani melawan tindakan pidana dari seniornya. Bayangkan, pidana berupa kekerasan berakibat kematian ! Terus bagaimana nantinya bila menjadi PNS dan melihat kasus korupsi oleh seniornya, apakah harus tetap diam ?
Saya rasa, cukup buka saja rekrutmen PNS dari PTN/PTS, lalu diberi training 3-6 bulan. Itu lebih efisien dan tidak menciptakan senioritas.
barusan liat di youtube….
walah….. saya baru tau….kalo di IPDN kok siswanya dipukuli dan ditendangi terus…
apa gak bonyok tuh badan kalo digituin terus ?
saya pikir latihan fisik biasa kayak kalau lagi PASKIBRA atau MAPALA. jalan jongkok, push-up, lari bawa batu 2 kg, ealah ternyata pake dipukul sekuat tenaga.
kayaknya sekolah wrestling yang emang buat gontok-gontokan juga mukul dan nendangnya gak gitu. kalo mereka mukul dan nendang kayak IPDN di youtube, bisa-bisa langsung koit kan badannya gede-gede.
[…] Bro Fertob […]
Tambahan:
Selain psikotes ke praja, dosen2nya HARUS N WAJIB ikut psikotes juga setelah ada kejadian kayak gini.
sekali bubar tetap bubar! 😉
Aku mengalami kesedihan teramat mendalam….tragedi dunia pendidikan….
Bagaimana nanti?
Nice blog, bro….
Semoga blog ini dibaca juga oleh pak Presiden.., pak Inu, dan semua tokoh pendidikan….
Very sad moment……
Mas Fertob, bantu aku melepas kesedihan ini…
kalo mau ikut logika men-generalisasi, komentar2 di blog ini merupakan gambaran cara berpikir rakyat kita saat ini. tambah sedih….. kenapa tidak sekalian bubarkan saja negara yang makin korup ini….
bang, blog yang satu itu memang perlu ditertawakan.
giling! aku juga curiga, jangan2 bukan anak IPDN yang bikin blog itu… kalopun ya, orang sarap!!!!!!! (emosi -_-” )
eniwei, aku termasuk orang yang ga setuju kalo IPDN dibubarkan. Lebih baik diberhentikan sementara aja penerimaan praja-nya. dan nanti adakan perbaikan total.
OOT:
oom,,
lama2 blog ku jd blog psikologi jg ni kayak blog oom fertob,,
dalam waktu dekat berencana nulis soal indigo,,
kalo ada tambahan kabarin ya,,
[…] boleh jujur, saya sangat setuju pada tulisan mas fertobhades di sini. Coba Anda baca itu baik-baik. […]
mas sebernya yang namanya kekerasan ga akan pernah bisa bikin orang jadi disiplin,sebaliknya rasa takut dianiaya yang bikin mereka taat , para senior hanya bisa menurunkan apa yang mereka “dapat” dari senior sebelumnya.Terlepas dari militer melakukan hal tersebut atau tidak, seharusnya pendidikan bagi para calon birokrat sipil lebih mengedepankan aspek psikologi sosial, karena mereka akan berhadapan dengan masyarakat.
Seharusnya IPDN menjadi kampus terbuka dan dapat menjadi “center of excellent” bagi para pemuda yang memiliki hasrat pengabdian kepada bangsa dan negaranya.